Masa kejayaan anggur di Buleleng pun berlalu.
Budidaya anggur di Kabupaten Buleleng dimulai pada tahun 1987. Pusatnya di Kecamatan Seririt dan Banjar karena dua daerah ini cocok dengan habitat tanaman anggur yang merambat ini.
Perkembangan budidaya anggur ini bahkan sampai ke Kecamatan Gerokgak walaupun di sana kurang bagus karena kekurangan air. Tahun 1990 sampai dengan 1995 merupakan masa kejayaan budidaya anggur di Buleleng. Setidaknya demikiandiungkapkan Nyoman Mudita (43 th) dua hari lalu.
Mudita menceritakan kejayaan anggur tersebut. Saat itu, setiap 1 hektar lahan menghasilkan 20 ton anggur dengan harga Rp 5.000. Masa panen tiap empat bulan sekali. Artinya, pada zaman itu petani mampu meraup uang Rp 100 juta setiap empat bulan. Biaya pupuk, obat-obatan dan perawatan lain hanya Rp 5 juta.
“Bayangkan berapa penghasilan petani anggur pada zaman itu,” ujar Nyoman dengan lirih.
Mudita, petani dari Desa Banjar Tegeha, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng ini mengaku pada saat itu ia membudidayakan anggur seluas 5 hektar. Lahan itu dipekerjakan orang lain dengan sistem bagi hasil yang biasa disebut penyakap. Dia sendiri hanya mengurus 50 are.
Setelah tahun 2000-an, produksi anggur di Buleleng mulai merosot. Ironisnya, biaya perawatan justru mulai meningkat. Padahal harganya fluktuatif, terlebih pada musim panen harga akan anjlok.
“Karena buah anggur mudah busuk, maka terpaksa petani menjualnya dengan harga murah,” ungkap Nyoman dengan nada getir.
Dikapling
Kapasitas produksi anggur makin merosot. Saat ini hanya 2 ton dalam 1 hektar dalam satu siklus panen selama 4 bulan. Harga berkisar Rp 10.000. Jumlah petani anggur pun mulai berkurang, mereka beralih kembali menanam padi seperti sebelum anggur dibudidayakan.
“Saya sendiri berhenti total membudidayakan anggur tahun 2005,” aku Mudita.
Kini tanah yang semula ditanami anggur selain beralih ke budidaya padi banyak juga dikapling untuk dijual sebagai perumahan. Bagi yang tidak memiliki kebun, mereka terpaksa beralih profesi sebagai buruh bangunan dan serabutan lain. Mudita merinci kini biaya perawatan anggur per hektar rata-rata Rp 15 juta selama empat bulan.
Biaya perawatan tersebut diperuntukan untuk beli obat-obatan yang makin mahal, pupuk, menggunting daun anggur, menyiangi dan menyiram secara rutin.
Kini seluruh Kecamatan Banjar dan Seririt yang masih menanam anggur mungkin hanya 20 hektar dibandingkan dulu yang jumlahnya hampir 1.000 hektar meliputi dua wilayah tersebut.
Senada Nyoman Mudita, petani lain, Nyoman Budiani mengatakan hal serupa. Pada masa jaya anggur, semua masyarakat sejahtera tidak terkecuali yang tidak membudidayakan anggur. Karena daya beli masyarakat yang tinggi, maka mereka yang berjualan pun mudah laku.
Ibu dua anak ini mengaku dirinya walaupun hanya sebagai penyakap pada masa jaya anggur, dengan 40 are saja sudah lebih dari cukup. Sayang, kini budidaya anggur di Banjar hanya tinggal puing-puing, yang masih menanam anggur yang luas memiliki lahan dan modal.
“Itu pun jumlahnya hanya seberapa,” ujar Budiani mengakhiri wawancara. [b]