Oleh Cok Sawitri
Saya sempat berharap Pilkada Bali minimal seasyik yang dipertontonkan Jokowi.
Nyatanya kedua calon gubernur (cagub) Bali begitu pula perangkat lainnya seperti Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bali masih berkutat di jalan konvesional bahkan konservatif. Walaupun belum mulai musim kampanye, para cagub ini telah memulai memasang balihonya.
Jika dipandang baik-baik, sebaran baliho kedua cagub hanya mengotori pemandangan jalanan Bali. Sebab, sebagai iklan, tidak ada sesuatu yang disampaikan baliho kepada masyarakat. Tidak ada pesan yang menggugah.
Cagub petahana (incumbent) berusaha memberi variasi balihonya dengan menuliskan sederet prestasi yang telah dilakukannya saat menjadi Gubernur. Ini kelucuan paling lucu. Sebab apa yang dituliskannya adalah program pemerintah provinsi yang secara logika itu terjadi saat berpasangan dengan saingannya sekarang.
Sebaliknya cagub lain hanya memang wajah senyum, pakai udeng dan di bawahnya sebuah potret ikut menyertai penampilan mereka; yakni yang memasangkan baliho itu atau yang menyumbangi baliho itu.
Selebihnya, pemasangan baliho ini mengisyaratkan kedua cagub sama-sama tidak percaya diri, sama-sama berpikir sebagai warga yang tidak cukup dikenal masyarakat. Jadi yang perlu dilakukan pertama kali adalah mengenalkan diri. Bukan produknya yang akan ditawarkan kepada masyarakat.
Kemudian, kedua cagub berupaya menggunakan media sosial; Facebook juga Twitter. Tapi, ujung-ujungnya adalah ruang munculnya black campaign, sindiran, rumor, dan seterusnya. Anehnya mereka lebih mengetengahkan kegiatan-kegiatan yang justru menjelaskan kedua cagub ini memang sesungguhnya tidak memiliki visi dan misi, walau mengatakan memiliki visi dan misi mengenai Bali.
Meskipun salah satu cagub mengaku telah diakui dunia internasional, tetapi perilaku politiknya justru menunjukan tidak seperti brand yang dinyatakannya. Sehingga cagub lawannya, karena gugup, tim suksesnya lalu mengetengahkan cerita saingan mengenai cagubnya yang rela batal sekolah di luar negeri demi partai.
Konservatisme lain dan ciri ketidakpercayaan diri pada kedua cagub yakni melibatkan ormas-ormas. Semua tahu itu adalah berafiliasi dan kegiatannya sehari-harinya tidak jelas. Pembentukan ormas pun dilakukan upaya mengemasi agar tidak nampak asal muasal siapa-siapa dalam ormas itu.
Ambigu
Kemudian model konsolidasi mendapatkan dukungan. Cagub petahana jelas sekali menggunakan posisinya yang ambigu; ujungnya membuat klaim mengklaim program sebab sejatinya keduanya petahana. Gerilya bawah tanah misalnya, mengetuk pintu jaringan lama para pemimpin informal dilakukan namun tidak menunjukan perubahan mendasar yakni kedua cagub menawarkan adanya perubahan dan kemajuan, serta kesadaran politik baru.
Keduanya masih berkutat mengharapkan vocal point untuk memengaruhi massa mengambang itu. Hasilnya adalah pastilah biaya politik tinggi: nasi bungkus, uang bensin, baliho, sumbangan tersembunyi, dll.
Padahal, harapan banyak orang, Bali akan menelurkan kesegaran baru dalam sistem pemilu di era demokrasi sebagai titik kritikal politik. Seperti beberapa tempat lain, Jakarta, Medan, Jawa Tengah dan Jawa Timur, Bali sesungguhnya adalah Pilkada yang juga dijadikan titik kritikal, diamati sebagai isyarat ke mana angin perubahan bergerak dalam pemilihan presiden (pilpres) tahun 2014.
Tetapi, kenyataannya, situasi itu justru mempanikkan semua cagub dan membiarkan aktivis kakinya, pendukung di bawahnya, melakukan terjemahan strategi kampanye yang masih berkutat antara ingatan hubungan-hubungan informal atau penawaran program yang sesungguhnya tidak menggambarkan suatu pemahaman mengenai posisi gubernur dalam konteks UU Otonomi Daerah, misalnya. Kebijakan apa yang kelak dapat diambil gubernur dalam persentase kewenangannya yang berbagi dengan pihak kabupaten dan kota?
Jika dijejerkan dari masalah perkotaan sampai ke pedesaan, maka jelas Bali bukan DKI Jakarta. Gubernur Bali tidak memiliki hak istimewa seperti yang didapatkan Gubernur DKI Jakarta Jokowi dalam menata Jakarta.
Penataan kawasan khusus dari bandara sampai pelabuhan? Jelas itu bukan kue di mana Gubernur Bali dapat menunjukan kemampuan keadministrasiannya. Keduanya jelas wilayah dalam ‘lindungan pusat’ dengan Undang-undang yang menguatkan. Kemudian masalah lingkungan, masalah dampak negatif kepariwisataan, dll.
Buram
Provinsi mungkin bisa “bermain” sedikit di wilayah kesehatan dan pendidikan. Itu disebabkan dua jalur keuangan yang memang dalam pengaturannya masih melalui jalur Provinsi: dari Bansos, jaminan kesehatan, dll. Tetapi soal lain? Saya berharap strategi kampanye cagub-cagub Bali sebagai yang memberikan wajah baru perpolitikan nasional yang muram, ternyata tetap buram.
Cobalah perhatikan dengan tenang. Apa sebetulnya persoalan Bali ke depan dan apa yang harus dilakukan seorang Gubernur Bali sebagai pengambil kebijakan publik sekalipun tidak populer? Jika demi kebaikan masa depan Bali, yang manakah? Tumpang tindih pembangunan hotel, vila, masalah ketenagakerjaan: itu wilayah kabupaten.
Penataan desa? Gubernur hanya dapat memberi dana hibah kepada desa pakraman, yang dampaknya itu tidak jelas bagi masyarakat. Sebab biaya upacara, dan penguatan kualitas hidup tidak ada kaitan dengan bantuan-bantuan itu. Jadi terobosan apa yang dapat dilakukan gubernur dengan wewenang yang hanya sekitar 30 persen itu? Bidang kesehatan? Itu lagu lama dan akan heroik jika menjelang kampanye.
Tapi, apakah gubernur guberan, misalnya, menyoal krisis air yang akan menimpa Bali dan mengajukan solusinya? Keamanan Bali dari wilayah sektor laut, sebagai wilayah yang juga dapat produktif. Kemudian apakah dapat mendorong ketahanan pangan sementara semua lahan beralih fungsi bahkan aset provinsi pun tidak ditujukan menjadi ‘lab’ perladangan dan persawahan.
Pada akhirnya, jika diamati, Pilkada Bali ini seperti kisah-kisah sebelumnya. Hanya mengetengahkan ideologi pribadi-pribadi, bukan ideologi partai juga bukan ideologi ‘rakyat’ tetapi sebuah perebutan jabatan. Hanya membebani kehidupan masyarakat. Padahal sudah jelas kelak, ketika usai dilantik apakah rakyat akan dimudahkan oleh posisi jabatan itu?
Karena itu, harapan itu cuma satu tolong tampil dengan gaya berbeda dengan strategi yang mencerahkan masyarakat walau kelak tak bisa menuntaskan masalah-masalah di Bali. Minimal strategi kampanye itu, sebagai wilayah yang diamati, dapat menginspirasi dunia politik nasional yang muram itu. Para cagub seharusnya berani mengajukan ‘diferensiasi’ dalam program, mengambil posisi berbeda, kemudian mengelola aktivis kaki untuk tidak terjebak gaya fashion baliho, dst.
Dengan demikian Pilkada juga menjadi ajang pembelajaran, pemahaman mengenai politik praktis. Ujungnya, serius, saya tak tahu mesti menulis apa: Pilkada Bali sampai detik ini jauh dari kesan intelek. [b]
jujur,saya sebenarnya malas berkomentar ttg pilgub bali. Disamping calonnya hanya itu2x saja, juga gaya fashion baliho yang sangat2 mengotori jalanan. Tetapi tulisan Cok Sawitri ini mewakili sikap malas komentar saya (walaupun di ujung tulisannya, beliau juga bingung mau menulis apa). Tapi betul kata Cok Sawitri, untuk menampilkan pilgub yang berbeda, masyarakat Bali hendaknya mulai diajak untuk berpesta demokrasi secara lebih intelek, yang menurut saya hasilnya akan lebih elegan dan cantik.
Tulisan Cok Sawitri cukup mewakili kejenuhan politik masyarakat Bali.
Jelas saja para cagub terlihat panik, tidak percaya diri. Pada saat keputusan final pemilihan calon pun diwarnai kepanikan. Cagub pertama bingung memilih wakil. Sedangkan satunya lagi, sang empunya partai di Jakarta bingung mencari sosok yang sebanding dengan lawan politiknya.
Keinginan untuk mengikuti jejak Jokowi yang bermanuver via dunia maya juga tidak optimal. Akun-akun yang dimunculkan hanya sebatas sikap latah dan jauh dari kata berhasil untuk menyampaikan visi misi para calon.
Incumbent dengan jargon sudah terbukti dan teruji, sementara sang lawan mengatakan saatnya kejujuran dan ketulusan memimpin. Lha, bukankah sebelumnya juga bagian dari incumbent? Berarti selama ini tidak jujur dan tidak tulus?
Maaf saja, bila “jualan” mereka hanya soal kesehatan dan pendidikan, menurut saya kedua calon belum berhasil untuk menggambarkan seperti apa Bali kedepan, bagaimana blue print Bali dibawah kepemimpinan mereka.
Harus diakui, Pilgub Bali kali ini kurang (bahkan nyaris) tidak ada gregetnya. Euforia para elit politik, dan di yang bawah, seperti tulisan Cok Sawitri : hanya kebagian nasi bungkus, kaos, dan ongkos pasang baliho. (mohon koreksi apabila saya salah). Salam.
“Tapi, apakah gubernur guberan, misalnya, menyoal krisis air yang akan menimpa Bali dan mengajukan solusinya? Keamanan Bali dari wilayah sektor laut, sebagai wilayah yang juga dapat produktif. Kemudian apakah dapat mendorong ketahanan pangan sementara semua lahan beralih fungsi bahkan aset provinsi pun tidak ditujukan menjadi ‘lab’ perladangan dan persawahan.”
Ijin nambah satu lagi ya:
Masalah penanganan sampah. Buktinya masih banyak warga buang sampah di sungai karena bingung mau buang sampah kemana. Gimana mau tertib kalau pengelolaan sampahnya nggak ada, capek deh.. I’m not saying untuk Denpasar yg sebagian besar sudah tertata ya, tapi coba tengok di daerah2 sekelilingnya misalnya yg terdekat Gianyar, atau yg terjauh di Singaraja. 🙂
saya suka dengan kalimat ini “biaya politik tinggi: nasi bungkus, uang bensin, baliho, sumbangan tersembunyi”…….
inilah pernyataan yg benar adanya….termasuk sbagian bsar pnduduk bali psti menemui hal ini dilapangan….., dijanjikan segala macam….,
hadeeeh gx bsa ngomog apa2 dh….., YANG JELAS SIAPA AJA YG MENANG UJUNG2NYA PASTI MSH ADA TOMBOK-MENOMBOK DLM RECRUT PNS…..sipppp dh….