Sabtu lalu, berbagai media arus utama memberitakan penetapan subak Bali sebagai warisan budaya dunia (WBD) oleh Unesco. Badan PBB yang menangani pendidikan, pengetahuan, dan budaya tersebut akan menetapkan subak sebagai WBD pada sidangnya di Rusia Juni 2012 nanti. Hampir semua media mengutip pernyataan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Windu Nuryanti.
Untuk memastikan ke sumber primer, saya coba cari-cari di internet, terutama website Unesco. Saya belum menemukan informasi penetapan subak sebagai WBD tersebut sama sekali. Saya hanya menemukan informasi tentang diajukannya empat lokasi di Bali ke Unesco agar ditetapkan sebagai WBD. Tiga tempat tersebut adalah kawasan Jatiluwih di Tabanan, kompleks Taman Ayun di Mengwi, kawasan pura di sungai Pakerisan di Gianyar, dan Pura Besakih di Karangasem.
Jadi, asumsi saya kalau toh penetapan tersebut benar, maka yang ditetapkan oleh Unesco bukanlah subak secara keseluruhan tapi kawasan persawahan di Jatiluwih, Tabanan. Kawasan berjarak sekitar 60 km dari Denpasar ini memiliki areal persawahan terasering yang memang menawan. Dia jadi salah satu daya tarik bagi wisatawan lokal ataupun asing.
Penetapan kawasan Jatiluwih sebagai WBD tentu menyenangkan. Teknik dan budaya pengairan tradisional Bali ini akhirnya diakui dunia sebagai salah satu warisan budaya, seperti juga Candi Borobudur, kawasan kuno Sangiran, dan tempat lain di Indonesia.
Namun, penetapan ini pun harus dilihat secara kritis. Apa manfaatnya kemudian bagi subak atau bahkan petani itu sendiri? Jangan-jangan di balik euforia penetapan itu, nasib petani di Jatiluwih malah kian merana.
Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda, jurnalis TEMPO yang kini jadi pendeta Hindu, mengungkapkan kekhawatirannya tersebut dalam kicauan berseri. Saya merangkum dan membaginya. Hanya sebagai penyeimbang di antara suka cita penetapan subak sebagai warisan budaya dunia. Agar kita tak terlena.
aduh, klasik. pemerintah menjual keunikan, kerja keras, warganya. jualannya laku, tapi si pekerja tak menerima penghargaan apa-apa.
seperti juga berbagai komoditas pertanian lainnya.
petani tidak perlu pengakuan lembaga dunia terhadap sesuatu yang memang sudah menjadi fakta. petani butuh keberpihakan.
yang pasti, sebagai generasi dan orang Bali, bangga lah dengan hal ini, namun yg jadi permasalahan apakah dengan adanya hal ini, orang2 jadi tersadar akan keberadaan subak yang sekarang jadi warisan budaya dunia? melihat dari semakin berkurangnya luas sawah, entah itu berubah jadi rumah, hotel atau apa pun itu. Kalau sawah hilang, terus buat apa ada subak?
Subak sebagai WBD . Dari mana?, dimana?, dan mau kemana? kurang jelas. Masih seperti promosi “harga pasar” yang pasaran..!! Mudah2an bisa jadi awal untuk memahami yg sesungguhnya!!!
subak.. saya belum paham, mengerti banget, padahal 5 tahun sudah menggeluti dunia pertanian… n ikut dalam krama subak…. apa itu subak? spirit apa yg ada di subak kita sudah paham…. sepakat kita bisa mengerti subak lewat literatur… namun lebih bijak… kalau mau terjun cair… dalam suasanya subak…. Mohon deh….. bahasa subak tidak untuk manis dibibir aja… suksma
menurut saya , Spirit yang ada di dalam Subak sangat relevan untuk membangun Bali dalam arti luas, baik dari sistem Organisasi , Management , maupun Pembangunan fisiknya. Bali dengan segala isinya akan berkembang harmonis bilamana Sistem dan Mnagementnya dikembangkan dalam Sistem Kepemimpinan dan Pembangunan Bali…..suksma.