
Wisata menyelam (diving) masih menjadi salah satu wisata mahal di Bali.
Sekali menyelam, biayanya antara Rp 500.000 hingga Rp 600.000. Namun, meskipun mahal, nyaris tidak ada biaya yang dikeluarkan turis untuk konservasi lingkungan bawah laut.
Padahal, wisata menyelam sangat tergantung terhadap kondisi alam.
Hal serupa terjadi di Pantai Tulamben, salah satu titik menyelam favorit di Bali bagian timur. Pantai di sisi timur laut Bali ini memiliki daya tarik wisata menyelam dengan bangkai kapal sisa Perang Dunia II, USAT Liberty.
Tiap hari, lebih dari 100 penyelam, hampir semua dari mancegara terutama Eropa, menikmati bangkai kapal kargo berbendera Amerika Serikat tersebut. Namun, belum ada biaya yang diambil dari wisata menyelam untuk kegiatan konservasi.
Tulamben berjarak sekitar 120 km dari Denpasar, ibu kota Provinsi Bali. Desa yang menghadap Selat Lombok ini menjadi daya tarik utama wisata selam di Bali. Tulamben dengan USAT Liberty Wreck menjadi magnet bagi penyelam selain tempat menyelam lain, seperti Pulau Menjangan di Taman Nasional Bali Barat (TNBB), Nusa Lembongan dan Nusa Penida di Klungkung, maupun Candi Dasa di Karangasem.
Bagi warga lokal seperti Nyoman Suastika, ratusan penyelam di Tulamben adalah berkah. Namun, di sisi lain juga bisa menjadi musibah bagi pelestarian ekosistem bawah laut jika tidak dikendalikan. “Apalagi karena hingga saat ini belum ada pendanaan berkelanjutan untuk pengelolaan lingkungan,” katanya.
Bersama teman-temannya sesama pemandu selam (dive guide) di Tulamben, sejak awal tahun 2016 Suastika menggagas sumber pendanaan berkelanjutan (crowd funding) untuk pengelolaan lingkungan. Bentuknya sederhana yaitu melalui pembelian pin untuk menyelam (dive tag).
“Ide membuat dive tag sudah muncul sejak tahun lalu setelah saya melihat sendiri di beberapa tempat lain ada yang menjual pin semacam itu,” katanya. Sejak awal pertengahan Januari lalu mereka pun menjual pin tersebut.
Dia menambahkan, tujuan pembuatan dive tag ini untuk penggalian dana dalam kegiatan konservasi, pembersihan, dan pembuatan terumbu karang buatan. “Karena selama ini memang belum ada dana untuk konservasi sama sekali,” katanya.
Pin berisi pesan Save Liberty Shipwreck. Sebagai permulaan, Organisasi Pemandu Selam Tulamben (OPST) yang mengorganisir penjualan tersebut menjual 250 biji pin. Hingga saat ini terjual sekitar 100 pin.
Tiap pin mereka jual seharga Rp 50.000. Suastika memberikan alasan kenapa harus dijual seharga tersebut: Rp 10.000 untuk biaya produksi, Rp 20.000 untuk kegiatan konservasi, Rp 10.000 untuk komisi penjual, Rp 5.000 untuk kas organisasi, dan Rp 5.000 untuk pengembalian modal.
Selain untuk konservasi lingkungan bawah laut, Suastika menambahkan, hasil penjualan tersebut memang juga untuk penambahan kas organisasi.
Organisasi pemandu selam di Tulamben sendiri baru berdiri pada Agustus 2015 lalu. Meskipun sudah diinisiasi sejak awal 2015, mereka baru disahkan oleh Kepala Desa Tulamben tepat pada perayaan 17 Agustus tahun lalu.
Menurut Suastika yang juga penggagas lahirnya organisasi pemandu selam di Tulamben, organisasi ini sebagai wadah untuk menghimpun pemandu lokal biar bersatu, terutama untuk setiap melakukan kegiatan seperti pembersihan di bawah laut. “Tujuannya untuk menjaga agar pariwsata di Tulamben bisa berkelanjutan dan bisa dinikmati oleh anak cucu kita ke depan,” tambahnya.
Secara rutin, organisasi ini mengadakan kegiatan bersih-bersih pantai.

Kemauan Membayar
Pengumpulan pendanaan dari kegiatan menyelam di Tulamben bisa menjadi salah satu upaya menarik melibatkan turis dalam konservasi lingkungan. Sebab, selama ini memang belum ada upaya khusus melibatkan turis dalam konservasi tersebut.
Menurut Koordinator Program lembaga swadaya masyarakat (LSM) Coral Reef Alliance di Bali I Made Jaya Ratha dana konservasi lingkungan pesisir termasuk besar. Antara lain untuk pemantauan ataupun rehabilitasi. Namun, menurut Jaya, pemerintah lokal maupun tingkat provinsi belum mengalokasikan dana cukup untuk konservasi tersebut.
“Karena itu pelu upaya mencari dana dari publik dengan cara-cara kreatif termasuk pembuatan dive tag,” ujar Jaya. Selama ini, dia melanjutkan, biaya konservasi atau pengelolaan lingkungan lebih banyak diperoleh secara suka rela. Selain dari warga juga dari LSM ataupun hotel-hotel di sekitar tempat penyelaman.
Coral Reef Alliance sendiri termasuk salah satu LSM yang mendukung ide pembuatan dive tag tersebut. Mereka juga membantu memesan dan menjualnya kepada apra turis.
Jaya mengatakan, pada dasarnya, turis-turis di Bali sangat mungkin untuk diajak terlibat dalam konservasi lingkungan. Dengan jumlah turis mencapai sekitar 6 juta per tahun, Bali bisa mendapatkan pendanaan berkelanjutan untuk pengelolaan lingkungan.
Pendapat Jaya senada dengan hasil riset Fakultas Pariwisata Universitas Udayana (Unud) Bali dan LSM Conservation International (CI) Indonesia pada Mei 2015. Dalam riset yang dilakukan di Candi Dasa dan Padangbai, dua lokasi wisata selam lain di Kabupaten Karangasem tersebut, sebagian besar turis mengaku bersedia jika dimintai tambahan biaya konservasi lingkungan.
Menurut hasil riset tersebut, ada dua faktor yang mempengaruhi kesediaan turis membayar dana insentif konservasi. Pertama, faktor produk pariwisata yang terdiri dari kualitas kebersihan, kualitas akomodasi, landscape daerah tujuan wisata (DTW) hingga fasilitas wisata. Kedua, faktor komunitas lokal terdiri dari informasi mengenai pencemaran dan tingkat intimitas wisatawan dengan masyarakat lokal.
Kesediaan untuk membayar tersebut seiring dengan besarnya keprihatinan turis-turis itu terhadap pencemaran lingkungan di pesisir Bali. Menurut riset tersebut, hampir 50 persen turis asing menyatakan tidak menyukai persoalan lingkungan, terutama sampah, di Bali.
Karena itulah perlu manajemen kawasan pariwisata termasuk perairan yang melibatkan berbagau komunitas, seperti organisasi pemandu selam.
Tulamben sendiri termasuk yang diusulkan menjadi Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Kabupaten Karangasem. Wilayah lain adalah Amed-Seraya Timur, dan Padangbai-Candidasa. Tiap daerah memiliki ciri khas masing-masing. Tulamben memiliki situs kapal tenggelam dengan nilai sejarahnya. KKP Amed-Seraya memiliki keragaman jenis dan tingkat kelentingan karang yang tinggi dibanding kawasan lain di Bali.
Adapun KKP Padangbai-Candidasa memiliki karakteristik perairan yang berarus dengan upwelling tinggi. Karena itu, kawasan ini menjadi habitat yang sesuai untuk jenis tertentu, seperti hiu dan mola-mola. Selain itu di kawasan ini juga ditemukan spesies karang baru Euphylliabaliensis yang ditengarai sebagai spesies endemik dan hanya ditemukan di daerah ini.
Dengan pengeluaran turis di wilayah tersebut mencapai Rp 1,7 juta hingga Rp 2,2 juta per hari, dana Rp 50.000 untuk membeli dive tag seharusnya bukan apa-apa bagi mereka. Apalagi mereka bisa mendapatkan kenang-kenangan dive tag sebagai bukti dan suvenir bahwa mereka tak hanya menyelam tapi juga sudah membantu konservasi lingkungan. [b]