Teks Luh De Suriyani, Ilustrasi Internet
Pada 2009 terdapat 858 kasus kekerasan, sebagian besar dilakukan suami atau pacar. Sementara pada 2010 hingga akhir April terdapat sedikitnya 170 kasus kekerasan pada perempuan yang masuk ke kepolisian di Bali.
Sekitar 200 orang masyarakat mengikuti launching perogram kampanye penghentian kekerasan pada perempuan “We Can” oleh Federasi LBH APIK, Selasa, di Denpasar. Melalui kampanye perubahan perilaku ini, tiap orang mendapat sertifikat menjadi change maker dalam upaya penghentian kekerasan, khususnya dalam keluarga.
“Mulai saat ini, tiap orang diharapkan berkomitmen memutus rantai kekerasan dalam rumah tangga dan lingkungan sekitarnya,” ujar Ni Nengah Budawati, Direktur LBH APIK Bali yang juga dideklarasikan dalam kampanye We Can kemarin.
Kampanye We Can merupakan sebuah metode berkampanye yang bertujuan melakukan perubahan sikap dan perilaku setiap orang secara berantai sebagai gerakan sosial yang nantinya mampu menghentikan segala kekerasan terhadap perempuan.
“Seseorang hanya akan berubah bila menyadari masalahnya sendiri, maka strategi kampanye We Can akan mengajak semua orang dari berbagai kalangan atau komunitas untuk berperan sebagai pembuat perubahan atau change maker dengan cara menolak kekerasan dalam kehidupan meraka dan selanjutnya mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama,” jelas Nursyahbani Katjasungkana, pendiri dan koordinator Federasi LBH APIK Indonesia yang kini mempunyai 15 kantor di seluruh Indonesia.
Dalam kampanye ini hadir Kapolda Bali Irjen Pol Sutisna, kepolisian khusus perempuan dan anak, Ketua Komisi IV DPRD Bali I Nyoman Parta, LSM, pelajar, dan lainnya. Kapolda Sutisna mengatakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mendominasi kasus kekerasan pada perempuan di Bali.
Sementara Nyoman Parta menyebut kemiskinan dan budaya patriarkhi di Bali menjadi sumber kekerasan pada perempuan dan anak. Di sisi lain, ia mengakui pendampingan hukum korban kekerasan tak bisa dilakukan secara intens karena anggaran APBD Bali untuk kasus KDRT sangat kecil dan tak fokus pada pendampingan korban.
Hasil penelusuran LBH APIK Bali memperlihatkan Bali hanya menganggarkan Rp 200 juta per tahun untuk kasus KDRT melalui lembaga badan P2TP2 namun sebagian besar dialokasikan untuk biaya rutin termasuk rapat-rapat. “Hanya sebagian kecil untuk pendampingan korban,” ujar Budawati.
Kampanye di Bali juga memulai kampanye kedua We Can di seluruh Indonesia. Kampanye We Can telah dilaksanakan di India sejak tahun 2004 dan juga dilaksanakan di negara-negara Asia Selatan meliputi Bangladesh, Srilanka, Afghanistan, Pakistan dan Nepal. Disebutkan kampanye We Can telah melibatkan lebih dari 600 organisasi dan telah menggerakkan lebih dari 5 juta change maker baik laki-laki atau perempuan yang siap untuk mengambil sikap terhadap upaya kekerasan terhadap perempuan.
Mbak, saya senang dan bahagia membaca tulisan ini, memberikan pencerahan kepada saya yang saat ini juga sedang melakukan hal yang sama untuk Perempuan dan anak di daerah saya. Saya tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat. Saat ini saya sedang merancang kegiatan kampanye Publik ” Save Our Children ” dan Stop Violence Againts Women, bisa kasi masuka gak mbak buat saya, agar kegiatan ini tidak membosankan,
Salam Hangat