Rumah Berdaya, 17 Januari 2020
Dulu, saya ditinggal oleh seseorang. Saat itu, perut saya masih belum membesar. Dia sempat ngomong bahwa dia hendak menikahi saya. Akan tetapi, selanjutnya, langsung tidak karuan. Dia kabur, mungkin ke rumahnya.
Dulu dia sempat ngekos di rumah saya. Nama orang ini adalah Dan. Ada juga seseorang dari Sanur, Tir namanya, yang saya kenal saat Hari Raya Saraswati. Dulu saya pernah diajak ke rumahnya di Sanur. Baanga minum teh ditu. Meme ajak bapane tawang. Taen ngidih jeruk jerungga, Tir sing ada ditu. (Saya disuguhkan minum teh di sana. Saya juga tahu ibu dan bapaknya. Saya pernah minta jeruk jerungga ketika Tir tidak ada di sana).
Saya sebenarnya bersedia menikah dengan Dan, tetapi dia kabur dan saya tidak pernah bertemu dengannya lagi. Dia seorang Kristen. Saya juga ada rencana menikah dengan Tir karena dia orang Bali.
Saya bilang ke Tir bahwa saya hamil. “Kenapa kamu hamil? Minum sprite dan garam saja. Dengan membawa sepeda, saya beli sprite di Sanur. Dia menunggu di rumah. Lantas, Tir selingkuh dengan kakak kelas saya. Tapi saya tidak tahu, apakah dia diajak menikah atau tidak.
Semenjak itu sampai tahun 2019, waktu saya hamil, saya sempat ditengok oleh Tir. Umur kehamilan saya sekitar enam atau tujuh bulan waktu itu. Dia masih pakai seragam SMA sekolahnya. Dia satu tahun lebih tua dari pada saya. Waktu itu dia bilang ingin menengok ibu teman saya yang hamil. Saya beri tahu, kalau yang mau dijenguk itu anaknya, laki-laki. Lalu saya bilang, “Kenapa anak itu enggak kamu ajak?”
Setelah itu, dia tidak pernah datang lagi. Sampai sekarang, anak saya tidak pernah dikunjungi. Lamun dot ketemu Tir, ia sing ngenah, lek paling (kalau ingin bertemu Tir, dia tidak tampak. Mungkin malu). Saya bahkan tidak tahu apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal.
Waktu saya hamil, ibu dan bapak saya masih hidup. Sampai saya melahirkan pun juga masih hidup. Ketika anak saya sudah kelas 4 atau 5 SD, ibu saya meninggal duluan. Ketika itu, saya sudah mulai berobat ke rumah sakit jiwa di Bangli, adik yang antar saya ke sana.
Saya diajak ke sana biar tidak diam dan duduk di jalanan, biar nggak telanjang atau cuma pakai kain aja di jalanan. Saat itu, saya dicari oleh adik saya ke Bangli, diberi tahu kalau ibu meninggal. Saya enggak datang ke upacara pengabenan dan penguburan ibu karena saya masih tinggal di Bangli.
Adik saya yang mengurus anak ketika saya suka diam di jalanan. Ketika itu anak saya sudah kelas 6 SD. Saya enggak tahu kalau saya dapat tinggal di jalanan. Selama di Bangli, saya dapat disuntik. Setelah pulang dari Bangli, tahun 2016, saat itu obat saya habis dan kepala saya jadi sering pusing, sampai tidak bisa bangun dan tidak bisa makan. Adik saya memberi mie, tapi saya juga enggak bisa makan. Sampai malam saya tidak makan, besok harinya juga tidak makan. Saya tidak bisa bangun, akhirnya disuntik kembali.
Setiap minggu saya disuntik di Puskesmas dan langsung jadi sadar. Dokter Puskesmasnya lalu memberi saran, “Coba bekerja di Rumah Berdaya.” Saya ditanya apakah saya mau bekerja di Rumah Berdaya. Saya kenal dokter Rai karena dikenalkan oleh dokter yang ada di Puskesmas Renon. Ketika ke Rumah Berdaya, saya diantar dokter dari puskesmas. Awalnya saya mengira Rumah Berdaya itu seperti Rumah Sakit Bangli. Ternyata sampai di sana, saya diberi tahu untuk bekerja seperti membungkus dupa atau memasang monte. Saya memang bisa memasang monte tapi tidak yang rumit.
Saya sungguh senang karena mendapat teman, makanan, diajari menyanyi “Halo-halo Bandung” dan “Garuda Pancasila”. Nah, ketika Rumah Berdaya masih bertempat di Jalan Hayam Wuruk, Denpasar, saya masih sering ke sana, diantar adik. Selain itu, ada dinas sosial yang antar jemput pakai mobil, tapi sekarang enggak ada lagi.
Namun, setelah adik saya punya anak, dia tidak bisa mengantar lagi. Kalau ada yang jemput seperti dulu, mungkin saya akan sering ke Rumah Berdaya.
Sekarang, saya tinggal di Renon bersama adik saya. Kegiatan saya di rumah lebih banyak tidur, bangun, makan, menyapu dan mencuci piring. Saya juga diberi tahu untuk mengasuh anak adik saya di rumah. Adik saya juga yang sering ke Puskesmas untuk mengambil obat. Akan tetapi, seringkali yang diberikan itu bukan suntikan tapi obat kapsul atau pil. Kalau badan saya panas, saya pasti diberikan pil itu. Nah, sekarang saya sudah diberi suntikan. Selain itu, di Puskesmas saya juga bisa mengecek tensi.
Anak saya sudah besar tapi tidak tinggal bareng saya karena dia tinggal bersama neneknya. Sekarang dia sudah 17 tahun, kelas 2 SMA dan sedang bekerja PKL di hotel. Biasanya dia menengok saya setiap hari Senin, Selasa, Rabu, atau saat libur. Saya sangat sayang sama anak saya. Saya berharap anak saya rajin bekerja, sehat, punya uang, rajin sekolah, dan sayang sama nenek dan ibunya.
Mungkin hal yang membuat saya terlantar di jalanan dan tidak ingat apa-apa adalah karena ditinggal sama pacar. Hanya itu terus yang saya pikirkan, “Kenapa pacar saya enggak datang?” Ada rasanya ingin nyari pacar baru. Ada orang baru yang saya inginkan, dia dari Karangasem. Tapi saya masih terbayang-bayang sama yang dulu.
SWayan Sariani dalam #KamiBersuaraKamiMendengar. Kampanye bersama Rumah Berdaya, Citradaya Nita (PPMN) dan pewarta warga ini mengajak mengenali gangguan kejiwaan, proses pemulihan, dan mendorong akses psikososial bagi perempuan sebagai penyintas atau pendamping.