Penangkapan artis Pretty Asmara segera menjadi konsumsi media.
Pretty ditangkap bersama beberapa rekan artis nasional saat sedang berpesta narkoba. Kasus ini pun menjadi santapan umum bahwa narkotika (narkoba) sudah biasa dikonsumsi berbagai kalangan masyarakat.
Hampir setiap hari kita bisa temukan dimedia berita penangkapan pengguna maupun bandar.
Sayangnya harapan agar penyebaran narkotika dapat berkurang justru hanya menjadi mimpi yang sangat berat untuk dicapai. Penangkapan dan penghukuman justru tidak mengurangi jumlah pengguna dan jumlah narkotika yang beredar.
Menurut data Badan Narkotika Nasional (BNN), jumlah pengguna terus bertambah. Hal ini diikuti pula dengan jumlah barang bukti yang juga terus mengalami peningkatan, dari yang sebelumnya hitungan gram belakangan menjadu hitungan kiloram. Bahkan ada yang sampai menembus hitungan ton.
Inilah potret kegagalan Negara dalam mengendalikan atau menekan peredaran narkotika.
Kebijakan narkotika sendiri terus mengalami perubahan, sejak Undang-undang (UU) yang dikeluarkan pada 1997 hingga UU terakhir nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika dan berbagai aturan turunan baik dari BNN, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Sosial (Kemensos), Mahkamah Agung (MA) dan Kejaksaan tinggi. Semua aturan yang dikeluarkan berkaitan dengan penanganan situasi narkotika.
Hal ini dilakukan sejak keluarnya peryantaan Presiden Joko Widodo (Jokowi), bahwa Indonesia mengalami darurat narkotika.
Sayangnya kebijakan yang dilaksanakan justru bertabrakan dengan tujuan yang diatur dalam UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika. Hal ini karena lebih banyak unsur penegak hukum yang bergerak, seperti polisi dan BNN sedangkan unsur kesehatan, badan pengawas makanan dan institusi lainnya justru terlihat pasif.
Tidak Populer
Maka tidak kaget jika lapas dan rutan hampir di seluruh Indonesia mengalami peningkatan. Padahal kesehatan masyarakat menjadi faktor penting dalam penanganan narkotika dan menjadi strategi paling efektif dalam mencegah dan menekan peredaran narkotika.
Namun, pilihan ini sangat tidak populer di kalangan institusi yang bergerak dalam penanganan narkotika.
Sudah terlalu banyak contoh kita ketahui dengan penghukuman malah justru membuat mereka menjadi lebih parah. Awalnya hanya tertangkap dengan barang bukti 0,03 gr (di bawah 1 gram), setelah itu bebas dan tertangkap lagi 5 gr, bebas dan tertangkap kembali dengan puluhan gram.
Artinya hukuman membuat mereka yang awalnya hanya menggunakan buat diri sendiri, berkembang memfasilitasi sebayanya dan terakhir berkembang dengan mengetahui jaringan pasarnya.
Di Bali sendiri sudah ada yang mengalami hal itu. Belum lagi, area abu-abu penegakan hukum antara bandar dan pengguna, di mana Bandar bisa dihukum sebagai pengguna, sedangkan pengguna dihukum sebagai bandar (kurir).
Akibatnya, hak untuk mendapatkan vonis rehabilitasi (sebagai pengguna) tidak dapat terpenuhi. Harapan agar mereka pulih menjadi lebih sulit dan komplek dalam penanganannya. Belum lagi jika kita berbicara isu-isu kesehatan yang diakibatkan dari penggunaan narkotika, seperti HIV, hepatitis dan overdosis.
Kita memerlukan penanganan narkotika yang baru. Tidak lagi penanganan secara normatif (penghukuman) khususnya bagi pengguna. Di mana penanganan normatif tersebut sudah kita lakukan sejak 1997 bahkan jauh sebelum itu. Kenyataannya justru malah menambah masalah baru di lapas dan rutan.
Sesuai Konvensi
Perspektif rehabilitasi sendiri sudah didorong sejak 2006 hingga saat ini. Hal tersebut sesuai dengan Konvensi Internasional dan diakomodir juga oleh UU di dalam negeri.
Hal ini muncul karena dari perspektif kesehatan, pengguna narkotika mengarah ke kecanduan dianggap sebagai suatu penyakit. Yang disebut dengan penyakit kambuhan yang bersifat kronis. Maka penanganannya harus berbentuk vonis rehabilitasi.
Ini sama dengan penanganan penyakit diabetes militus di mana si penderita dan lingkungan menjadi faktor sangat penting dalam mengubah kebiasaan yang mereka miliki.
UU sendiri sudah mengatur tentang vonis rehabilitasi, hanya saja penegakannya masih terkesan belum merata. Masih adanya oknum-oknum petugas yang melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme. Akibatnya vonis rehabilitasi hanya bagi mereka yang punya akses tersebut.
Kalau kita hitung secara kasar, dari 10 kasus narkotika yang ditangani, mungkin hanya 1 kasus yang berakhir secara formal ke vonis rehabilitasi di panti rehabilitasi. Tiga di antaranya adalah penghukuman walaupun dalam kurun waktu singkat antara 6 sampai 1 tahun. Sisanya penghukuman penuh, antara 4 sampai 7 tahun.
Padahal sejatinya penerapan vonis rehabilitasi harus melalui beberapa langkah sebagaimana sudah diatur dalam aturan turunan beberapa institusi, seperti di kepolisian, BNN, kejaksaan dan MA.
Salah satu unsur seperti, urine tes harus positif, ada hasil assemen yang menyatakan yang menyatakan yang bersangkutan pengguna (baik dari BNN atau polisi), harus ada sejarah pernah dirawat (baik Rumah sakit, LSM maupun institusi perawatan lain yang ditunjuk oleh Negara), dan unsur-unsur lainnya yang diakui secara hukum.
Sayangnya tidak banyak pengguna ataupun keluarga mengetahui terkait mekanisme ini. Maka tidak mengherankan jika penerapan vonis rehabiltasi terkendala akibat tidak terpenuhinya semua unsur di atas.
Tawar Menawar Pasal
Untuk itulah, IKON Bali sebagai kelompok dukungan bagi korban napza di Bali berusaha mendorong implementasi kebijakan rehabilitasi bagi pengguna sejak 2006 silam.
Ngurah Kertajaya, Koordinator IKON Bali, mengatakan upaya mengkampanyekan pecandu sebagai korban dilakukan melalui kampanye di sekolah dan bahkan sampai ke intitusi penegak hukum. Namun, sampai saat ini masih saja ada kendala yang dihadapi.
“Belum lagi semua institusi terkesan berlomba-lomba dalam penanganan assessment,” kata Kertajaya.
Menurut Kertajaya, mekanisme assessment pecandu ada di beberapa institusi, seperti di BNN, Polisi dan gabungan antara polisi, psikolog dan kejaksaan, termasuk juga di institusi penerima wajib lapor di bawah Kemenkes dan Kemensos.
Selain belum berjalanannya vonis rehabilitasi bagi korban napza, pelanggaran HAM dalam proses penegakan hukum pun masih terjadi. Kalau dulu bentuk pelanggarannya berbentuk kekerasan dalam penyidikan tetapi kalau sekarang bentuknya pemerasan (tawar menawar pasal).
“Itu sudah menjadi rahasia umum,” ujar Wayan Dita, anggota IKON Bali.
Hal tersebut berkaitan dengan pelaksanaan penegakan hukum pidana di Indonesia di mana Negara kita hanya memberi ruang pada polisi dan kejaksanaan saja yang memiiki dominasi dalam proses pembuktian. Padahal, kalau kita berbicara narkotika, penangannya melibatkan unsur kesehatan seperti dokter, psikolog, psikiatri, LSM dan lainnya.
Dalam penegakan diagnosisnya sebenarnya tidak melibatkan unsur hukum, seperti polisi maupun BNN. Tetapi justru hasil assessment yang diakui hanya milik mereka. “Gimana ga terjadi pelanggaran HAM?” ujar Wayan Dita kembali.
Karena itu, IKON Bali berharap, kebijakan narkotika yang dijalankan dapat melindungi masyarakat dari bahaya narkotika. Informasi yang disediakan pun bukan informasi yang menakut-nakuti. Dengan demikian, tidak ada lagi kekhawatiran orang tua terhadap pergaulan anak-anaknya.
Penanganan tegas dan konsisten terhadap pengguna bisa dilakukan dengan memfasilitasi berbagai bentuk rehabilitasi yang ada, tidak hanya berpangku pada satu metode rehabilitasi yang harus menginap dan di dalam sel seperti saat ini.
Dengan demikian, masyarakat tidak akan takut untuk mengakses rehabilitasi, baik melaporkan diri dan bersedia untuk menjalankan perawatan rehabilitasi secara sukarela tanpa tekanan. [b]