Para seniman merespon tema pandemi Covid-19 di atas medium kardus, kertas karton, dan material-material bekas lainnya. Dipilihnya medium ini sebagai representasi dari situasi yang krisis dan rentan.
Tiap-tiap era dapat terwakilkan oleh bentuk karya seni yang dihasilkan. Tidak terkecuali di Indonesia, yang pada masa prasejarahnya ditandai oleh lukisan berupa cap telapak tangan dan kaki pada dinding gua-gua, serta artefak-artefak penting lainnya. Lalu masa kolonialisme-nya yang didominasi oleh lukisan-lukisan lanskap hindia molek.
Menjelang masa kemerdekaan yang ditandai dengan karya-karya bernarasi semangat juang dengan gaya-gaya realism sosial. Mencuatnya era Orde Baru bersamaan dengan industrialisasi yang menunjukkan karya-karya kritik akan pemerintahan, ketimpangan ekonomi, dan gaya hidup. Masa reformasi yang disemarakkan oleh gerakan seni dan aktivisme. Hingga pasca reformasi dengan wacana kebebasannya yang melahirkan karya-karya eksperimental dan berbau teknologi.
Hari ini yang banyak orang sebut sebagai awal dari era new normal akibat kondisi pandemi yang dialami seluruh dunia, juga turut melahirkan karya-karya yang akan mengisi halaman baru sejarah senirupa Indonesia sekaligus senirupa global.
Hampir 5 bulan sejak wabah jenis corona ini muncul, teramati banyak pameran-pameran bertemakan pandemi yang dilaksanakan secara virtual baik lewat website maupun platform daring. Tidak berbeda dengan semangat. Sudjojono dan kawan-kawannya yang saat itu tengah memperjuangkan kemerdekaan, seniman-seniman yang hidup di era ini juga meminjam momentum ini untuk menyampaikan positivism serta harapan tentang dunia pasca pandemi hingga refleksi dalam karya mereka atas serangkaian fenomena yang terjadi selama pandemi.
Melihat adanya kesamaan kesadaran dengan para pelaku seni, Kulidan Art space terpanggil untuk melakukan pencatatan visual terhadap kondisi selama masa pandemi corona covid-19 ini. Upaya ini menjadi penting dilakukan tidak hanya oleh lembaga yang bergerak dibidang pengumpulan arsip, sebaliknya juga galeri-galeri yang selama ini adalah panggung bagi para seniman untuk menyatakan dirinya.
Rekaman peristiwa dan kondisi dunia di masa pandemi dalam karya-karya para seniman dianggap akan menjadi arsip yang berharga. Sejalan dengan yang diyakini Kulidan Artspace tentang asumsinya bahwa upaya pendokumentasian ini akan menjadi pijakan sejarah di masa depan.
Catatan visual atau pengarsipan ini diadakan dalam format pameran, dengan mekanisme open call atau undangan terbuka. Para peserta yang lolos dalam seleksi pameran ini berjumlah 18 orang, sebagian dari mereka merupakan mahasiswa senirupa dan seniman yang beragam secara visual dan konsep. Di antaranya yaitu Nana Parta, I.B. Eka Sutha, Yeye, Vincent Chandra, I.B Suryantara, Sugiada Anduk, Ratih Aptiwidyari, Kadek Wiradinata, Gede Opan, Yohanes Soubirius, Nyoman Sulaksana, Mirah Rahmawati, Aditya, Heru Prasetyo, Dayu Sartika, Arya Septyasa, Joning Prayoga, dan Surya Subrata.
Mereka mencoba memenuhi tagihan dalam pameran ini yaitu merespon tema pandemi Covid-19 di atas medium kardus, kertas karton, dan material-material bekas lainnya. Dipilihnya medium ini sebagai representasi dari situasi yang krisis dan rentan.
Selain juga untuk mengajak para seniman agar jeli memanfaatkan material bekas untuk berkarya sambil menjaga lingkungan. Terlepas dari itu kalimat “tak ada rotan akar pun jadi” menjadi cocok untuk digunakan dalam menggambarkan konteks ini. Akibat keterbatasan gerak kita di luar rumah, tentu saja akan sedikit tidaknya berpengaruh dalam memperoleh alat dan bahan untuk berkarya. Karena itu medium berdasar material bekas yang dianggap mudah di dapat di sekitar kita akan menguntungkan para seniman dalam berkarya. Tanpa mengurangi nilai estetika yang dewasa ini amat cair dan tidak berkaitan dengan persoalan daya tahan material, lama pengerjaan, bahkan tema, dan sebagainya.
Menumpahkan ekspresi para seniman di atas material bekas adalah satu-satunya tagihan dalam pameran ini. Tidak pula bermaksud membatasi pilihan medium. Menyeragamkan medium tidak berarti juga menyamaratakan visual pada karya.
Terbukti pada hasil karya-karya yang telah lolos dalam seleksi pameran ini tetap tampak variatif dan tidak menghilangkan karakter masing-masing seniman. Keragamanan memang selalu menyenangkan, dari para peserta pameran ada yang menyampaikan ironi dan kegelisahannya dengan kecenderungan dekoratif, ada yang memilih garis sebagai elemen utama dalam karyanya, adapula yang mengolah-olah kembali material sebagai bahasa dalam karyanya.
Hampir kesemuanya menghadirkan symbol dan ikon yang kerap verbal dan mudah dikenali sebagai trend pada era-nya pandemic seperti lembaran masker yang terpasang di wajah serta virus corona yang perwujudannya mirip dengan mahkota. Namun jejak peristiwa yang mereka rekam adalah tafsir, peristiwa yang subjektif atau hasil dari pengalaman pribadi dan sekitarnya, katakanlah curhatan mereka.
Ratih Aptiwidyari misalnya, yang belakangan bersama teman dan keluarganya telah menanti-nanti momen perayaan selesainya studi harus kecewa karena akibat pembatasan sosial perayaannya kini hanya menjadi ilusi, tidak riil, dan kesenangan yang dinanti-nanti harus lewat begitu saja.
Sementara karya Joning Prayoga, merekam ironi lainnya atas kesulitan yang ia hadapi sebagai mahasiswa rantau yang terpaksa jauh dari keluarga, terlebih lagi dalam kondisi seperti ini ia harus menurut pada larangan untuk kembali ke kampung halamannya. Dalam karyanya Ia menggambarkan hal yang paling krusial dan berguna untuknya saat ini yaitu semacam bantuan sosial berupa kebutuhan pokok.
Bagaimana kemudian dunia berubah dengan seisinya yang mencoba membiasakan diri lewat praktik social distancing, dan stay at home terekam dalam karya I.B. Suryantara, Kadek Wiradinata, Heru Prasetya.
Sementara dalam karya Mirah Rahmawati dan Yohanes Soubirius tampak virus-virus dibuat memenuhi dan menyesakkan komposisi bidang gambar. Mereka seolah hendak menegaskan kesuperioran makhluk mikroskopis ini di tengah kehidupan manusia. Kemudian ada upaya-upaya reflektif yang coba dihadirkan dalam karya Aditya Arief dan Yeye. Mereka mencoba mempertanyakan realita persoalan yang kita hadapi saat ini.
Meminjam ikon-ikon budaya Bali, Eka Sutha dengan coretan-coretan bebasnya hendak merekam cara-cara masyarakat Bali menghadapi wabah corona dengan tidak memusuhinya, atau berdamai dengan mereka. Dayu Sartika yang berkarya dalam bentuk drawing menyampaikan kegelisahannya selama pandemi terhadap berita berisi informasi-informasi yang belum tentu valid namun meneror dan mendominasi kehidupan sekelilingnya.
Kegelisahan serupa juga ditunjukkan oleh Vincent dalam karyanya yang merekam fenomena kepanikan irasional yang muncul pada masyarakat kita di awal pandemic ini, kondisi dimana masyarakat menyelamatkan diri dengan rasa panic yang berlebihan, menciptakan rasa aman secara egois agar merasa bisa mengontrol ketidaktahuan atas sebuah situasi.
Peristiwa penting lainnya juga tercatat dalam karya Nana Partha dan Surya Subrata. Di tengah-tengah kekhawatiran dan ketegangan sejak outbreak virus ini, ada hal membahagiakan yang sulit terjadi sebelumnya. Akibat berkurang drastisnya aktivitas di luar rumah, alam rasanya bisa bernapas segar, langit tampak lebih jernih, polusi berkurang, dan kualitas udara semakin meningkat.
Bumi seakan sedang menyembuhkan dirinya sendiri. Dalam karya Surya Subrata pun, ia hendak memaknai pandemi ini sebagai momentum positif bagi semua orang agar saling menjaga dan member dukungan satu sama lain untuk melewati kondisi ini. Ia percaya semua insan lahir ke dunia untuk saling membantu dan menjaga.
Pada akhirnya pameran yang digarap oleh Kulidan Artspace dan timnya ini menjanjikan interpretasi yang luas pada tiap-tiap karya yang memiliki keragaman kecenderungan visual. Temanya yang universal, membantu kita untuk mencapai klimaks dalam menyimak karya-karya yang dipamerkan. Momentum ini juga diharapkan membuka kesadaran baik pihak penyelenggara dan para peserta pameran untuk semakin awas dan berani responsif terhadap kondisi kekinian yang membalut aktivitas sehari-hari. Akhir kata, selamat mengapresiasi!
Vincent Chandra, Singaraja, Mei 2020