Masyarakat memancing di Teluk Benoa. Foto oleh: Dewa Kresnananta
Tema lingkungan seperti apa yang harus dibahas di Pilkada 2024? Pemerintah Provinsi Bali sendiri telah mengeluarkan berbagai macam regulasi bertajuk “Nangun Sat Kerthi Loka Bali”. Dalam rilis yang dipublikasikan pada laman baliprov.go.id, sejumlah regulasi tersebut antara lain Pergub Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai, Pergub Nomor 45 Tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih, Pergub Nomor 48 Tahun 2019 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai, dan Pergub Nomor 8 Tahun 2019 tentang Sistem Pertanian Organik.
Dilansir dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, visi ini dimaksudkan untuk menuju Bali Era Baru dengan menata secara fundamental dan komprehensif pembangunan Bali yang mencakup tiga aspek utama, yaitu alam, krama, dan kebudayaan Bali berdasarkan Tri Hita Karana yang berakar dari kearifan lokal Sad Kerthi.
Aktivis lingkungan, Iwan Dewantama, mengungkapkan bahwa dirinya sangat senang ketika pemerintah Bali menyampaikan visi tersebut. “Kalau itu dilakukan dengan benar, LSM udah nggak perlu, nggak ada kerjaan lagi di Bali,” ungkapnya ketika diwawancarai pada Selasa, 3 September 2024. Namun, implementasi yang dilakukan tidak selaras dengan visi yang dicitakan.
Berkaca dari kondisi tersebut, Bali membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki visi iklim dan lingkungan, tentunya dengan kemauan politik yang kuat, seperti yang diungkapkan Suriadi Darmoko dari 350 Indonesia. “Yang kosong hari ini tuh kan kemauan politiknya yang nggak ada, sehingga para kandidat ini tidak hanya ditanya, sebenarnya tidak hanya diperiksa bagaimana visinya. Tapi bagaimana kemauan politiknya mengimplementasikan itu,” ujarnya pada Senin, 2 September 2024.
Dirangkum dari berbagai praktisi lingkungan, inilah tiga masalah lingkungan yang hanya manis di atas kertas dan perlu ditagih implementasinya.
Transisi energi bersih
Wacana menuju Bali mandiri energi bersih sebenarnya sudah ada sejak pemerintahan sebelumnya. Namun, faktanya bauran pembangkit energi baru terbarukan (EBT) di Bali masih terbilang minim. Dilansir dari artikel yang dipublikasikan oleh Antara, PT PLN Persero menyatakan bauran pembangkit EBT di Bali hanya mencapai angka 1,48 persen. Padahal, dilihat dari potensinya, Bali memiliki potensi besar untuk mengembangkan penggunaan EBT.
Dalam artikel yang telah diterbitkan oleh BaleBengong yang berjudul “Bali Pasca G20: Harusnya Meraih Apa?”, terdapat tiga hal yang menjadi kesempatan besar untuk Bali mandiri energi. Pertama, tuan rumah KTT G20 dengan kesepakatan bernilai USD 20 miliar. Kesempatan ini seharusnya menjadikan Bali tempat pertama dan utama untuk transisi energi. Kedua, tersedianya peraturan yang memadai untuk mengimplementasikan energi terbarukan dan transisi energi di Bali. Ketiga, penggunaan pendanaan yang bersumber dari JETP (Just Energy Transition Partnership) untuk memperkuat dan memperbesar skala pembangkit energi terbarukan.
Potensi Bali mandiri energi ini juga dapat dilihat dari Kabupaten Bangli, satu-satunya kabupaten di Bali yang memiliki BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) untuk mengelola energi terbarukan berupa Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dijual ke PLN (Perusahaan Listrik Negara). Darmoko menyebutkan bahwa Bangli dapat menjadi daerah percontohan untuk daerah-daerah lain menuju mandiri energi bersih. “Nah itu harusnya bisa dieskalasi itu, diperbesar bagaimana aset-aset pemerintah daerah itu bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan energi terbarukan, lalu dijual. Tidak usah jauh jauhlah, ke keluarganya sendiri gitu, kan kita juga butuh listrik. Jadi pemerintah daerah bisa meningkatkan pendapatan dari sisi dari pengembangan energi terbarukan,” ungkapnya.
Efek domino alih fungsi lahan (penurunan ruang terbuka hijau, abrasi, dan krisis air)
Ketika berbicara alih fungsi lahan, artinya banyak lahan yang seharusnya memiliki fungsi ekologi berubah menjadi non ekologi, seperti alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian. Alih fungsi lahan menimbulkan efek domino terhadap suplai air bersih di Bali. Hal ini diungkapkan oleh Sofwan Hakim, Kepala Sekretariat Koalisi Emisi Nol Bersih. “Kami melihat adanya beberapa konversi guna lahan, penggunaan yang cukup masif di beberapa daerah. Kami melihat ini juga membutuhkan solusi, inovasi dari para pemimpin daerah berikutnya untuk mengatasi permasalahan air bersih,” terangnya ketika ditemui langsung pada Selasa, 3 September 2024.
Salah satu dampak dari krisis iklim adalah krisis air, sehingga di puncak kemarau suplai air akan menipis dan terjadi kekeringan. Oleh karena itu, semakin masif dan semakin meluas alih fungsi lahan dilakukan, wilayah tangkapan airnya akan berkurang. “Sebenarnya area Bali ini kan terbatas segini aja gitu. Kita ini kan sekarang net importir untuk listrik, nanti jangan sampai kita tuh net importir air juga gitu,” ungkap Darmoko.
Selain menurunnya suplai air bersih, alih fungsi lahan juga dapat mengakibatkan kurangnya suplai oksigen. Persentase kawasan hutan di Bali terbilang minim, sebagaimana yang diungkapkan oleh Iwan, data pemerintah menunjukkan kawasan hutan di Bali hanya 22 persen, sedangkan angka idealnya adalah 30 persen. “Dari segi angka, 22 persen itu udah lebih kecil. Dari segi tutupan juga banyak yang tutupannya minim sekali. Artinya kondisi yang tidak ideal ini harus diperbaiki dan ditingkatkan,” imbuhnya.
Efek domino lainnya adalah degradasi pesisir pantai yang menimbulkan abrasi di pantai. Salah satu contoh yang saat ini terjadi adalah di Uluwatu, yaitu penebasan tebing Uluwatu untuk dijadikan jalan. Iwan mengungkapkan bahwa kegiatan tersebut dapat merusak ombak yang ada di Uluwatu. “Niatnya biar lebih kuat malah diganggu dengan dibongkar kayak gitu,” ujarnya.
Konsistensi perencanaan dan pelaksanaan berbasis satu pulau
Setiap pemerintahan di Bali memiliki porsinya masing-masing dalam mengatur, merencanakan, dan mengimplementasikan setiap isu iklim dan lingkungan di Bali. Dalam rangka mengatasi isu iklim dan lingkungan di Bali, pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota dapat bergotong royong dan bersama-sama mengatasi isu tersebut.
Darmoko mengungkapkan bahwa penanganan isu iklim dan lingkungan di Bali dapat dikerjakan secara simultan karena kewenangannya tidak menumpuk pada satu pemerintah daerah. Sebagai contoh, pemerintah provinsi dapat menangani permasalahan alih fungsi lahan dengan pendekatan penataan tata ruang. Dengan adanya kesiapan dari pemerintah provinsi dan pemerintah daerah, penanganan isu iklim dan lingkungan seharusnya dapat dilakukan secara simultan.