Mahalnya harga bahan bakar minyak, membuat Dimas Pamungkas menggunakan briket batu bara sebagai bahan bakar. Dia membuat peralatan lain berbahan bakar sama. Kini dia sampai kewalahan melayani pesanan.
Dimas Bayu Adji Pamungkas menyimpan puluhan kompor rakitannya di salah satu ruangan tempat usahanya di Banjar Padang Sumbu Kaja Kerobokan, Kuta Utara. “Saya belum sempat memasarkan,” katanya. Tiga bulan terakhir, Dimas mengaku sibuk ikut pameran untuk memperkenalkan hasil karyanya, termasuk kompor-kompor itu tadi.
Akhir tahun lalu misalnya, Dimas ikut pameran briket batu bara dan diversifikasi energi di Jakarta. Pameran pertama yang diikuti tersebut punya kenangan tersendiri bagi bapak lima anak itu. Seusai membuka pameran, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat berkunjung ke anjungannya dan wawancara selama sekitar 15 menit. “Wah, senangnya luar biasa,” kata Dimas. Setelah itu, pria kelahiran Semarang ini ikut lagi pameran bertema sama di Surabaya. Lagi-lagi banyak pengunjung tertarik dengan hasil karyanya.
Di saat makin tingginya harga bahan bakar minyak (BBM), karya Dimas memang bisa jadi alternatif. Alat yang dibuat sebenarnya tak baru. Misalnya ketel uap, pengering kayu, penyangrai kopi, hingga pengering kain. Dimas hanya memodifikasi alat tersebut dari yang semula menggunakan sumber bahan bakar minyak tanah atau listrik diganti dengan briket batu bara. Suami Dara Mehdia ini mengaku membuat alat tergantung pesanan konsumen.
Konsumen yang masuk daftar tunggu tersebut adalah beberapa pabrik makanan ringan di Jakarta. Mereka minta dibuatkan ketel uap, pengering kacang, dan oven. Ada pula konsumen yang minta dibuatkan kompor, pengering kayu, atau boiler. Selain dari Jakarta, ada pula konsumen dari Palembang, Lampung, Pekanbaru, serta daerah lain di luar Bali. “Konsumen saya kebanyakan dari luar Bali,” ujarnya. Dimas tak mengingat satu per satu alat yang telah dibuatnya. Namun, menurutnya, ketel uap adalah alat yang paling banyak diminta konsumen.
Kebetulan dia sendiri memang menggunakan ketel uap di pabrik garmennya di belakang Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kerobokan. Sejak 2000, Dimas dan istrinya membuka pabrik garmen. Salah satu prosesnya adalah pencelupan dan pengeringan kain. Pada proses pencelupan, air yang digunakan harus direbus dengan minyak tanah agar panas. Demikian pula mesin pengering. Untuk satu alat dia bisa menghabiskan minyak tanah hingga 50 liter per hari. Dengan harga minyak tanah Rp 2000 per liter berarti dia butuh Rp 100.000 per hari. Berarti dia menghabiskan Rp 200.000 per hari untuk pencelup dan pengering.
Ketika harga BBM makin hari main naik, Dimas mencari bahan bakar alternatif. Setelah mencari di internet dia mendapat jawaban untuk menggunakan briket batu bara. Dia pun menghubungi PT Bukit Asam di Gresik. Sayangnya perusahaan pembuat briket batu bara itu juga tak memberi alat untuk menggunakan. Kebiasaan kecil dan remaja yang suka otak-atik mesin di bengkel dilakukannya lagi.
Dimas rajin mencari model alat di buku-buku bekas. Tiap berkunjung ke Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, atau Semarang, dia selalu menyempatkan ubek-ubek buku bekas soal teknik. Dimas pun tak segan fotokopi skripsi mahasiswa. Bahan itu dia dapat dari hasil berburu di pasar loak ataupun internet. Lahirlah mesin pengering sebagai karya pertama yang menggunakan bahan bakar briket batu bara yang dibuatnya bersama tujuh karyawan selama 10 hari. Prinsip dasar alat ini sama dengan mesin pencuci tapi bahan bakarnya briket.
Untuk mengeringkan 200 lembar kain, hanya dibutuhkan waktu tak lebih dari 20 menit. Sebagai bahan bakar, Dimas hanya butuh 9 kg briket batu bara per hari. Dengan harga pasar Rp 1.400, berarti dia hanya butuh Rp 12.600 per hari untuk satu alat. “Jauh lebih murah dibanding minyak tanah,” tegasnya.
Puas dengan hasil itu, Dimas yang lulusan SMA itu pun membuat ketel uap. Alat ini bisa dipakai pabrik tahu, pemasak nasi, maupun makanan kecil. Dimas sendiri membuat ketel uap untuk alat pencelup kain. Prinsip kerjanya dia memanaskan air dari ketel uap kemudian dialirkan ke bak pencelup kain. Bahan bakarnya briket, dari yang sebelumnya minyak tanah.
Biaya pembuatan ketel uap itu, dia menghabiskan duit sekitar Rp 30 juta. “Memang agak mahal di awal, tapi akan jauh lebih murah pada akhirnya,” katanya. Menurut Dimas, saat ini dia perlu briket batu bara 24 kg per hari untuk bahan bakar. Padahal sebelumnya dia perlu hingga 50 liter minyak tanah per hari. Rata-rata, penghematan karena pakai briket itu sampai separuh dari biaya sebelumnya.
Ketel uap inilah yang saat ini paling banyak diminta konsumen. Sebabnya multi-fungsi itu tadi. Di Bali, menurut Dimas, beberapa konsumennya adalah pembuat kue, tahu, atau tempe. Konsumen yang sama juga datang dari luar Bali, bahkan paling banyak. Saat ini sudah ngantri belasn konsumen memesan alat. Untuk satu alat pesanan itu karena ukurannya relatif lebih kecil, harganya sekitar Rp 25 juta. “Konsumen saya memang lebih banyak industri kecil menengah,” kata anak ketujuh dari 10 bersaudara ini.
Toh, Dimas tak hanya melayani permintaan industri kecil menengah. Rumah tangga pun bisa. Untuk itu Dimas juga membuat kompor kecil. Saat ini ada dua jenis kompor briket yang dibuatnya. Bedanya hanya di ukuran. Menurut Dimas, satu kompor hanya butuh dua briket jenis sarang tawon. Hanya dengan dua briket itu, kompor bisa menyala hingga sehari penuh. “Jauh lebih awet,” kata salah satu karyawan UD Swasana Bali, perusahaan milik Dimas dan istrinya.
Berbeda dengan alat lain yang dibuat berdasarkan pesanan, kompor briket sudah dibuat dalam jumlah banyak. Pengguna kompor itu, salah satunya ya anak buah Dimas yang tinggal di perusahaan garmen. Mereka memasak air dengan kompor itu. Apinya memang terlihat biru seperi kompor gas. Menurut Dimas, kompor itu sudah dijual dengan harga Rp 60.000 untuk yang kecil dan Rp 80.000 ukuran besar. Tapi belum banyak di pasar umum.
Untuk memasarkan kompor dan alat lain yang berbahan bakar briket, menurut Dimas, perlu adanya perubahan psikologis dulu. Sebab memang ada beberapa masalah ketika pakai bahan bakar briket. Di antaranya adalah perlu waktu lebih lama untuk menyalakan briket. Kalau pakai minyak tanah langsung menyala, maka briket harus menunggu paling tidak 15 menit agar jadi bara dan bisa dipakai.
Selain itu, ketika pertama kali dibakar briket juga akan mengeluarkan asap hitam. Tapi asap itu akan hilang kalau briket sudah memerah jadi bara. Karena itulah, menurut Dimas, perlu pemahaman dulu dari masyarakat tentang briket sebelum mereka pakai briket batu bara. “Itu yang perlu dilakukan pemerintah,” ujarnya. [+++]
-ini pernah dimuat Media Indonesia sekitar setahun lalu-