“Photography is a small voice, at best, but sometimes one photograph, or a group of them, can lure our sense of awareness.” W Eugene Smith
Seorang bapak tua mengayuh sepeda gayung pelan-pelan, melewati jalanan paving yang penuh debu. Jalan itu membelah Setra Agung Badung (kuburan).
Tiap sore, sepulang dari kantor, Candra Dewi melewati jalan itu juga. Bertemu orang-orang seperti si bapak tua pengayuh sepeda, menikmati suasana setra dengan berbagai aktivitas sore. Sebagai perempuan Bali yang menghabiskan masa anak-anak di luar pulau, pada mulanya Candra tidak begitu akrab dengan keriuhan tersendiri yang diciptakan kompleks pemakaman ini.
Namun, seiring waktu, proses adaptasi yang cukup panjang membuat Candra mempunyai sudut pandang yang menarik. Alih-alih menganggap setra ini sebagai jalanan yang dilewati tiap pulang ke rumah, Candra justru menemukan sebuah perenungan. Dia mempertanyakan tentang jalan pulang yang lain, jalan pulang menuju rumah yang abadi.
Pada karya berjudul “Jalan Pulang”, Candra mengajak kita berjalan melewati lingkungan setra yang dia lewati tiap sore. Membaca berbagai peristiwa dan situasi yang dia tangkap dalam foto-foto yang didisplay di atas meja. Sekaligus mengajak kita merenungi batas-batas kematian dan kehidupan yang bersisian.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak cerita sederhana di sekitar kita yang menarik. Cerita-cerita yang tidak dikatakan, atau jarang dikatakan, tapi sebenarnya mempunyai keunikan tersendiri jika kita membicarakannya.
Cerita-cerita itu terkadang menggelitik, lucu, haru, serta tak jarang pula membuat kita intropeksi dan belajar.
Seperti karya Nyoman Arya Suartawan yang berjudul “Ikan Cupang”, dia menceritakan tentang hubungan personal dia dengan ikan-ikan cupang hias. Berawal dari iseng memelihara 1 ekor ikan cupang hias, kemudian dia ketagihan dan memelihara hingga lebih dari 70 ekor.
Dia mempelajari segala macam hal yang berhubungan dengan ikan cupang, cara merawat, makanan, obat, perkembang biakan dan lain-lain. Begitu besarnya minat dia kepada ikan cupang, dia bahkan merawat ikan-ikan cupangnya seperti bagian dari keluarganya. Istri dan anak-anaknyapun juga ikut merawat dengan penuh kasih.
Keberadaan ikan-ikan cupang di rumahnya menjadi sebuah hal amat penting. Setiap pulang kerja, ikan-ikan cupang ini dimanfaatkan sebagai media refreshing, Arya duduk santai di depan aquarium-aquariumnya untuk menikmati liukan gerakan ikan-ikan cupang itu mengelilingi ruang aquariumnya.
Wayan Martino juga mempunyai cerita menarik, tentang keseharian bapaknya dengan radio, yang membuat Martino berhadapan dengan situasi antara khawatir dan cemas, sekaligus sebagai media belajar kepercayaan diri. Tiap pagi suara radio yang fals itu membangunkan tidurnya, sekaligus membuat dia kuatir, suara kencang radio bapaknya itu akan mengganggu tetangganya yang masih terlelap. Rupanya radio itu bersuara lebih cepat dari kokokan ayam jago.
Karya Martino berjudul “Radio Bapak” ini unik, kita diajak untuk bertatap muka dengan bapaknya. Bercakap-cakap dengan suasana rumah dan tempat-tempat yang hampir setiap hari dilewati bapaknya sambil mendengarkan radio.
Membaca foto-foto Martino seperti masuk ke dalam kehidupan personalnya sebagai anak seorang bapak yang beberapa kali menginap di rumah sakit jiwa, dan ikut serta dalam proses pembelajaran Martino menjadi seorang yang percaya diri.
Karya Candra, Arya dan Martino ini adalah tiga dari 7 karya foto yang dipresentasikan dalam Pameran Foto “UNSPOKEN” di Uma Seminyak, 11-23 Maret 2017. Pameran foto ini menampilkan 7 foto cerita personal yang dikerjakan dalam beberapa bulan ini, karya dari angkatan pertama kelas #SayaBercerita.
Dengan pendekatan fotografer sebagai subyek, karya-karya mereka menjadi sangat personal. Melalui karya mereka, kita bisa melihat cerita-cerita yang selama ini dianggap tidak ada, namun sebenarnya terjadi di sekitar kita sendiri.
Seperti karya Ratnayanti Sukma, dia menceritakan tentang keluarganya. Ratna sebagai anak pertama yang menginjak usia dewasa, menyadari bagaimana sistem komunikasi keluarganya yang telah pasif bertahun-tahun.
Kesadaran itu muncul ketika dia tidak sengaja pertama kalinya mempunyai foto keluarga lengkap, tepat saat hari ulang tahun ayahnya. Dari foto itu dia berusaha merekonstruksi apa yang terjadi dalam sistem komunikasi di keluarganya, bagaimana sosok ayahnya sebagai satu-satunya pria di keluarganya menjalani keseharian.
Pada proses pengerjaan karya fotonya ini, dia menemukan banyak cerita di keluarganya, yang akhirnya membuat dia dan adik-adiknya menjadi lebih dekat lagi dengan sosok ayah, dan tentu dengan ibunya. Ratna mengemas karya fotonya dengan apik dalam bentuk sebuah buku harian besar yang dia rancang sendiri.
Hampir sama dengan Ratna, karya Dodik juga menceritakan tentang dirinya dalam keluarganya. Dodik bercerita tentang ke-lupa-an, tentang hal-hal yang tanpa dia sadari telah terlewatkan begitu saja hingga umurnya beranjak dewasa. Dia mencoba merekontruksi album foto masa kecilnya yang ditemukan di rak kamarnya, lalu diterjemahkan melalui foto-foto yang dia ambil di masa sekarang.
Dengan jeli dia mengambil bagian-bagian cerita masa lalunya, lalu ditata ulang membentuk mozaik-mozaik peristiwa yang amat momentum bagi dia. Dengan menggunakan teknik kolase, karyanya dipajang tidak beraturan pada sebuah papan abu-abu.
Banyaknya hal-hal terlupakan yang disampaikan pada foto-foto pilihannya tersebut sebenarnya justru menujukkan bahwa dirinya sedang dalam titik ingat yang cukup detail. Mungkin karya ini selanjutnya menjadi sebuah titik balik dari perjalanan hidupnya mencari identitas.
Fotografi sebagai media komunikasi visual terkadang memang mampu membuat kita bercermin dan membentuk kesadaran tentang apa yang terjadi di sekitar kita. Fotogra? sebagai cara untuk melihat, menggambarkan masa lalu dan sepenggal sejarah yang tidak hanya ketika foto diambil tetapi juga saat foto itu dilihat di waktu yang berbeda.
Seperti hal sederhana yang diceritakan oleh Anton Aryadi dalam karyanya berjudul “Odah”. Setiap hari, odah atau nenek Anton menghaturkan makanan dan secangkir kopi di depan sebuah foto almarhum suaminya di salah satu meja di rumahnya. Meski foto itu sudah terlihat usang, namun mempunyai nilai kenangan yang amat berarti bagi odah.
Beliau merasa suaminya masih ada di rumah itu. Foto itu menjadi perantara komunikasi secara tak langsung. Menghaturkan makanan dan secangkir kopi itu merupakan representasi dari kebiasaan makan bersama saat suaminya masih hidup.
Cerita odah pada karya Anton ini mewakili cerita-cerita yang sebenarnya banyak terjadi di lingkungan kita, sebuah cerita tradisi yang mungkin bakal hilang dimakan zaman. Karya Anton ini selanjutnya menjadi dokumentasi kebudayaan yang bisa kita kaji bersama di kemudian hari.
Berbicara tentang dokumentasi, kita juga perlu mengkaji karya Tria Nin yang berjudul “Kotak Memori.” Tria mengajak kita bermain-main dengan waktu, membaca pada benda-benda yang dia kumpulkan sepanjang hidupnya.
Pada karyanya, dia menghadirkan kotak memorinya lengkap dengan isinya, sebanyak 21 buah benda yang penuh dengan kenangan berbagai peristiwa dan momen. Yang menarik, benda-benda tersebut ditampilkan bukan dalam wujud aslinya, melainkan dengan medium 2 dimensi, yaitu fotografi.
Foto benda-benda itu dimasukkan dalam amplop, sehingga seperti tampak bernilai dan personal sekaligus sebagai batasan momen dengan (foto) benda-benda lainnya. Fotografi sendiri adalah alat untuk merekam kenangan, menjadi menarik ketika Tria memilihnya sebagai representasi dari benda-benda yang sengaja dia simpan karena kenangan dan memori dalam perjalanan hidupnya.
Karya-karya dari 7 orang angkatan 1 Kelas #SayaBercerita dalam pameran foto UNSPOKEN ini berikutnya menjadi arsip visual kita bersama, menjadi literasi baru untuk kita diskusikan. Dalam perwujudannya, karya-karya ini mungkin tampak berbeda dengan foto bercerita pada umumnya.
Bagaimanapun juga fotografi hanyalah salah satu medium untuk menyampaikan idea tau gagasan. Selamat membaca.. ?
Denpasar, 11 Maret 2017
Syafiudin Vifick | mentor kelas #SayaBercerita