I Wayan Adi Gunarta menghabiskan sedikitnya Rp 9 juta untuk biaya ujian tugas akhir studinya. Dia mahasiswa tingkat akhir Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Jurusan Seni Pertunjukan. Menurutnya biaya ini relatif kecil dibanding rekan lainnya yang membutuhkan perlengkapan lebih rumit.
Adi akan mementaskan seni tari kontemporer berjudul Selimpat. Dalam kamus Bahasa Indonesia berarti perpecahan atau tidak beraturan. Ia mengajak dua adik kelasnya, Agus dan Arimbawa menjadi penari bersamanya dalam judul ini.
“Saya ingin menjadi pencipta karya seni pertunjukan di Bali, tradisi dan kontemporer,” ujarnya bangga. Ia sudah mempersiapkan karya akhirnya sebagai mahasiswa ini sekitar enam bulan. Dimulai dari mencari pendukung tari, pendukung gamelan, mengeset music latarnya, membuat konsep pentas, mendesain busana, dan lainnya.
Semua hal harus Ia siapkan sendiri, dengan mencari bantuan dari sebaya dan kelompok seni lain. Untuk ujian ini Ia menggandeng Palawara Music Company, Denpasar.
Adi yang gaya bicaranya lembut berubah menjadi sosok pemberontak di atas panggung. Ia menari dengan penuh tenaga, mengkoordinasikan dua penari lain untuk mempertunjukkan Selimpat. Tarian yang membawa pesan anti kekerasan dan anti perang. Ia membawa sapu lidi sebagai simbol perlawanan manusia yang lelah dengan egonya. “Ibarat sapu lidi, manusia lebih kuat dalam kebersamaan,” ujar Adi.
Ada juga Ni Made Liza Anggara Dewi, yang membuat tari tradisi berjudul Retna Pradana. Bersama tiga mahasiswa perempuan adik kelasnya, Liza juga mempersiapkan karya yang diujikan ini berbulan-bulan. Ia menghabiskan biaya sedikitnya Rp 15 juta. Untuk kebutuhan yang hampir sama dengan Adi, masa persiapan sampai biaya perlengkapan pentas.
“Biaya kuliah terhitung murah, tapi biaya ujiannya mahal. Saya sudah tahu itu sejak awal. Makanya saya menabung uang beasiswa,” kata Liza tersenyum. Ia mengatakan hanya bayar SPP Rp 700 ribu enam bulan sekali. Orang tuanya juga mendukung penuh dan memberi subsidi dana setengah dari kebutuhan. “Membuat karya tari adalah pencapaian besar,” serunya.
Liza membuat komposisi tari yang bercerita soal perempuan Bali yang terampil mejejahitan, membuat sarana upakara. Penggambaran perempuan ulet dan iklas ini ditransformasikan dalam gerakan yang lembut tapi bertenaga.
Hari pertama ujian mahasiswa tingkat akhir ISI Denpasar pada Selasa lalu pun berlangsung semarak. Ratusan warga dan mahasiswa menyesaki gedung utama pertunjukan Nitya Mandala kampus ISI. Penonton sampai meluber di luar gedung menonton di televisi yang disediakan pihak kampus.
Belasan dosen penguji, guru besar ISI, dan pejabat rektorat menjadi penonton pertama karya cipta generasi penerus seni tari dan karawitan Bali. Secara keseluruhan, tahun ini ada 60 mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan (FSP) yang ujian. Pentas berlangsung sampai 27 Mei atau selama empat hari tiap malam dan gratis.
Pagelaran mahasiswa tersebut terdiri atas penciptaan dengan jurusan tari 22 orang, jurusan kerawitan 27 orang dan jurusan pedalangan 4 orang. Ada juga hasil riset dari 7 mahasiswa bidang pengkajian seni.
Di belakang panggung, sejumlah orang tua mahasiswa dan sanggar tari pendukung juga terlihat hilir mudik. Para orang tua menemani anaknya dengan mata berbinar, dan sebagian nampak sibuk mebanten di sudut-sudut gedung. Mendoakan anaknya bisa lancar memanggungkan karya seni ciptaannya.
“Biaya memang ditanggung mahasiswa. Kami memberikan kebebasan pada mahasiswa memilih seni tradisi atau kontemporer,” kata Dekan FSP ISI Denpasar I Ketut Garwa. Ia berharap potensi dan passion mahasiswa terlihat saat ujian pemanggungan karya.
Garwa mengatakan FSP masih menjadi idola sebagai jurusan terbanyak dipilih. Tahun ini ada 60 mahasiswa baru di jurusan ini, lebih banyak dari tahun lalu. Terdiri dari bidang penciptaan 53 orang dan pengkajian 7 orang.
Ia menyebut masa depan seni tari Bali masih aman jika jumlah mahasiswa bidang penciptaan stabil seperti sekarang. Untuk mempromosikan karya mahasiswa, pihaknya membagikan video dokumentasi karya mahasiswa terpilih ke dinas pariwisata, sekolah, dan swasta. “Kami memang belum bisa memastikan lulusan FSP bisa bekerja di bidangnya. Ada yang bikin usaha, guru, atau seniman,” tambah Garwa.
Adi dan Liza, di satu sisi merasa bangga mampu menciptakan karya seni. Namun di sisi lain, mereka khawatir dengan masa depannya. “Untungnya saya sering dapat order rias pengantin, mungkin saya bisa buka salon dulu,” kata Liza. Ia belum punya tujuan pasti karena harus berusaha sendiri. Sementara Adi berencana melanjutkan S2, karena menurutnya seorang sarjana seni walau di Bali tak mudah langsung bisa mandiri. [b]
ahh inilah yang membuatku resah… otak pintardan preatasi non akademis yang dulu merupakan greencard buat meraih cita-cita dalam pendidikan setinggi terbangnya elang.. kini sudh tidak berlaku lagi. Otak pintar atau prestasi non akademis mentereng hanya akan membuat rasa sakit hati ketika tidak punya uang… prostitusi institusi pendidikan semakin gila.. dan sayangnya para mucikarinya ini adalah mereka yg dulu disebut pahlawan tanpa jasa…yg notabene pernah menikmati sekolah gratis.. kok sekarang ini..para mucikari ini bisa-bisanya berteriak lantang tidak mungkin sekolah gratis!!!! kalau ingin mutu maka ada rupiah yang harus keluar..ah.. rupanya mereka yg makan dan liburannya sudah semakin baik dengan sertifikasi tetap masih kurang.. mereka lupa kalau uang setan akan dimakan hantu dan uang hantu akan disikat gendruwo..