Teks dan Foto I Made Bandem
Dipandang dari segi wujud, Barong Landung berbeda dengan barong-barong lainnya di Bali.
Dia berbentuk boneka raksasa, laki-laki dan perempuan, serta masing-masing diusung oleh seorang penari. Barong Landung laki-laki disebut Jero Gede dan wujudnya sangat menakutkan. Topengnya berwarna coklat kehitam-hitaman, giginya menonjol, wataknya menggambarkan tipe ideal orang Bali masa lampau. Barong Landung wanita diberi nama Jero Luh yang ekspresinya agak lucu, dahinya menonjol, matanya sipit, senyumnya manis, dan warna topengnya putih kekuning-kuningan, menyerupai kulit orang Cina.
Penggambaran manusia ke dalam bentuk topeng sudah tua umurnya. Pelukisan-pelukisan itu semula hanya sebagai representasi dirinya sendiri dengan pengalaman-pengalaman hidupnya. Namun, dalam perkembangan kemudian penggambaran manusia seperti itu dikaitkan dengan personifikasi kekuatan di luar dirinya sendiri dalam bentuk yang disebut antropomorfik.
Ada pula penggambaran diri manusia yang dikaitkan dengan kekuatan yang maha dahsyat, diwujudkan dalam bentuk perpaduan antara manusia dan binatang yang disebut teriantropik. Topeng-topeng Bali, termasuk Barong Landung tidak hanya menggambarkan potret manusia biasa, tetapi dia lebih menggambarkan watak manusia yang terkait dengan kekuatan dewa-dewi atau kekuatan para leluhur manusia Bali yang dianggap dapat melindungi kehidupan mereka dalam masyarakat.
Di lain pihak orang Bali juga percaya terhadap kekuatan manusia dan binatang, Nara Singa digambarkan sebagai manusia berkepala singa, yang akhirnya mampu membunuh Hiraniya Kasipu, raksasa sakti yang tak dapat dibunuh oleh dewa, manusia, raksasa, atau mahluk lainnya. Tak ada senjata seperti panah, tombak, ataupun keris bisa membunuhnya.
Namun demikian, Nara Singa yang wujudnya aneh sebagai penjelmaan Dewa Wisnu itu mampu membunuh raksasa sakti itu hanya dengan kukunya. Ganesia, manusia berkepala gajah, adalah dianggap sebagai dewa ilmu dan peramal masa depan orang Bali. Demikian juga barong-barong Bali seperti Barong Ket, Barong Bangkal, Barong Gajah, Barong Asu, Barong Sae, Barong Landung, dan lain-lain adalah penggambaran kekuatan manusia dengan kekuatan di luar dirinya.
Secara filosofis, orang Bali percaya dengan adanya kekuatan baik dan buruk, memandang dunia ini memiliki kekuatan sakral dan profan yang tak dapat dipisahkan dari dirinya sendiri. Untuk mencapai kemanunggalan dengan Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Kuasa) mereka yakin bahwa Tuhan itu memiliki manifestasiNya, ada kekuatan-kekuatan lain yang menjadi tangga untuk mencapai kemanunggalan itu.
Orang-orang Bali percaya adanya dewa-dewi, para leluhur, dan kekuatan alam yang bisa menjembatani mereka menuju kemanunggalan dengan Sang Hyang Widhi Wasa. Sebagian besar kekuatan-kekuatan itu diwujudkan ke dalam topeng-topeng sebagai sarana pendakian spiritual.
Pada Zaman Pra-Sejarah telah terbukti bahwa topeng-topeng digunakan oleh manusia sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan para dewa dan leluhurnya. Para pemahat bangsa India mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menciptakan benda-benda sakral yang dapat dijadikan alat pemujaan kepada dewa-dewa. Mereka menciptakan arca dewa-dewa dan dipergunakan untuk mengadakan hubungan dengan dewa-dewa tersebut. Para arsitek menciptakan bangunan-bangunan yang indah sebagai tempat tinggal dewa-dewa, demikian juga para pelukis menghias tembok-tembok kuil dengan cerita para dewata untuk berkomunikasi dengan dewa-dewa tersebut.
Selain itu, para dramawan mementaskan ceritera para dewa dengan pelaku manusia, sedangkan para komponis menciptakan seni musik yang memuja kebesaran dewa-dewa. Semua itu tujuannya untuk pendakian spiritual dan mendekatkan diri dengan Tuhan. [b]
Keterangan: Penulis adalah mantan Rektor ISI Yogyakarta. Tulisan ini bagian pertama dari tulisan berseri tentang Barong Landung.