Mumpung masih musim liburan, mari kita jalan-jalan.
Tapi, kali ini bukan jalan-jalan biasa. Kalau cuma ke Kuta, Nusa Dua, Tanah Lot, dan semacamnya sih sudah biasa. Sudah terlalu mainstream. Maka, mari kita mencoba sesuatu yang berbeda, keliling Bali dalam tiga hari.
Kami melakukannya awal Juni lalu. Selama tiga hari, dari Jumat sampai Minggu, kami jalan-jalan dari Denpasar – Tulamben – Lovina – Pupuan – Denpasar.
Perjalanan kami mulai pada Jumat sore, sekitar pukul 14.30 Wita. Rute pertama kami, saya dan anak istri, adalah Denpasar – Tulamben. Kami memilih rute ini karena lebih santai dan cepat dibanding, misalnya Denpasar – Negara. Dari Denpasar ke Tulamben kami perlu sekitar 2,5 jam. Sepi dan lancar. Kalau Denpasar – Negara pasti lebih lama dengan lalu lintas pasti ramai karena jalur ini adalah jalur utama Jawa – Bali.
Rute Denpasar – Tulamben ini asyik karena melewati Jalan By Pass IB Mantra hingga daerah Kusamba, Klungkung. Jalan ini lebar dan kendaraan relatif sepi.
Sebagai titik istirahat, rute ini punya beberapa tempat, seperti Pantai Lebih di mana terdapat deretan warung makan dengan menu khas nasi sela (campuran dengan singkong) dan sate lilit ikan laut. Pantai ini ada di daerah Gianyar, sekitar 1 jam perjalanan dari Denpasar.
Tapi, kami melewatinya. Begitu pula dengan titik istirahat lain yang sebenarnya memang menarik yaitu Pesinggahan, perbatasan Karangasem – Klungkung, Candidasa, Taman Ujung, dan Tirta Gangga di Karangasem. Kami melewati titik-titik asyik itu biar tidak keburu malam ketika sampai di Tulamben.
Kapal Tenggelam
Benar saja. Ketika kami tiba di Tulamben, langit sudah agak gelap. Petang sudah datang. Karena itu pula kami tak bisa menikmati banyak pantai ini.
Tulamben adalah kawasan pantai di sisi timur pulau Bali. Pantai berbatu hitam ini menghadap Selat Lombok. Karena itu dari sini bisa terlihat Gunung Rinjani di seberang sana. Anggun dalam temaram senja.
Namun, daya tarik utama Tulamben adalah dunia bawah lautnya. Di sini pernah ada kapal perang yang tenggelam pada saat Perang Dunia II. Bangkai kapal milik Amerika Serikat ini yang membuat Tulamben diserbu para penyelam dari banyak negara, terutama Eropa.
Di Tulamben banyak pilihan tempat menginap. Kami mencari paket hemat saja, Rp 200.000 per malam. Ada juga dengan tarif Rp 50.000 per malam tapi harus berbagi kamar dengan sekitar enam penghuni lain. Ada pula yang tarifnya jutaan. Banyak pilihan.
Karena posisinya menghadap ke timur, sebenarnya Tulamben pas banget untuk menikmati matahari terbit. Sayangnya kami tak bisa melakukan ritual ini karena mendung.
Tapi, pemandangan tetap asyik. Ombak bergulung-gulung tak berhenti datang ke pantai menerjang bebatuan dan menyisakan putih buih. Sementara itu di ujung sana Pulau Lombok dan Gunung Rinjani terlihat samar-samar. Di sisi barat, sang patok bumi Bali, Gunung Agung terlihat dekat dan bersahabat.
Penasaran
Sekitar pukul 10, kami melanjutkan perjalanan dengan rute kedua, Tulamben – Lovina. Rute ini benar-benar baru bagi kami. Saya sendiri belum pernah lewat jalur ini sebelumnya. Karena itu pada awalnya agak ragu. Tapi, ternyata jalur ini bagus juga.
Secara umum jalur ini datar dan mulus. Hanya di dua atau tiga tempat di dekat perbatasan antara Karangasem – Buleleng yang agak rusak. Di salah satu titik malah sedang ada perbaikan jalan.
Jika perjalanan lancar dan tak berhenti sama sekali, jalur Tulamben – Singaraja bisa ditempuh sekitar dua jam. Tapi, karena kami santai dan berhenti beberapa kali, maka tiga jam kemudian kami baru tiba di Singaraja.
Di rute ini, ada dua lokasi yang membuat kami berhenti. Pertama, Penuktukan di Kecamatan Tejakula. Nama desa ini sudah saya baca beberapa kali dari tulisan Fadlik Al-Iman di BaleBengong. Karena itu, saya penasaran untuk mampir dan melihat desa nelayan ini.
Ternyata memang menarik. Ketika kami tiba di sana, ada sembilan orang sedang membuat rumah ikan (fish dome) sebagai bahan untuk merehabilitasi terumbu karang sekaligus rumah bagi ikan. Cerita khusus soal ini di tulisan lain saja.
Tempat kedua adalah Pura Ponjok Batu di kecamatan sama, Tejakula. Pura ini menarik karena menyediakan tempat istirahat berupa balebengong di pinggir pantai. Tentu saja bisa sembahyang pula di sini.
Setelah itu baru kami melanjutkan perjalanan langsung ke Singaraja meskipun ada beberapa tempat yang menggoda untuk disinggahi seperti pemandian air hangat, air terjun, maupun pantai.
Sekitar pukul 1, kami tiba di Singaraja. Niat awalnya makan menu khas kota tua ini. Apa daya seorang teman mengajak makan murah meriah di restorannya. Kami mau saja sebelum kemudian lanjut ke tempat lain, Pantai Penimbangan.
Asyiknya Pantai Penimbangan karena selain dia adalah pantai juga karena di sini banyak warung tenda dengan menu khas Buleleng. Ada jual pisang bakar, roti bakar, jagung bakar, dan… belayag! Nama terakhir adalah menu khas semacam ketupat dengan kuah sangat kental dan pedas. Rasanya mak jaaan!
Pegunungan
Dari pantai tempat anak muda Singaraja bergaul ini, kami melanjutkan keliling Bali lewat Lovina. Kami menginap di kawasan wisata ini. Tempatnya ramai dan banyak pilihan hotel. Kami pilih hotel murah meriah, Rp 150.000 per malam namun kamarnya ternyata lebih luas dibandingkan di Tulamben.
Atraksi wisata yang terkenal di Lovina adalah mengejar lumba-lumba. Tarifnya Rp 60.000 per orang. Tapi, karena kami sudah pernah jadi tidak usah melakukan lagi. Kami jalan-jalan di pantai saja.
Hal berbeda di Lovina saat ini adalah karena ada dermaga di pantainya. Dermaga ini jadi tempat warga nongkrong duduk minum kopi, ngobrol, atau hanya diam menikmati tenangnya ombak Lovina. Banyak pula warga yang berolahraga di pantai saat sore atau pagi hari.
Sekitar pukul 10 pagi, kami melanjutkan rute terakhir, Lovina – Denpasar lewat Pupuan. Kami memilih jalur ini biar ada variasi, tidak terus menerus lewat jalan datar dan relatif lurus. Jalur terakhir ini menanjak dan berkelok-kelok karena melewati pegunungan.
Maka, perjalanan pun jadi berbeda. Jika pada rute dua hari pertama kami lebih banyak menikmati pantai, maka pada jalur ini kami menikmati kebun, bukit, lembah, dan sawah. Sepanjang jalan, aroma cengkeh dijemur, kopi disangrai, dan aneka aroma lain menghiasi perjalanan.
Ada beberapa titik yang asyik untuk berhenti dan menghirup segarnya udara pegunungan sambil menikmati hijaunya pemandangan. Tapi kami kok pengen cepat-cepat sampai di Denpasar. Maka, kami pun melewati begitu saja titik-titik keren tersebut seperti di Kekeran, Pupuan, Blimbing, dan banyak lagi yang tak saya ingat satu per satu. Kami hanya berhenti sebentar untuk membeli oleh-oleh hasil bumi di sekitar Pujungan.
Sekitar pukul 2 kami tiba di Denpasar setelah sempat berhenti makan siang di Tabanan. Ternyata tiga hari keliling Bali pun selesai sudah. Masih banyak tempat yang belum kami kunjungi dan nikmati selama perjalanan tiga hari itu. Kapan-kapan kami pasti keliling lagi. Mau ikut? [b]
Seharusnya kalau mau benar-benar ‘keliling Bali’, perjalanan pulang dilanjutkan dari Lovina ke Gilimanuk dan dari Gilimanuk ke Denpasar. Nah, itu baru pas mengelilingi seluruh jalan pantai di Bali 😀
hahaha. rencana awal begitu, nyot. sekalian mampir cari ayam betutu gilimanuk. tapi setelah pikir-pikir mending lewat jalur alternatif lovina – pupuan – denpasar. biar ada variasi jalan tidak lurus terus.
obyek wisata disekitar sini sudah biasa bagi kita yang ada disini, tetapi mungkin bagi orang di luar sana pasti sangat ingin datang dan melihat langsung obyek wisata tersebut.
bagi warga di sini pun mungkin biasa tapi belum tentu pernah mengunjungi semua. 😀
:d itu perlu banyak waktu untuk bisa mengunjungi semua, dari paling dekat sampai yang paling jauh yang ada di Bali…