Oleh Rofiqi Hasan
Tiga hari lalu, 27 Januari 2009, anak saya yang kedua berulangtahun yang ke-6. Namanya Ade Gita Ahimsa. Anak itu sepertinya akan tinggi besar dan tentu saja ganteng seperti bapaknya (narcis!). Tapi bagian yang paling saya suka adalah kisah di balik nama yang saya berikan itu.
Begini ceritanya. Dia itu lahir saat saya sedang sibuk-sibuknya meliput penangkapan dan penyidikan kasus bom Bali di awal tahun 2003. Hari demi hari, saya mesti nongkrongin Polda Bali, Kejaksaan dan sebisa mungkin menguntit kemanapun para bomber itu dibawa polisi.
Dari tokoh utama – Imam Samudera, Amrozi, Ali Gufron- hingga para pemeran pembantunya. Nah, setiap kali mereka bertemu wartawan, khususnya Imam Samudera, bisa dipastikan mereka akan meneriakkan takbir “Allahu Akbar, Allahu Akbar “ dengan bersemangatnya.
Dalam kilatan blits fotografer dan suara wartawan yang berebut meluncurkan pertanyaan, mereka seakan merasa mendapat panggung untuk menyatakan diri sebagai pahlawan yang memperjuangkan sebuah kebenaran.
Bagi saya teriakan itu menghadirkan sebuah dilema besar. Sebagai seorang yang lahir dan dibesarkan di kalangan santri, takbir adalah seruan yang luar biasa bagi saya. Dalam tradisi saya itu, takbir adalah sebuah seruan yang suci dan menggetarkan. Pikiran dan perasaan seolah dapat terhipnotis untuk menyatu dengan konsep abstrak tentang sesuatu yang Maha Besar dan agung.
Santri adalah kategori sosial yang digunakan Clifford Geertz, seorang antropolog, untuk menyebut satu kelompok dalam masyarakat Jawa pada tahun 50-an yang orientasi religiusitasnya adalah pada symbol dan ritual Islam. Pilahan lainnya adalah kelompok Priyayi yang mensinkretisasikan Islam dengan ajaran Kejawen serta kelompok abangan yang cenderung kepada ajaran Kejawen sepenuhnya. Ajaran kejawen itu misalnya kepercayaan pada klenik, jampi-jampi, dukun, dll.
Mungkin karena pembiasaan yang terus menerus dilakukan bahkan sejak kelahiran saya. Dalam tradisi agama saya, Islam, adzan di mana takbir adalah bagian penting di dalamnya adalah suara pertama yang diperdengarkan kepada bayi yang baru lahir. Di masa lalu bahkan saya adalah seorang Muadzin (orang yang menyurakan adzan- panggilan Sholat) karena bapak saya adalah seorang imam di masjid yang tepat berada di depan rumah saya.
Maka bagi saya, teriakan para teroris seperti sebuah seruan untuk membangkitkan masa lalu saya. Meskipun masa itu sudah lewat sangat lama, tapi sel-sel ingatan saya sebagian tentu masih menyimpannya. Belum lagi jaringan keluarga dan kerabat yang hingga kini masih berada dalam tradisi itu. Seruan itu seperti ajakan untuk mengidentifikasikan kembali sebentuk romantisme masa lalu tentang keyakinan yang membedakan hitam dan putih. Keyakinan yang pernah ditanamkan sangat dalam di hati saya. (Karena itu sampai sekarang saya selalu khawatir dengan tayangan Televisi yang berulang-ulang menampilkan mereka terutama saat meneriakkan takbir karena saya yakin banyak orang yang bisa mengalami getaran batin seperti saya).
Di sisi lain, keterlibatan dalam peliputan peledakan bom Bali sejak hari pertama, telah memberi saya guncangan yang luar biasa. Menyaksikan mayat-mayat berserakan, suara tangis dan erangan, jasad yang hangus terbakar ditambah wawancara dengan para janda, anak-anak yatim yang sebagian juga adalah muslim telah menorehkan luka bagi diri saya. Saya sungguh tak bisa membayangkan manusia dengan keyakinan macam apa yang sanggup melakukan perbuatan dengan akibat semacam itu. Siapapun sasaran mereka yang sebenarnya, perbuatan itu sungguh terkutuk dan tak bisa dimaafkan.
Maka setiap kali bertemu dengan mereka, pertarungan antara masa lalu dan kekinian saya terjadi. Di ruang pikiran, perasaan dan nurani saya. Seringkali saya mengalami demam karena sentiment masa lalu. Tapi sekaligus benci karena bayangan darah yang menggenangi kenangan itu. Yang lebih buruk lagi adalah keyakinan saya yang goyah. Munculnya pertanyaan-pertanyaan besar yang berujung pada keraguan, adakah saya dibesarkan dalam tradisi yang salah.
Tetapi semakin jauh saya semakin sadar. Para terpidana itu sama sekali tidak mewakili tradisi dan keyakinan saya. Mereka telah ‘menunggangi” simbol dan ekspresi itu. Kaum sempalan yang menegakkan keyakinan dengan kekerasan. Lebih buruk lagi karena menyatakan perang di daerah damai.
Baiklah, saya sebut, mereka adalah orang-orang yang sakit. Orang-orang yang dihantui oleh memori akan perang di Afghanistan, Irak dan Palestina lalu memindahkannya ke tempat yang salah.
Kelompok inferior yang merasa keyakinannya disudutkan padahal keterpinggiran itu karena kesalahan mereka sendiri yang dihinggapi watak megalomania dalam kenyataan yang serba kekurangan. Ditambah pikiran yang tertutup serta kemalasan melihat sisi kebaikan kelompok lain yang berbeda dengan mereka.
Ketika anak saya lahir , saya merasa perlu menegaskan posisi saya itu. Karena itu saya pilih nama Ahimsa (Tidak Membunuh atau Anti Kekerasan). Ini adalah ajaran Mahatma Gandhi yang saya sukai. Rangkaian nama itu bertambah dengan Gita. Ini sebetulnya adalah pesanan dari Kakak ipar saya, yang meminta nama depan ibu dari istri saya (ruwet deh) Gito Prayitno digunakan jadi nama keluarga. Tapi bagus juga karena Gita bisa berarti kidung /nyanyian suci .
Bila disambung nama itu menjadi Gita Ahimsa dan bisa diartikan menjadi “Kidung Anti kekerasan atau Kidung Perdamaian”. Adapun nama “Ade” adalah plesetan dari kata adik untuk menandai bahwa dia mempunyai seorang kakak. (Kakaknya itu bernama Fatima Gita Elhasni, suatu hari saya akan bercerita mengenai rahasia di balik nama itu).
Saya berharap suatu hari anak saya akan bangga membaca tulisan ini. Sekarang dia baru bangga karena ada artis cantik bernama Gita Gutawa.
“Jadi dia itu saudara kita ya, Pa?”, tanyanya.
“Ya iyalah,” jawab saya mantap! [b]
nama yang bagus Pak Hasan…. 🙂
sulit juga ya bikin nama. Tapi akhirnya bagus juga namanya Gita Ahimsa. Mudah2an dengan hadirnya Gita Ahimmsa, bisa menyerukan perdamain di Bali dan Indonesia pada umumnya
Kejawen bukan klenik, jampi jampi, dukun.
Ini sangat mendiskreditkan ajaran kejawen. Alangkah baiknya kalau dipelajari esensi ajaran kejawen terlebih dahulu dan dari sumber yang benar
sbrt
Kejawne itu merupaka suatu ajaran yang menghormati budaya leluhurnya, dengan menerapkan toleransi dan masih mengikuti sebagian budaya2 yang dianggap mampu menenangkan dirinya. Budaya semacam ini perlu dilestarikan, agar sifat ayem dan self content dan damai bisa dicapai.
Pak Hasan, terima kasih untuk tulisanmya. Sangat bermanfaat untuk menjadi contoh kepada para kelompok penganut Amrozi cs. yang menunggangi dan memanfaatkan issue agama, demi tujuan yang salah, dimana tujuan mereka itu sebenarnya bisa mengakibatkan terpecah belahnya bangsa Indonesia ini.
Selama ini kita membangun bangsa Indonesia dengan dasar toleran dan menghormati sesama, tanpa memandang suku, agama maupun budaya. Tidak ada dari kita yang lebih tinggi atau lebih rendah. Salah jika kita katakan bahwa ajaran orang lain itu salah, dan ajaran kita yang paling benar.
Mudah2an tulisan pak Hassan ini akan dibaca oleh banyak orang dan mengetuk kesadaran hati nurani kita semua, agar mempunyai sifat kebangsaan yang sama dan bersatu padu menghadapi kesulitan bersama2. Tanpa melihat perbedaan yang tidak perlu.
By the way.. nama anaknya keren lho pak…. hehehe
Salam
Nambah biar rame dikit, bolehkah pak moderator? terimakasih.
Di sisi lain, keterlibatan dalam peliputan peledakan bom Bali sejak hari pertama, telah memberi saya guncangan yang luar biasa. Menyaksikan mayat-mayat berserakan, suara tangis dan erangan, jasad yang hangus terbakar ditambah wawancara dengan para janda, anak-anak yatim yang sebagian juga adalah muslim telah menorehkan luka bagi diri saya. Saya sungguh tak bisa membayangkan manusia dengan keyakinan macam apa yang sanggup melakukan perbuatan dengan akibat semacam itu. Siapapun sasaran mereka yang sebenarnya, perbuatan itu sungguh terkutuk dan tak bisa dimaafkan.
Maka setiap kali bertemu dengan mereka, pertarungan antara masa lalu dan kekinian saya terjadi. Di ruang pikiran, perasaan dan nurani saya. Seringkali saya mengalami demam karena sentiment masa lalu. Tapi sekaligus benci karena bayangan darah yang menggenangi kenangan itu. Yang lebih buruk lagi adalah keyakinan saya yang goyah. Munculnya pertanyaan-pertanyaan besar yang berujung pada keraguan, adakah saya dibesarkan dalam tradisi yang salah.
Maaf saya tag sedikit di comentar saya sepenggal dari artikel saudara, Rafiki Hasan.
Tetapi semakin jauh saya semakin sadar. Para terpidana itu sama sekali tidak mewakili tradisi dan keyakinan saya. Mereka telah ‘menunggangi” simbol dan ekspresi itu. Kaum sempalan yang menegakkan keyakinan dengan kekerasan. Lebih buruk lagi karena menyatakan perang di daerah damai.
Maka setiap kali bertemu dengan mereka, pertarungan antara masa lalu dan kekinian saya terjadi. Di ruang pikiran, perasaan dan nurani saya. Seringkali saya mengalami demam karena sentiment masa lalu. Tapi sekaligus benci karena bayangan darah yang menggenangi kenangan itu. Yang lebih buruk lagi adalah keyakinan saya yang goyah. Munculnya pertanyaan-pertanyaan besar yang berujung pada keraguan, adakah saya dibesarkan dalam tradisi yang salah.
Maka setiap kali bertemu dengan mereka, pertarungan antara masa lalu dan kekinian saya terjadi. Di ruang pikiran, perasaan dan nurani saya. Seringkali saya mengalami demam karena sentiment masa lalu. Tapi sekaligus benci karena bayangan darah yang menggenangi kenangan itu. Yang lebih buruk lagi adalah keyakinan saya yang goyah. Munculnya pertanyaan-pertanyaan besar yang berujung pada keraguan, adakah saya dibesarkan dalam tradisi yang salah.
Tetapi semakin jauh saya semakin sadar. Para terpidana itu sama sekali tidak mewakili tradisi dan keyakinan saya. Mereka telah ‘menunggangi” simbol dan ekspresi itu. Kaum sempalan yang menegakkan keyakinan dengan kekerasan. Lebih buruk lagi karena menyatakan perang di daerah damai.
Demikian sepenggal darii artikel Rafiki hasan tentang kengeriannya atas perbuatan amrozi cs. sehingga menimbulak keraguan dihatinya tentang keyakinannya selama ini.
Sebagai seorang saantri dan hidup dalam kultur keluarga yang mengamalkan agama dengan baik semestinya anda tahu, sebuah hadist Rasulullah saw. yang mengatakan (kurang lebih maknanya),”Membunuh seorang manusia tanpa alasan yang jelas, sama artinya membunuh seluruh kehidupan.”
Betapa besar dosa seorang pembunuh dalam Islam. ALLAH tak akan mengampuni dosa seorang pembunuh, jika keluarga terbunuh tak memaafkannya.
Ini artinya, Islam tak memeberikan tempat bagi orang semacam amrozi cs. Meskipun kemudian dia beerteriak dengan lantang menyebut nama Allah.
Persoalan sebenarnya adalah, siapa yang telah membuat amrozi cs. menjadi orang gila dan barbar? Kalau Islam sebagai acuannya, jihad sebagai alasannya, maka mereka sedikitpun tidak melakukan Jihad dengan benar.
Bukankah Islam hanya mengijinkan perang terhadap orang yang memerangi dan mengusir orang islam dari negeri-negeri mereka.
Perang bermakna pembelaan diri.
Adakah orang-orang yang lagi nongkrong di cafe-cafe itu atau dihotel-hotel itu tengah membidik senjata terhadap orang muslimin? ternyata tidak.
Artinya amrozi cs. telah mengalami brain washing dari orang diatasnya yang telah merekrut mereka untuk melakukan kebodohan dengan nama Islam.
kalau mereka mau memerangi musuh agama dan musuh Allah, mereka tentu akan tetap tinggal dinegara-negara yang tengah di dzalimi seperti Afganistan, Irak dsb.
Kalau keyakinan agama anda harus goyah karena segelintir orang gila yang kesadaran agamanya seperti fatamorgana itu, saya sangat mempertanyakan pemahaman anda sebagai seorang santri yang mestinya lebih memahami hukum Islam dan pelaksanaannya.
apakah anda tak mengetahui, dalam biografi mahatma gandhi bahwa salah seorang idola beliau adalah Muhammad Saw. Mahatma Gandhi adalah seorang yanng berhati bersih, tentu dia pun akan bertemu dengan orang yang berhati bersih pula. Beliau mengagumi karakter dan kepribadian Rasulullah Saw. yang membangun agamanya dengan penuh kesabaran dan menghindari pertumpahan darah. Jika pertumpahan darah harus terjadi, maka itu disebabkan oleh orang-orang musyrik mekkah yang menyerang beliau dan pengikutnya, bahkan mengepung kota madinah untuk menumpas Islam yang baru tumbuh disana. Namun Allah Swt. selalu menolong hamba-hambanya yang beriman dan bertakwa kepadanya.
yang perlu kita sadari dan perhatikan adalah sekarang bagaimana meningkatkan dakwah agama dengan benar terhadap generasi-generasi islam yang baru, agar semangat agamanya tidak ditunggangi oleh syetan yang berkedok manusia utk menjerumuskan mereka melakukan aksi teror.
Mestinya anda membuka mata, semakin kaum muslimin diseluruh dunia dipojokkan oleh stigma terorisme, semakin banyak generasi muda islam yang kian taat menjalankan agamanya bahkan dibelahan USA sana. Betapa banyak kaum atheis dan tidak mengenal agama sama sekali lalu menjadikan Islam sebagai agamanya.
Ada Allah berfirman,”..Mereka melakukan tipu daya terhadap Allah dan agama Allah, maka Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.”
Orang-orang yang menipu amrozi cs untuk merusak Islam dengan menggunakan tangan orang Islam sendiri, maalah agama Islam ini kian semerbak diantara penduduk negeri-negeri yang memerangi Islam itu. Itulah cara Allah membalas dan memenangkan agamanya.
Jadi janganlah risau dan khawatir sobat, Rafiki Hasan. Masa anda harus risau karena kegilaan amrozi cs, namun melupakan sumbangan-sumbangan Islam terhadap peradaban manusia sejak kemunculaannya hingga zaman modern sekarang ini.
semoga saya tidak kelru memahami pikiran anda dari artikel yang anda tampilkan. Jika keliru, maafkanlah.
semoga menjadi anak yang sholeh seperti mbah kakungnya kh. abd, sommad.s. dan lebih sholeh dari bapaknya. fiq tolong lihat web ponpes kami syukur2 bisa mbantu menyebarluaskan info dakwah. semoga kerahmatan dan keberkahan tersebar keseluruh bumi Allah. ttg amrozi cs Allah lebih tahu mana yang haq. semoga mereka semua diampuni dosa2nya. tegakkan kalimah Allah dengan adil tanpa membunuh jiwa yang diharamkan tanpa alasan yang haq. barokallah.