Pemulung dilarang masuk. Demikian papan peringatan di sejumlah gang di Bali.
Memang tak di seluruh tempat, tapi cukup banyak dijumpai. Warga beralasan takut ada pencurian barang. Padahal, nyatanya, Bali sangat tergantung pada pemulung untuk menangani sampah.
Tanpa pemulung, gunungan-gunungan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) terbesar, Suwung, Denpasar akan terus meninggi.
Kehadiran pemulung paling krusial di salah satu TPA Temesi, tersibuk setelah TPA Suwung. Temesi menangani sampah area Kabupaten Gianyar, salah satu pusat turisme terutama dari Ubud. Bahkan pemulung adalah kunci dari pemilahan sampah sehingga TPA ini menjadi salah satu percontohan.
Pertengahan Desember lalu puluhan pemulung bekerja memilah sampah, mengelompokkan sampah organik dan anorganik. Truk-truk sampah menjatuhkan sampah, lalu disambut kelompok pemulung yang sudah memiliki pelanggan truk masing-masing.
“Tiap kelompok pemulung sudah tahu mana truk langganan mereka, tak mungkin berebutan sampah,” ujar Wayan Sriasih, petugas TPA bagian penimbangan sampah organik terpilah.
TPA Temesi sudah sekitar 10 tahun menerapkan model pemberian upah pada pemulung. Tiap ton sampah organik yang sudah terpilah dihargai Rp 45 ribu. Pemulung cekatan dan bekerja 8 jam per hari bisa memilah sampai 1 ton.
Selain itu, pemulung bisa mendapat hasil tambahan dari sampah anorganik yang bisa dijual. “Ada lima jenis barang yang bisa dijual, paling mahal bisa sampai Rp 35 ribu per kilogram,” sebut Sugino. Dia sudah bekerja di TPA selama 7 tahun.
Dengan fasih dia menjelaskan jenis barang-barang yang laku dijual ke pengepul seperti botol, besi, kardus, plastik, dan lainnya.
Saat tengah hari, Sugiono rehat dan memesan bakso yang singgah ke areal ini. Ia makan dengan lahap di tengah tumpukan sampah yang sedang dipilihahnya.
Demikian juga keluarga pemulung lainnya. Ada beberapa anak di areal ini. Lokasi pemilahan yang teduh tertutup atap membuat para pemulung bekerja sampai larut malam agar mendapat hasil pilahan lebih banyak, artinya upah lebih besar.
Sugiono termasuk yang paling cekatan dan pekerja keras. Ia bisa menguliahkan anaknya dan rutin mengirimkan uang Rp 2 juta per bulan untuk anaknya tersebut. Dia juga rutin mengirim uang untuk keluarganya di Jember, Jawa Timur.
Beberapa tahun setelah TPA Temesi dibuka pada 2004, puluhan warga lokal masih bersemangat menjadi pemulung. Namun, kini tak ada yang tersisa. “Dulu banyak warga setempat jadi pemulung, sekarang tidak ada karena tidak kuat bekerja sama sampah,” sahut Sriasih.
Padahal menurutnya sebagian besar pemulung di sini berhasil menyekolahkan anaknya atau membeli kendaraan pribadi dari hasil memilah sampah.
Sriasih staf Yayasan Pemilahan Sampah Temesi, pengelola TPA ini yang bekerja tiap hari sebagai penimbang sampah organik terpilah. Tiap hari, rata-rata terpilah 40-50 sampah organik.
Perempuan ini hafal dari mana sumber sampah yang dilihatnya. Misalnya ia menunjuk sampah hotel yang lebih banyak sisa makanan, lalu sampah pasar yang lebih basah dan lebih banyak variannya. Sampah anorganik hotel biasanya sudah diambil duluan oleh petugas atau warga sekitar, sehingga di TPA tertinggal remah-remah.
Gunungan sampah di TPA Temesi adalah organik yang akan diolah menjadi kompos. Dengan system aerob, kompos bisa diproduksi sampai 10 ton per hari. Inilah sumber utama penghasilan TPA untuk operasional selain dana hibah dan dari program PBB, Clean Development Mechanism untuk mengurangi emisi global.
Pemerintah Kabupaten Gianyar menyediakan lahan TPA. Seiring makin banyaknya penduduk dan aktivitas, sampah pun meningkat. Beberapa tahun ini, muncul gundukan sampah yang tak terpilah di area sanitary landfill TPA Temesi.
Sementara yang terpilah, tak berbau. Pipa-pipa besar menyalurkan udara ke bawah gunungan sampah organik. Beberapa petugas juga tiap hari menyemprotkan air ke gundukan untuk menjaga suhu.
Nyoman Ari, staf yayasan bidang laboratorium rutin mengukur kadar oksigen dan indikator lainnya untuk mendapat kompos yang baik. Tiap minggu, Ari dua kali mengukur oksigen dan suhu dengan mencapkan alat ke dalam samah organik. “Untuk memastikan pengomposan berlangsung aerob dan suhunya tak terlalu panas. Kalau terlaku panas dilakukan pembalikan dan penambahan udara agar mikroba penting tak mati,” jelasnya.
Tiap minggu, sampel kompos juga dicek kadar PH, kandungan garam, amonium, nitrat nitrit, dan lainnya. Pengukuran umum seperti ini bisa dilakukan di lab sederhana milik Temesi. Namun untuk indikator lain seperti Nitrogen Fosfor Kalium harus ke lab tanah Universitas Udayana di Denpasar.
Kompos yang baik akan menyehatkan tanah sehingga menyuburkan tanaman.
Setelah beberapa bulan menumpuk, sampah organik yang sudah hancur diayak dengan beberapa mesin sehingga menghasilkan kompos yang lebih halus. Kemudian di ujung tahapan produksi ada petugas lain yang mengemas kompos untuk siap dijual.
Di dekat area pengepakan ini terlihat juga petani yang memanfaatkan residu kompos langsung di kebun sayur mayurnya di area TPA. Daur sampah yang menjadikannya berkah. [b]