Oleh: Diana Pramesti, I Dewa Made Ary Dwisaputra, dan Kresna
Rasanya aneh, begitu mendarat di Pelabuhan Penyeberangan Sampalan Nusa Penida melihat jalanan yang relatif sepi dan jauh dari kemacetan mobil—sebagaimana cerita teman-teman saya 2019 lalu, beberapa saat sebelum Covid-19 hadir.
Rasanya aneh, sampai di penginapan dan kami seperti satu-satunya tamu. Rasanya aneh, melintasi sepanjang jalan dengan pemandangan pantai tanpa bean bag dan botol-botol bir serta wisatawan di sekitarnya. Rasanya aneh, dan barangkali pengalaman pertama ke Nusa Penida ini tidak seperti cerita-cerita tentang Nusa Penida yang saya dengar sebelumnya.
Jika saya runut ke belakang, masa kecil saya disertai oleh tetangga yang berasal dari Nusa Penida dan mendengar cerita tentang Nusa Penida lewat mereka yang memilih meninggalkan Nusa Penida. Selalu yang saya dengar, “Sing ade ape, tuh, kebus.” [Tidak ada apa-apa, kering, dan panas] Lalu satu dekade ke belakang, Nusa Penida menjelma sosok baru seperti primadona; orang-orang mulai menyadari keindahannya yang membuat pulau ini disambangi banyak wisatawan. Kedua hal ini, sayangnya, bukanlah hal yang membawa saya (akhirnya) di Nusa Penida saat menulis cerita ini.
Baru saja sampai, kami menuju The Riot Club—venue utama rangkaian Bali yang Binal yang digagas oleh komunitas mural The Pojok. Di sekelilingnya adalah lukisan-lukisan portrait karya seniman-seniman Bali yang Binal tahun ini.
Ada panggung utama yang membelakangi pantai. Juga beberapa tenda yang sepertinya tempat tidur panitia atau seniman undangan selama acara yang sudah berlangsung sejak Senin (7/6) sampai Minggu (13/6). Ada cerita menarik dari seniman-seniman Bali yang Binal kali ini. Tapi agaknya, saya simpan di akhir saja.
Perjalanan berlanjut ke Clean Penida atau Yayasan Nusa Penida Bersih. Salah satu inisiatif warga yang lahir tak lama setelah outbreak pandemi diumumkan, Maret 2020 lalu. Keresahan dan dukungan salah satu tamu di penginapannya, membawa Made (Kecek) Purwateja bertumbuh sejauh ini dengan Clean Penida. “Namanya Jaap Venhovens dari Belanda.
Awalnya dia lihat sampah di Pantai Sental, dan tanya sama kami; siapa yang akan mengurus sampah-sampah ini?”
Tak hanya sekadar berkelakar, Jaap melanjutkannya dengan memberikan dana dukungan kepada Kecek untuk merealisasikan ide untuk mendirikan ruang pengelolaan sampah. “Wah pastinya kami gugup dan khawatir, bisa nggak ya menjalankan ini,” Ujar Kecek merujuk ia dan istrinya.
Perjalanan pertamanya memilih lokasi berakhir di Jalan Sampalan, tak jauh dari Pasar Mentigi. “Pemilik tanah dengan senang hati mendukung dan membiarkan kami menyewa tanahnya begitu kami bilangtujuan kami,” imbuh Kecek. Pasokan sampah pada mulanya didapat dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Nusa Penida.
Kecek melihat beberapa ibu-ibu yang menyisihkan makanan babi dari sampah di TPA. Muncul ide untuk mengobrol dan memberi tahu bahwa beberapa jenis sampah di TPA, utamanya sampah plastik ini punya nilai jual. Ujarnya sambil menunjukkan daftar harga per tiap jenis sampah, “Hampir semua [sampah] bisa dijual, kecuali residunya.”
Sebagai salah satu upayanya untuk menjaga jejaring ibu-ibu yang mengumpulkan sampah di TPA, setiap dua minggu sekali ia menelepon. Kini sudah ada sekitar sebelas orang yang rutin mengumpukan sampah ke Clean Penida. Langkah Kecek tak berhenti di sini.
Ia mulai mendekati kecamatan, meskipun tak selalu mulus dan bahkan, sempat pause selama sebulan lantaran saat itu ada pemilihan kepala desa. Respon positif kemudian datang dari Kepala Desa Batununggul. “Di sinilah kami mulai masuk ke desa-desa,” ujarnya.
Berbekal lampu hijau dari Kepala Desa Batununggul, Clean Penida memulai program Bank Sampah di masing-masing banjar. Menjalin kerjasama dengan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) juga dilakukan dalam pembuatan tabungan Bank Sampah. Dari Batununggal, Desa Mentigi, sampai di Batu Ngulapan. “Lumayan banyak yang mengumpulkan sampah plastik dan anak-anak pun responnya bagus,” tambahnya.
Perlahan tapi pasti, ia mulai merambah ke daerah tempat wisata seperti Desa Sakti, Desa Bunga Mekar, dan Desa Toyapakeh. “Ada yang responnya nggak begitu bagus,” kata Kecek.
Hidup Bulung di Nusa Penida
Rumput laut, oleh masyarakat Bali dikenal dengan nama bulung. Salah satu komoditas yang menghidupkan Nusa Penida, sejak dulu bahkan hingga kini ketika nyaris seluruh dunia dilumpuhkan pandemi Corona.
Wayan Sukadana, seorang pengusaha wisata yang kini merambah pertanian asal Desa Semaya, Nusa Penida mengatakan hadirnya rumput laut sebagai mata pencaharian di Nusa Penida diawali sejak tahun 1983.
Ada beragam teknik budidaya yang berkembang, mulai dengan dirakit (diikat), hingga kini cara yang kerap digunakan adalah teknik patok dasar. Jenis rumput laut yang berkembang di Nusa Penida pun sampai hari ada dua, yakni cottoni dan spinosum. “Cattoni, sering dibilang bulung halus. Lebih halus dan warnanya lebih kemerahan,” jelas Sukasada. Tahun 1983 – 1984 ini rumput laut dihargai Rp 25/kg. Kini harganya ada di kisaran Rp10.000 – Rp14.000. “Harganya relatif stabil,” imbuhnya.
Tak selalu di puncak, tahun 2006-2008 harga rumput laut sempat anjlok sampai Rp2.500, karena ada pembatasan ekspor dari pemerintah. Pada 2013, lanjut Sukadana, “Produksinya sampai 145 ton-an, ada di Mongabay juga data ini.”
Jumlah ini tidak sulit dicapai jika pertumbuhan rumput laut berkembang baik. Karena dalam satu bedeng menghasilkan 200 kg rumput laut. Sayangnya, tahun 2014 – 2015 produksinya turun sebanyak 70%.
Produksi rumput laut turun disebabkan serangan virus ice-ice—penyakit pada rumput laut dengan ciri munculnya bintik-bintik putih sebabkan pembusukan. Bentuknya seperti bunga es, mungkin dari sana istilah ais-ais ini.
Penurunan ini terus memburuk hingga produksi rumput laut di Nusa Penida berkurang, dan bahkan terhenti pada 2017 -2018. Hal ini lantaran banyak orang mulai beralih profesi sebagai pengelola pariwisata atau bekerja di bidang pariwisata. “Bisa dibilang, kejayaan rumput laut itu waktu tahun 2000-an,” kenang Sukadana yang kini juga memulai budidaya rumput laut dengan seorang rekannya.
Sejak pandemi Corona ini, pertanian rumput laut di Nusa Penida perlahan bangkit kembali. Pariwisata tak bisa lagi diandalkan, masyarakat memulai kembali aktivitas lama yang sudah akrab dengan warga Nusa Penida ini.
Cerita Gagal
Nova Semadi, berbekal tabungannya mengawali budidaya rumput laut. Ia membuat 3 bedeng, dengan modal awal sebesar Rp3,5 – 4 juta. Ia tak sendiri terjun ke dunia pertanian bawah air laut ini. Nova memberanikan diri mulai bertani rumput laut karena melihat keberhasilan sang paman. Pertama, ia memulai bersama-sama.
Sebelum pandemi, sehari-harinya Nova dan keluarga adalah pelaku di bidang pariwisata. Ketika itu periwisata ramai di Nusa Penida, pembangunan vila pun lancar. Sehingga, Nova sekeluarga saat itu memilih bekerja di proyek. Namun, pandemi menghentikan segala aktivitas pariwisata di Nusa Penida. Termasuk pembangunan proyek yang dilakoni Nova.
Keberhasilan awal sang paman, menguatkan tekad Nova memboyong keluarganya bercocok tanam di pertanian rumput laut. “Iwak saya yang memiliki lumayan banyak bedeng, pertama kali nyoba berhasil hingga balik modal,” cerita Nova.
Keberhasilan pamannya itu membuat Nova tertarik untuk membudidayakan dan beralih profesi dari mandegnya pariwisata ke pertanian rumput laut. “Ketika sudah banyak yang mencoba, akhirnya kebanyakan yang gagal. Termasuk yang sudah mendapatkan untung. Karena penyakit ice-ice. Tekstur rumput laut berubah menjadi rapuh. Semakin lama semakin kecil, dipegang saja dia hancur lalu hilang. Akhirnya yang tersisa hanya tali saja,” kata Nova.
Di tengah kegagalannya waktu itu, Nova sempat menjual panen. “Karena takut habis, sempet menjual sampai 1,5 juta Dari sejumlah modal ini, paling banyak pengeluarannya digunakan untuk membeli jaring dan bibit rumput laut. Sedangkan patok dasar ia didukung temannya. Untuk bibit baru harganya lebih mahal. Itu alasan memulai budidaya rumput laut akan mengeluarkan modal lebih banyak.
Beberapa peralatan diinvestasikan Nova untuk perkebunan di lahan air itu. Jaring ukuran 50 meter seharga Rp900 ribu sampai satu jutaan. “Dan kita bisa butuh lebih dari itu, karena perlu mengurung penuh, agar ketika rontok nggak hanyut.” Per petak ukuran 100x 5 menghabiskan dana sebanyak Rp1,5 juta. Saat ini petaknya masih ada, jaringnya pun masih tersisa, dan patoknya juga masih tertancap. Namun, bulungnya sudah tidak tersisa.
“Saya sudah mencoba, ternyata malah rugi. Saya enggan untuk mencoba kembali,” Nova bercerita pengalamannya.
Kisah Marni dan Sekar, Petani Rumput Laut
Pandemi Covid-19 membuat pariwisata di Nusa Penida menjadi sepi. Banyak pegiat pariwisata beralih mencari pekerjaan lain. Salah satu pekerjaan yang menjadi primadona di Nusa Penida di tengah pandemi adalah pertanian rumput laut.
Bersama para alumni Kelas Jurnalisme Warga Nusa Penida kali ini, kami berkunjung ke Pantai Semaya, pusat pertanian rumput laut. Berbincang dengan salah satu petani rumput laut yang bernama Marni.
Di usianya yang sudah senja, Marni menyingsingkan hasil panen rumput lautnya yang terlepas dari ikatan tali. Sudah satu tahun lalu ia kembali bergabung mencari penghidupan dari pertanian rumput laut.
Setelah tiga tahun ke belakang ia beralih pekerjaan membantu membangun infrastruktur di Nusa Penida. Pekerjaan yang sempat terasa menjanjikan untuk Marni, karena pembangunan masif untuk menunjang perkembangan pariwisata yang pesat di Nusa Penida. Namun, pandemi menghantam pariwisata di Nusa Penida. Sekaligus menghentikan aliran pariwisata. Begitu juga Marni. Ia berhenti mendapatkan panggilan pekerjaan dari kontraktor.
Mengingat sebelumnya ia pernah bertani rumput laut, tapi berhenti karena harga belinya yang merosot. Kini Marni kembali bertaruh nasib bertani rumput laut. Harga yang mulai stabil menjadi pelipur penghasilan Marni di tengah pandemi. “Rumput laut yang kering diambil pengepul lokal seharga Rp13.500/kg kering (sekitar 2 hari dijemur),” katanya.
Dalam satu bulan, Marni bisa memanen tumbuhan bawah air laut itu sebanyak 200 kg. Kisah yang mirip dilalui oleh Sekar. Sekar bertani rumput laut sudah bertahun-tahun.
Dibantu dua anaknya, Sekar mengerjakan tiga petak tambak rumput laut. Sekitar satu tahun kembali bertani rumput laut dengan harga yang stabil, Sekar dapat meraup penghasilan rata-rata per bulan kurang lebih 3 juta. Penghasilan ini dari hasil penjualan rumput laut kering sebanyak 200-300 kg yang dipanen setiap bulan. Rumput laut kering milik Sekar dijual ke pengepul lokal yang berada di Desa Semaya dengan harga 13.500 rupiah/kg.
Sekar bersama dua anaknya bertani rumput laut mulai dari pemilihan bibit, pengikatan bibit ke tali sampai pemasangan bibit ke tambak. Periode tanam rumput laut menghabiskan waktu 30 hari untuk siap dipanen.
“Biasanya panen pas Purnama lalu Purnama selanjutnya panen lagi, jadi 30 hari sekali panen,” kata Sekar sembari asik mengunyah tembakau di bawah terik. Sekar bisa memanen sekitar 100 kg dalam satu petak tambak rumput laut basah.
Beberapa kendala yang dialami Sekar adalah rumput laut terserang penyakit ice-ice. Kondisi di mana rumput laut mengalami perubahan warna menjadi putih dan rapuh. Sehingga rumput laut larut dalam air laut yang menyebabkan Sekar mengalami kerugian besar.
“Semoga ke depannya panen rumput laut meningkat dan harga tetap stabil,” harap Sekar.
Inisiatif Belajar
Serangan penyakit ice-ice yang membuat sebagian petani rumput laut kapok, mengusik Wayan Sukadana untuk tak tinggal diam. Sebagai pengusaha yang juga hobi bertani, ia mengembangkan strategi menghalau penyakit ice-ice.
“Rumput laut harus berada sekitar 0-300m di permukaan laut. Karena ia termasuk tumbuhan yang hidup di bawah air yang membutuhkan sinar matahari,” katanya ketika mengajak Alumni Kelas Jurnalisme Warga Nusa Penida melali ke lahan rumput lautnya.
Memerlukan kadar garam sebanyak 800 ppt, kadar ini secara dinamik terbentuk di Pantai Semaya, Nusa Penida. PH atau tingkat keasaman air laut setara 6,5-7,5. Selain juga dipengaruhi kecepatan arus, dan tingkat kotornya air laut.
Dengan mempelajari karakteristik rumput laut ini, Wayan Sukadana akhirnya membuat Sistem Jaring Kotak (Sijarko) Apung. Sijarko ini berbentuk jaring kotak ukuran 30cm x 20cm. Keuntungannya tidak perlu mengikat, tidak perlu melepas, rumput laut naik dan turun mengikuti gelombang, tidak terendam.
“Saya tinggal taruh aja, nggak perlu mengikat,” kata Sukadana.
Mengandalkan sistem patok dengan ukuran sampai 2 meter, rumput laut yang mengapung di laut bisa dengan leluasa naik turun sehingga tidak mengurangi kadar paparan sinar matahari yang dibutuhkan. Patok ini menggunakan bahan dari pipa pvc 3 inch.
Ternyata percobaan Sukadana mengembangkan strategi teknis rumput laut berhasil. Produktivitasnya dengan Sijarko Apung ini naik tiga kali lipat dibanding cara biasa.
Satu hal yang Sukadana dapatkan dari Sijarko ini adalah rumput laut tidak lagi dimakan ikan. Posisinya yang mengapung dan terlindungi oleh jaring. Di samping itu, panen juga bisa langsung dilakukan dilaut, asalkan airnya surut. “Jaring yang terikat pada patok setinggi 2 meter bisa dikunci dan ditarik ke atas, sehingga bisa dikeringkan di tempat.”
Rumput laut memiliki kualitas baik apabila ekosistem air tidak kotor. Rumput laut yang menggunakan Sijarko menghasilkan pertumbuhan lebih sehat. Jelas terlihat dari bentuk tunas. Rumput laut yang ditanam dengan sistem patok dasar sering kali membuat tunasnya patah dan rontok. Sedangkan setelah dipindah menggunakan Sijarko, tunas tumbuh secara utuh.