Sebanyak 38 pengemis ditangkap Satpol PP Kota Denpasar, sepanjang akhir pekan lalu dari berbagai tempat di Denpasar. Mereka terdiri dari ibu dan anak-anaknya yang berjumlah 25 orang, berusia 3 bulan sampai 13 tahun.
Senin lalu semua pengemis ini mengaku akan kembali mengemis di Denpasar jika dikembalikan ke daerah asalnya di Karangasem dan Bangli. “Jika saya tak kembali ke Denpasar, saya tak punya uang, demikian juga anak-anak,” ujar Ni Ketut Muliani, 28 tahun, seorang ibu yang ditangkap bersama tiga anaknya. Muliani pagi itu baru bangun di tempat penampungan sementara di kantor Satpol PP. Ia tidur bersama 20 orang lainnya dalam satu kamar berukuran sekitar 3×4 meter persegi.
Muliani mengaku berasal dari Banjar Betenaas, Munti Gunung, Karangasem, salah satu desa yang terkenal sebagai pemasok pengemis di Bali. Ia membesarkan ketiga anaknya sambil mengemis di beberapa ruas jalan di Denpasar. Ketiga anaknya masih berusia di bawah tujuh tahun.
Dua anaknya yang terbesar sudah bisa mengemis sendiri. Sementara Muliani mengemis dengan menggendong si bungsu berusia setahun. “Semakin kecil pengemis, semakin banyak dapat,” ujarnya. Misalnya, dua anaknya tiap hari rata-rata bisa mendapat uang Rp 30 ribu. Sebagian dibelanjakan dan sebagian diberikan ibunya.
“Kalau di kampung, mau makan apa? Desa kami kering, seperti dikutuk karena ternak sering mati, jagung hanya panen sekali dalam setahun,” papar Muliani lagi. Ia mengatakan sejumlah bantuan memang diberikan oleh yayasan atau dermawan, bahkan orang asing namun penyebarannya tak merata. Misalnya yang sudah pernah diberikan adalah bibit sapi, beras, dan keterampilan menganyam.
“Semuanya cepat habis karena tak berkembang. Ternak cepat mati di desa, dan sulit air,” kilahnya. Saat musim hujan seperti ini, air memang bisa ditampung tapi kayu bakar sulit didapat.
“Kami dapat lebih pasti dengan mengemis. Dalam sehari bisa dapat Rp 50 ribu, untuk beli nasi, dan keperluan upacara adat di kampung,” tambah seornag ibu lainnya.
Mereka mengaku ketergantungan untuk mengemis. Menurutnya masih mudah mendapat uang di jalanan dibanding harus bekerja. “Tidak mungkin saya bisa bekerja sambil bawa tiga anak kecil. Suami saya buruh bangunan,” kata Muliani.
Selain tak punya keterampilan, hampir semua termasuk anak-anaknya buta hurup. Ketergantungan juga dialami Murni, pengemis perempuan berusia 12 tahun ini. “Saya sudah sering kejar-kejaran dengan polisi (Satpol PP) dan baru dua kali kena tangkap,” katanya santai. Ia mengatakan bisa membaca bukan hal penting. “Kalaus ekolah, nanti saya tak boleh minta-minta lagi,” keluhnya.
I Nyoman Ambara, Kabid Operasional dan Pengembangan Kapasitas Satpol PP Denpasar mengatakan rata-rata tiap bulan menangkap 100 pengemis dari jalanan. “Kita hanya melakukan penangkapan, pembinaan urusan Dinas Sosial,” ujarnya. Menurutnya setahun ini, pengemis-pengemis baru banyak, selain yang lama. Seperti tangkapan terakhir, sebagian besar baru sekali ini ditangkap.
“Saya tau mereka akan balik lagi ke kota. Apa daya, kita sulit mencegahnya,” katanya. Menurutnya Dinas Sosial paling memberikan penyuluhan soal agama sebelum dipulangkan ke desanya.
Karena masalah inilah, DPRD Bali berencana mengusulkan Ranperda Penanggulangan Gepeng di Bali. “Nanti, dalam Perda itu rencananya si pemberi juga akan kena sanksi seperti Perda di Jakarta,” kata I Nyoman Partha, Ketua Komisi IV DPRD Bali yang membidangi kesehatan dan kesejahteraan. Ia mengharap LSM atau publik memberikan masukan untuk draft Ranperda ini karena sangat kompleks menyangkut masalah sosial dan budaya.
Jaringan kelompok perlindungan perempuan dan anak di Bali mengharapkan rancangan Perda yang belum dibahas ini tak mengkriminalisasi anak dan perempuan dengan dalih ketertiban. “Sumber masalah adalah kemiskinan. Kita tahu anak-anak jalanan itu juga dieksploitasi oleh orang-orang tertentu, dan inilah yang harus dibongkar,” ujar Asana Viebeke Lengkong, aktivis I am An Angel, jaringan sosial yang kerap membawa bantuan ke Munti Gunung dan desa-desa miskin lainnya di Bali.
Pemerintah Provinsi Bali mencatat, jumlah penduduk tergolong miskin di Bali sebanyak 182 ribu orang per Maret 2009 ini atau sekitar 5 persen dari 3,4 juta penduduknya. Sebagiannya berada di pedesaan yang terisolir seperti Karangasem dan Buleleng. Sebagian lagi ada di perkotaan. [b]