Suara Mengaji di Cafe Senggigi

Teks dan Foto Anton Muhajir

Berkunjung ke Senggigi, kawasan wisata paling tersohor di Lombok, pada bulan Puasa ternyata memiliki keunikan tersendiri. Suara orang tadarus di antara dentuman musik cafe atau lalu lalang orang usai tarawih di depan turis-turis menenggak bir jadi hal lumrah. Bagi saya, kebersamaan dua sisi yang sering kali diposisikan berseberangan itu, adalah hal unik.

Kenikmatan duniawi, yang bagi sebagian orang adalah terlarang, nyatanya bisa berdampingan dengan kenikmatan rohani, yang bagi sebagian orang lain adalah ilusi.

Wajah Senggigi Kamis (10/09) malam lalu itu tidak terlalu ramai. Kawasan pantai barat Pulau Lombok yang terkenal dengan matahari terbenamnya itu relatif sepi. Sekitar pukul 8.30 malam ketika saya baru sampai hotel Puri Bunga. Tidak ada tamu asing yang kutemui di hotel ini. Begitu juga ketika saya jalan untuk cari makan malam.

Soal makan malam ini sesuatu yang tragis bagi saya. Saya yakin banget akan menemukan warung murah meriah dengan menu khas Lombok kalau sampai di Senggigi. Maklum meski pernah dua kali ke sini sebelumnya, saya tidak terlalu tahu tentang Senggigi. Saya sih bayangin akan ada warung-warung lesehan murah begitu.

Karena itu, saya belum makan berat sejak di Bali meski sudah waktunya buka puasa. Begitu pula ketika sudah sampai di Lombok. Saya menahan lapar karena mikir akan menemukan warung murah meriah dengan menu khas Lombok di Senggigi.

Eh, ternyata tidak ada sama sekali. Di sisi ini, Senggigi ternyata sama angkuhnya dengan Kuta, Bali. Tidak ada tempat untuk pedagang kaki lima.

Maka, dengan salah satu pegawai hotel Puri Bunga, saya cari makan malam dan buka puasa yang terlambat. Pegawai itu mengajak saya ke Yessy Cafe, salah satu cafe terbaik di Lombok menurut si pegawai hotel. Menu ayam taliwang di cafe ini harganya Rp 25 ribu. Termasuk murah dibanding menu lain, seperti nasi goreng yang sampai Rp 35 ribu. Saya memilih menu khas Lombok tersebut.

Meski setiap orang yang saya ajak ngobrol bilang kalau hari-hari tersebut tamu di Lombok lagi sepi, nyatanya cafe tersebut penuh dengan pengunjung asing. Hanya ada saya dan teman pegawai hotel itu yang orang lokal. Sisanya wajah-wajah Kaukasian. Dari sekitar 15 pasang meja dan kursi, 12 di antaranya terisi turis asing tersebut.

Melihat banyaknya tamu asing sedang menikmati makan dengan beberapa botol bir di mejanya itu, saya sampai lupa kalau aku sedang di Lombok, pulau yang mendapat julukan pulau seribu masjid. Sampai kemudian saya mendengar suara orang mengaji, saya baru sadar bahwa malam itu masih dalam suasan Ramadhan.

Asiknya adalah meski bulan Ramadhan, turis-turis itu masih bisa menikmati kebebasannya. Mereka menikmati bir di antara dentuman house music yang bersahut-sahutan dengan suara orang mengaji. Lalu sesaat kemudian, beberapa perempuan mengenakan mukena lewat di depan cafe tersebut. Mereka tersenyum ke arah turis yang lagi minum-minum itu. Biasa saja. Tidak ada yang perlu diposisikan bersebarangan. Yang minum bir ya lanjut minum bir. Yang khusyuk mengaji ya silakan lanjut mengaji.

Bahkan, ketika beberapa tamu pamit dari cafe, mereka juga mengucapkan “Assalamu’alaikum” salam pada Mardi si pemilik cafe.

Kalau semua bisa berjalan beriringan begini kan jadi asik. Kenikmatan rohani dan duniawi itu bisa berjalan seimbang. [b]