Teks Luh De Suriyani, Foto Anton Muhajir
Tiga perempuan muda sedang melahap makan siangnya di ruang perawatan untuk penyakit menular di RS Sanglah Denpasar, Rabu pertengahan November lalu.
Wajah cantik ketiganya kini terlihat kuyu. Tulang-tulang di wajahnya menonjol, seiring makin merosotnya berat badan karena serangan diare dan tuberculosis.
Tak ada keluarga yang menemani mereka siang itu. Yang datang berkunjung adalah tiga konselor dari Yayasan Spirit Paramacita, dulu bernama Bali+, lembaga pendampingan orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Ketiga konselor ini mengajak ngobrol seperti teman, tanpa menanyakan terapi pengobatan atau hal-hal lain yang berhubungan dengan infeksi oportunistiknya akibat fase AIDS. “Mereka belum mau sharing soal HIV/AIDS. Kami mengetahuinya dari keluarga,” ujar Istina Dewi, salah satu konselor.
Sedikitnya ada 10 ODHA yang tengah mendapat perawatan intensif di ruangan yang sama. Sebagian besar keluarga pasien tidak mengetahui status HIV-nya. “Kami bisa membantu pasien memberi pemahaman pada keluarga, jika pasien setuju. Sayang, ini juga sulit karena pasien ingin menyembunyikannya terus,” tambah Istina, ibu rumah tangga dengan satu anak laki-laki yang telah mendampingi ODHA lebih dari 5 tahun ini.
Istina mengatakan Ia dan teman-teman koselornya harus proaktif mendekati pasien dengan HIV yang sudah lama dirawat di rumah sakit. “Stigma tentang HIV/AIDS masih begitu lekat di pikiran mereka, kalau kami menunggu pasien (ODHA) mengaku, terlalu lama. Kami harus memberikan informasi yang benar dengan cepat, agar mereka tertolong,” kata Istina.
Tak hanya bagi ODHA yang sudah dirawat berminggu-minggu di ruang perawatan, para konselor juga menerapkan jurus bypass di klinik voluntary, counseling and testing HIV. Para konselor bisanya menunggu di klinik VCT dan langsung memberikan panduan bagi ODHA yang kebingungan mencari ARV dan pelayanan kesehatan lain.
Terlebih, sebagian besar pasien yang mengambil ARV di klinik VCT Nusa Indah RS Sanglah datang dari luar Denpasar. Misalnya Karangasem, Gianyar, dan lainnya. Sebut saja Santi, perempuan paruh baya dari Karangasem yang menempuh perjalanan sekitar dua jam untuk mengambil ARV.
Padahal di RSUD Amlapura, Karangasem, kini ada klinik VCT yang memberikan layanan obat dan terapi ARV. Santi mengaku tidak nyaman, atau takut dilihat tetangga dan kerabat dekat.
“Faktanya, stigma pada diri sendiri memang menghalangi ODHA mencari obat di dekat rumahnya,” kata Putu Utami, Direktur Yayasan Spirit Paramacita.
Padahal, kini semakin banyak ODHA perempuan dan anak-anak yang membutuhkan ARV akibat penularan HIV sudah masuk populasi umum saat ini di Bali. Perempuan, ibu rumah tangga dan anak-anak menurut Utami harus dekat dengan akses kesehatan.
Sejak 2002, Paramacita yang dulu bernama Bali+ telah mendukung 1026 orang ODHA di Bali. Jumlahnya terus melonjak tinggi tiap tahun, dan tempat tinggalnya makin tersebar ke hampir seluruh kabupaten.
Menurut data Dinas Kesehatan Bali, jumlah pengidap yang tercatat saja hampir 4000 orang, dan lebih dari 60% berusia 20-29 tahun. Namun, Departemen Kesehatan dan Komisi Perlindungan AIDS Nasional memperkirakan ada 7000 orang yang positif HIV di Bali pada tahun ini.
Untuk mengurangi stigma pada diri sendiri, sejumlah kelompok sebaya dibuat di beberapa kabupaten. Misalnya kelompok dukungan sebaya Tunjung Putih bagi ODHA perempuan dan keluarganya.
Kampanye penghapusan stigma dan diskriminasi menurut Utami sangat kurang. Salah satunya karena kini tidak ada kepemimpinan dari pemerintah provinsi Bali.
Hal ini diakui dr Nyoman Mangku Karmaya, pokja Humas dan Informasi Komisi Perlindungan AIDS Bali. “Kami kehilangan pemimpin yang mau maju ke depan menghadapi tsunami AIDS yang akan melanda Bali,” katanya. [b]
http://www.thejakartapost.com/news/2010/10/25/aids-stigma-rivals-disease-itself.html