Oleh Anton Muhajir
Soto karangasem menambah kekayaan kuliner Bali. Tak hanya mapan secara ekonomi, pedagangnya pun bisa jadi tuan di tanah sendiri. Mereka punya slogan weteng wareg gumi ajeg.
Di bawah bangunan semi permanen beratap dan berdinding seng, Wayan Sukanada, 44 tahun, melawan stereotip bahwa orang Bali malu bekerja di sektor informal. Sejak 1980 pria asal Desa Ngis, Kecamatan Manggis, Karangasem itu berdagang soto sapi di pinggir jalan raya di daerah Oongan, Denpasar timur. Tiap hari dia melayani pelanggan yang rata-rata karyawan swasta di sekitar tempat mangkalnya.
Buka sejak pukul 6.30 Wita hingga sekitar pukul 12.30 Wita, Sukanada menghabiskan paling sedikit 6 kg daging sapi untuk soto dan 1 kg untuk sate. Sedangkan beras rata-rata 10 kg per hari. Dengan jumlah tersebut dia bisa memperoleh pendapatan kotor sekitar Rp 500 ribu per hari.
Maka, bukan hanya secara sosial ekonomi dia mapan, misalnya bisa menyekolahkan tiga anaknya. Urusan ritual pun dia berbangga karena bisa melakukan upacara penghormatan leluhur yang dianggap paling besar di desanya, Nawur Sanjana. Upacara Dewa Yadnya itu hanya dilakukan sekali seumur hidup oleh sebuah keluarga yang merasa diberkahi secara ekonomi. Kalau ada orang yang tidak bisa melakukannya, maka keturunannya tetap harus melaksanakan upacara itu.
Tidak setiap orang bisa melaksanakan karena mahalnya biaya upacara ini. Misalnya, Sukanada dan empat saudaranya harus mengorbankan sepuluh sapi untuk upacara itu.
“Kan bangga ya dari jual soto saja bisa melaksanakan upacara itu,” kata Sukanada.
Ketika tiba upacara di desanya, sekitar 100 km timur Denpasar, Sukanada bisa menunjukkan keberhasilannya berdagang soto sapi. Tak hanya dia tapi juga keluarga, bahkan desanya. Soto karangasem memang jadi salah satu kebanggaan desa tetangga Candi Dasa tersebut.
Sukanada hanya satu dari puluhan pedagang soto karangasem di Denpasar. Mereka tersebar di Kreneng, Oongan, Tainsiat, Pasar Badung, Tonja, dan tempat lain di Denpasar. Semua pedagang itu berasal dari satu keluarga, atau setidaknya satu desa.
Terkenalnya soto karangasem di Denpasar diawali Nengah Widana, 55 tahun. Pak Ngah, demikian panggilannya, mulai menjual soto pada 1968 di Pekambingan, Denpasar. Dia bekerja di warung soto milik Nengah Karta, yang juga asal Karangasem.
Dari Pak Ngah inilah soto karangasem jadi terkenal. Sempat berganti pekerjaan, dengan menjual rokok dan minuman serta kursus menjahit, Pak Ngah memilih jual soto sendiri sejak 1974. Dia memulai dengan gerobak dorong di belakang Pasar Kumbasari. Saat itu dia menjual satu mangkuk soto dan satu piring nasi seharga Rp 35.
Mengandalkan pembeli yang sebagian besar kuli pembangunan Pasar Badung, jualan Pak Ngah laris. Buktinya dia bisa membeli tanah seluas 2,5 are di Amlapura, kota kabupaten Karangasem hanya lima bulan setelah mulai berdagang soto.
Pada 1982 Pak Ngah pindah ke Pasar Badung yang baru selesai dibangun. Jualannya makin laris. “Setelah itu saya berpikir untuk membuka warung di tempat lain,” kata bapak empat anak ini. Mantan Kelian Adat Banjar Taman Sari Denpasar ini kemudian memilih tempat di Jl Patimura, tak jauh dari rumahnya. Tiap bulan dia bisa mendapat untung sekitar Rp 2,5 juta.
Keuntungan berdagang soto sapi itu digunakan membeli tanah. “Karena beli tanah kan tidak mungkin rugi,” katanya. Pak Ngah melawan anekdot bahwa orang Bali menjual tanah untuk beli bakso. Dia justru menjual soto untuk beli tanah.
Pelan-pelan usahanya makin banyak mendapatkan keuntungan. Selesai beli tanah di daerah Oongan, dia membangun rumahnya jadi tingkat dua. Padahal ketika pertama kali ditempati, rumah di Jl Banteng tersebut itu hanya berdinding bedek.
Meski usaha makin berkembang, Pak Ngah tak ingin menikmatinya sendiri. “Saya mulai ngajak adik-adik. Biar mereka juga bisa bekerja dan mandiri,” kata anak pertama dari lima bersaudara ini.
Kakek lima cucu ini pun mulai mengajak adik-adiknya berjualan satu per satu. Salah satunya Wayan Sukanada. “Saya dulu belajar juga sama Pak Ngah,” kata Sukanada. Pak Ngah memang hanya mengajari, bukan menjadikan mereka sebagai anak buah. Maka ketika dianggap sudah mampu, adik-adiknya pun membuka usaha dagang soto sendiri.
Adik-adik yang sudah mampu itu ada yang mengajak sepupu atau tetangga desa. Setelah sepupu atau tetangga itu bisa, mereka membuat usaha dagang soto sendiri.
Dari situ, soto karangasem menyebar ke berbagai tempat di Denpasar. Tidak ada data pasti. Namun sebagai gambaran, dari keluarga Pak Ngah saja ada sekitar 14 pedagang soto sapi. Contoh lain sepanjang di Jl Nangka Denpasar saja saat ini ada sekitar sembilan. “Tapi semua pasti pernah bekerja di dagangan saya sendiri atau keluarga saya,” kata Pak Ngah.
Karena berasal dari satu akar itulah, maka semua soto karangasem punya ciri dan cita rasa yang sama. Semua menggunakan daging sapi dipotong kecil-kecil mirip dadu. Kuahnya pakai aneka rempah seperti bumbu bawang putih, jahe, seledri, bawang goreng, cabe, merica, dan penyedap rasa. Sebagai tambahan, dan ini biasanya tergantung pedagang masing-masing, bisa ditambah lengkuas, bumbu rajang, ketumbar, dan pala. Kuah dan daging sapi segar ini kadang-kadang juga ditambah sate.
Pak Ngah sendiri sampai saat ini masih berjualan di Pasar Badung. Namun sudah tak banyak ikut campur sebab kini istrinya, Nengah Ariani, yang jualan sendiri di pasar terbesar di Bali tersebut. Dia hanya mengantar ketika berangkat ke pasar pukul tiga pagi dan menjemput pukul 16.30 wita.
Dari hasil jualan tersebut, Pak Ngah dan istrinya bisa membangun rumah untuk empat anaknya. Dia pun bisa beli tanah untuk simpanan serta menyama braya dengan bebas kapan pun dia mau. “Kalau ada tetangga upacara, kami bisa libur kerja dan mengikutinya dengan leluasa. Kalau pegawai (negeri maupun swasta) kan susah,” katanya.
Namun ada yang lebih membuat Pak Ngah bangga. “Kami bisa membuat makanan yang jadi ciri khas desa,” katanya. Soto karangasem identik dengan Karangasem, seperti juga ayam betutu identik dengan Gilimanuk atau serombotan identik dengan Klungkung. Soto karangasem menambah kekayaan kuliner Bali.
Meski demikian, Sukanada dan Pak Ngah masih menyimpan kegalauan. Menurut mereka keberhasilan soto karangasem seharusnya memacu orang Bali untuk berani melakukan pekerjaan yang selama ini dianggap menurunkan gengsi, seperti halnya berdagang kaki lima di pinggir jalan. “Saya lihat orang Bali masih sedikit yang punya semangat kerja berdagang kaki lima,” ujar Pak Ngah.
Kalau toh ada yang punya usaha dagang kaki lima, lanjut Pak Ngah, kemampuan mereka untuk mengelola usaha masih kurang. Misalnya kurang promosi, kurang bersih, hingga kurang ramah dengan pelanggan. “Kalau usahanya serius dan tahan banting, kita pasti berhasil. Kalau sudah berhasil kan pasti bisa beli tanah. Jadi bukannya malah jual tanah untuk bisa hidup,” katanya.
Dalam bahasa Pak Ngah, kalau perut sudah kenyang, maka tanah milik mereka tidak akan terjual. Bahasa balinya, weteng wareg gumi ajeg. Sukanada dan pedagang soto lain tak hanya menjadikannya sebagai slogan. Mereka telah membuktikan. [+++]
-versi Bahasa Inggris tulisan ini dimuat The Jakarta Post [24/05/07]-
ini contoh pengusaha yg merangkak dari bawah, ayo temen2 yg masih pd kuliah, coba tiru semangat Pak Ngah, jangan cuman pengin jadi orang gajian dg gaji gede, CAPEK DEH….