Wayan Sukarda menggelar pesta syukuran di rumahnya di Perum Nuansa Udayana Jimbaran Senin (12/3) lalu. Wayan salah satu korban kecelakaan Garuda di Yogyakarta Rabu pekan lalu. Tak hanya selamat, kontributor stasiun TV swasta Lativi dan sejumlah media TV Australia itu pun membuat liputan eksklusif kecelakaan yang menewaskan 22 orang, termasuk empat warga negara Australia tersebut.
Syukuran itu sederhana. Undangan, hampir seluruhnya wartawan teman Wayan sehari-hari liputan, duduk di kursi plastik di garasi. Makanan disajikan di teras rumah. Ada ikan bakar, ayam goreng, ayam betutu, dan tentu saja babi guling.
Wayan baru selesai datang dari Pantai Kuta untuk melukat, upacara membersihkan diri setelah mengalami kecelakaan, ketika undangan selesai makan. Masih dengan pakaian adat baju putih dan kamen biru, Wayan bercerita pada teman-temannya, ditemani bir petang itu.
Sebagai kameraman lepas untuk beberapa TV Australia, Wayan Sukarda bersedia ketika diajak meliput kegiatan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer di Indonesia pekan lalu. Dia dikontrak stasiun TV Channel 7 selama empat hari. Hari pertama meliput di Semarang. Hari kedua dan ketiga meliput pertemuan kerja sama kontra-terorisme Indonesia-Australia di Jakarta. Hari keempat meliput kunjungan Downer di Yogyakarta untuk bertemu Sultan Hamengkubuwono X dan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsudin.
Namun hari terakhir liputan itu jadi musibah bagi Wayan dan 139 penumpang pesawat lain.
Menjelang pesawat mendarat, di tempat duduknya di kursi 25D, Wayan melihat cuaca Yogyakarta dari jendela pesawat. Tidak ada mendung. Langit biru. Cerah. Semua baik-baik saja. Tapi ketika roda menyentuh landasan bandara, pesawat itu terangkat lagi. Menyentuh lagi. Terangkat lagi. “Aku merasakan begitu sampai tiga kali. Saat itu saya berpikir saya pasti mati juga,” kata Wayan.
Pesawat bergerak kencang, menabrak pembatas bandara, melewati parit, lalu berhenti di tengah areal kebun kacang. Wayan memegang kursi depannya. Bibirnya membentur kursi di depan. Dadanya sesak. Darah keluar dari bibirnya. Asap mengepul dari bagian depan pesawat.. Penumpang panik. Wayan melepas sabuk pengaman lalu menenteng kamera di bawahnya dengan tangan kiri. Barang bawaan penumpang di atas kursi berjatuhan.
Wayan lari ke belakang mencari pintu keluar. Empat orang di depannya sudah meloncat turun. Wayan empat ragu-ragu ketika hendak meloncat. “Tingginya sampai 1,5 meter sedangkan saya bawa kamera. Takut kalau loncat akan patah kaki saya,” kata Wayan. Tapi teriakan orang-orang di belakangnya membuat Wayan tak punya pilihan. Dia melompat turun.
Masih dengan kamera di tangan, Wayan berlari menjauhi pesawat. Dia mengambil jarak aman, sekitar 15 meter. “Karena kemungkinan pesawat itu akan meledak,” ujarnya.
Naluri Wayan sebagai wartawan bekerja. Dia menghidupkan kamera Beta Cam miliknya. Namun kamera error. Agak putus asa dia menggoyang-goyang kamera itu. Hidup. Dia pun merekam semua kejadian itu.
Dia merekam pesawat dari yang utuh hingga luluh lantak terbakar. Penumpang keluar berhamburan dari sisi kiri pintu keluar dan pintu darurat. “Saya memang di kiri pesawat ketika itu,” katanya. Lima menit kemudian, api mulai berkobar. Wayan menjauh.
Petugas berdatangan mengevakuasi korban. Ada yang bawa tandu. Ada yang bawa pemadam kebakaran. “Saya melihat orang dengan tubuh melepuh dievakuasi petugas,” lanjutnya.
Wayan beralih ke korban yang tergeletak di sawah. Tubuh korban itu berdarah-darah. Gambarnya memperlihatkan satu pramugari berteriak-teriak minta tolong. Beberapa penumpang yang tidak terluka datang mendekat dan menolong korban itu. Wayan sempat berniat ikut membantu. “Tapi saya memutuskan untuk tetap mengambil gambar saja. Itu adalah pilihan tiap wartawan dalam kondisi seperti itu,” ujarnya.
Sekitar 15 menit di lokasi kejadian, Wayan yang juga biasa bekerja untuk kantor berita Australia ABC dan Channel 10 lari ke rumah sakit Angkatan Udara yang masih satu areal dengan Bandara Adi Sucipto, lokasi kecelakaan Garuda tersebut. Dia ikut mobil petugas yang membawa korban ke rumah sakit.
Sekitar 10 menit di rumah sakit yang dipenuhi korban tersebut, indikator baterei kamera Wayan mulai berkedip-kedip. “Baterei saya habis,” katanya.
Wayan tak ingin melewatkan momen itu tanpa gambar gara-gara baterei habis. Dia telepon beberapa production house di Yogya untuk pinjam baterei. Dia telepon Yogya Multi Media Trainning Centre. Juga tidak ada hasil. “Mereka tidak punya baterei yang saya perlukan. Saya jadi pontang-panting cari baterei,” ujar Wayan. Beruntung dia bisa mendapat baterei itu dari Stasiun TVRI Yogyakarta.
Selesai mendapat gambar dari lokasi kejadian, evakuasi, hingga perawatan di rumah sakit, Wayan baru mengirim gambar itu ke kantor Channel 7 lewat kantor Telkom Kota Baru Yogyakarta. “Selesai feeding, saya baru sadar kalau saya termasuk salah satu korban,” katanya.
Liputan Wayan kemudian muncul hampir di semua TV nasional. Gambar-gambar hasil liputan Wayan jadi satu-satunya liputan paling dekat dengan kejadian itu dari sisi waktu dan jarak. Tapi kini Wayan harus beristirahat untuk memulihkan traumanya. Dadanya masih sakit. Dokter di Bali International Medical Centre (BIMC) yang memeriksanya mengatakan dia harus istirahat hingga lima minggu untuk memulihkan kondisi psikis dan fisik.
“Apa yang saya dapat (dengan gambar tersebut) tidak bisa mengembalikan beban psikis saya. Kalau bisa memilih, saya memilih tidak mengalami kecelakaan itu,” ujarnya. [b]
Uggh saya menikmati dan membayangkan kejadian nya dalam membaca berita yang mengerikan ini, betul sayang jika disimpan walau sudah berbulan lewat, terimakasih mas Anton sudah berbagi true story ini.
Mungkin bli Wayan tidak menyadari bahwa dia sebenar nya a ‘true Hero’ karena dengan hasil liputan nya kami dapat melihat kejadian tersebut di tv. Semoga cepat sembuh blih dan tetap berkarya!