
Kota Singasana atau yang lebih dikenal dengan nama Tabanan kini semakin dikenal, terutama dengan keberadaan Nuanu. Melali ke Desa mencoba jalur baru ke daerah Tabanan pada 11 Oktober 2025. Bukan hanya satu desa, tapi ada tiga desa yang dikunjungi, yaitu Desa Nyitdah, Desa Bengkel, dan Desa Beraban.
Melali lintas desa dimulai siang hari ketika matahari masih terik. Perjalanan dimulai dari Denpasar. Membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit untuk mencapai destinasi pertama. Cuaca hari itu tidak menentu. Langit mendung, tapi udara terasa panas.
Begitu kendaraan memasuki Desa Nyitdah, tampak pemandangan kanan dan kiri dipenuhi genteng yang sedang dijemur. Beberapa rumah juga meletakkan serabut kelapa di depan rumahnya. Kami mengunjungi salah satu rumah yang ada di Desa Nyitdah.
Desa Nyitdah dikenal dengan pengrajin genteng. Hampir semua rumah bekerja sebagai pengrajin genteng. Eka merupakan salah satu pengrajin genteng di Desa Nyitdah. Ketika ditemui di rumahnya, istri Eka bersama salah satu bekerja tengah mencetak genteng.
Genteng dibuat dengan campuran tanah liat dan paras agar struktur genteng lebih kuat. Kami diajak melihat proses pencetakan genteng menggunakan mesin yang cukup besar dan berat. Tanah liat yang telah dicampur dengan paras diletakkan di mesin pencetak. Kemudian, besi di atas yang terlihat seperti setir diputar. Alat tersebut ternyata cukup berat ketika diputar. Beberapa peserta Melali yang mencoba cukup kesusahan ketika memutar alat tersebut.

Proses mencetak dilakukan dengan hati-hati agar tangan tidak terjepit. Eka mengatakan banyak wisatawan asing yang sedang menginap di sekitar Desa Nyitdah mencoba mencetak genteng di rumahnya.
Dalam sehari, rata-rata genteng yang dicetak setiap pekerja bisa mencapai 400 genteng dengan waktu kerja pukul 08.30 hingga 17.00. Setelah proses pencetakan, genteng harus dijemur karena tanah yang digunakan memiliki tekstur basah. “Hujan ini musuh pembuat genteng,” ujar istri Eka sembari tertawa. Benar saja, hari itu hujan datang. Dengan terburu-buru Eka langsung menyelamatkan genteng yang tengah dijemur.
Proses akhir pembuatan genteng adalah pembakaran. Tungku bakar terbuat dari susunan bata dan genteng ‘reject’ atau genteng yang tidak layak dijual. Hari itu kami tidak berkesempatan menyaksikan pembakaran karena proses pembakaran baru dilakukan ketika genteng yang dicetak mencapai 8.000 genteng.
Destinasi kedua menuju pengrajin lain. Kali ini mendatangi rumah pembuat klepon di Desa Bengkel, tak jauh dari Desa Nyitdah. Kami disambut oleh keluarga Krisna yang tengah menyiapkan air hangat.
Sebelum mencoba sendiri membuat klepon, kami disuguhi klepon yang sudah matang. Berbeda dengan klepon pada umumnya, klepon yang disuguhi Krisna berwarna hitam. Bahan dasarnya adalah beras hitam, mengingat Desa Bengkel dikenal dengan beras hitamnya. Selain klepon beras hitam, Krisna juga sering menerima pesanan klepon dengan bahan dasar lain, seperti ubi dan beras merah.

Tekstur klepon yang kami coba terasa kenyal, gulanya pun tidak terlalu berlebihan. Ada rasa gurih pada adonan kleponnya. Penasaran, kami mencoba adonan klepon yang belum dimasak, rasanya sedikit asin. Krisna menjelaskan bahwa itulah yang membuat klepon terasa gurih, tapi tidak asin ketika sudah matang karena sudah ada campuran gula.
Workshop pembuatan klepon dimulai. Pembuatannya seperti jaje pregembal, tekstur tepungnya pun mirip. Sebelum membentuk adonan, kami mengoles tangan dengan minyak kelapa agar adonan tidak lengket di tangan.

Adonan tepung dibentuk lonjong. Kemudian, dilubangi untuk isian gula merah. Beberapa peserta Melali tampak kesusahan saat mencobanya. Bentuk yang kami buat tidak beraturan, seperti yang dicontohkan Ibu Krisna. Namun, setelah mencoba membentuk satu adonan, beberapa peserta langsung bisa membentuk adonan lain dengan mudah.
Setelah kulit klepon dibentuk, di lubang adonan diisi gula merah yang sudah dicairkan. Gula tidak diisi penuh, ada sedikit ruang kosong untuk menutup lubang. Jika adonan sudah berbentuk klepon, adonan dimasukkan ke dalam air hangat yang mendidih.
Klepon langsung tenggelam dalam air hangat begitu dimasukkan. Sekitar 10 menit setelah dimasukkan, klepon akan mengambang. Artinya, klepon sudah matang dan siap dikonsumsi. Krisna pun mengeluarkan gayung berlubang yang dibuatnya sendiri untuk meniriskan klepon.
Kepiawaian membuat klepon diwarisi Krisna dari ibu mertuanya. Sudah 25 tahun ia berkutat membuat klepon. Dalam sehari, ia dan istrinya bisa membuat 500 klepon. Per biji dijual Rp700. Klepon yang lebih sering dibuat adalah klepon warna hijau, sedangkan warna lain dibuat berdasarkan pesanan dari pelanggan. Tak ingin menyia-nyiakan klepon yang enak tersebut, kami pun membungkus klepon yang tersisa untuk dibawa ke destinasi selanjutnya.
Masih kenyang dengan klepon yang entah sudah berapa biji dimakan, kami pun menuju Subak Bengkel untuk menyantap bubur beras merah. Tak disangka, bubur tersebut sudah disusun rapi dengan bungkus daun pisang di Alun-alun Pura Bedugul. Bungkusan daun pisang tersebut diletakkan di piring anyaman yang dibuat oleh masyarakat sekitar. Di samping deretan bubur juga disajikan berbagai macam loloh atau jamu.

Awalnya, kami berniat menyantap bubur beras hitam. Sayangnya, saat itu beras hitam tidak tersedia banyak di Desa Bengkel, sehingga yang disajikan adalah bubur beras merah. Seperti bubur Bali pada umumnya, bubur tersebut berisi ayam, sayur urab, sambal, telur, dan kuah. Setiap butir beras yang ada pada bubur sangat menyatu satu sama lain, sangat mudah ditelan.
Perut kenyang menyantap bubur, kami melegakan tenggorokan dengan loloh. Ada empat macam loloh yang disediakan, yaitu loloh bunga telang, loloh kelapa, loloh mengkudu, dan loloh kunyit. Loloh bunga telang rasanya sangat manis, sedangkan loloh mengkudu terasa sangat asam. Loloh yang paling pas rasanya adalah loloh kunyit.
Perjalanan dilanjutkan mengelilingi Subak Bengkel. Saat itu sedang musim panen. Beberapa petani tampak mengoperasikan mesin penggiling. Sementara, petani lainnya yang sudah selesai panen tampak membakar jerami.

Menurut penuturan Ketua Kelompok Padi Sehat, I Wayan Murjana, luas subak tersebut mencapai 330 hektar. Pada tahun 1990-an, luas Subak Bengkel mencapai 450 hektar. Namun, pengerukan pantai untuk proyek Ciputra Beach Resort menyebabkan luas subak menyempit.
Melihat pembangunan yang semakin masif di desa tetangga, Subak Bengkel berupaya menghentikan laju alih fungsi lahan dengan tidak menyediakan akses masuk ke subak. Jalan yang tersedia di Subak Bengkel hanya bisa dilewati satu motor. Itu pun hanya dilintasi petani.
Masalah lain yang tengah dihadapi Subak Bengkel adalah banyaknya kiriman sampah dari hulu. Pasalnya, Subak Bengkel berlokasi di hilir. Ketika kami berjalan menyusuri sawah, kami sempat melihat beberapa botol air minum dalam kemasan di aliran subak.
Sejumlah petani juga berupaya melestarikan beras hitam dengan menanam padi beras hitam. Namun, jumlah tidak terlalu banyak. Menyusuri sawah, kami juga melihat seorang petani yang tengah mengikat beberapa padi. Menurut penuturan Murjana, padi itu sebagai wujud Betara Nini, sebutan untuk Dewi Sri. Upacara tersebut dilakukan sebelum panen sebagai wujud kesuburan, kemakmuran, dan pelindung pangan.
Awan mendung semakin mendekat, kami pun memutuskan tidak melanjutkan perjalanan menyusuri sawah. Ketika hujan berhenti, kami langsung menuju destinasi Melali terakhir, yaitu Pantai Kutikan.
Untuk menuju Pantai Kutikan, kami harus melalui pintu masuk Pantai Tanah Lot. Namun, tidak masuk hingga parkiran. Hanya sekitar 2 menit dari Tanah Lot, kami tiba di Pantai Kutikan. Lokasinya menjadi satu dengan sebuah restoran.

Begitu masuk, terlihat tanda dilarang beraktivitas di atas rumput milik area restoran. Kami pun menuju ke area yang bisa diakses untuk umum. Di sebelah pantai yang kami tuju, terdapat bukit yang ramai oleh muda-mudi.
Sayangnya, cuaca tidak mendukung untuk menyaksikan matahari terbenam. Kami hanya bisa melihat matahari yang sedikit mengintip. Meski begitu, Pantai Kutikan tetap terlihat indah tanpa sunset. Di bawah terdapat aliran sungai yang menuju laut. Kami pun menyusuri bebatuan yang ada di pantai. Perjalanan diakhiri dengan menatap lautan sembari menikmati sisa klepon.
Melali ke Desa merupakan salah satu program yang diinisiasi oleh BaleBengong. Melali merupakan perjalanan melihat, mendengar, dan merasakan kegiatan sehari-hari warga di desa-desa. Tur Melali ke Desa dapat dipesan di sini.
toto slot toto slot cerutu4d cerutu4d cerutu4d slot online situs togel monperatoto