Oleh Wayan “Gendo” Suardana
“Seribu…Seribu..Seribu..” Bila Anda mendengar teriakan seperti itu di tengah konser musik jangan segera menyimpulkan bahwa itu adalah teriakan penjual makanan. Orang yang belum tahu akan berpikir, ”Pedagang apa tuh teriak-teriak di atas panggung?”
Saya sengaja mengawali tulisan ini dengan mencatut ikon “seribu” khas The Hydrant, band penganut rockabilly dari Bali. “Seribu” adalah cara Band ini untuk menyapa dan menanyakan penonton. Kata “seribu” bukan nominal angka tapi plesetan dari kata “setuju”. Selain penampilan mereka yang Rock n’ Roll habis dan permainan panggung yang atraktif, kata “seribu” ini memang sejak awal memikat dan menjerat alam bawah sadar saya bila mengingat Band Rockabilly ini.
Namun sebelum mengulas ketertarikan pada kata “seribu” itu, mari kita mengamati sedikit asiknya band ini.
Ngocol, atraktif dan trenginas. Kata-kata itu sering keluar dari orang-orang yang menonton permainan apik The Hydrant. Lengkap sudah “modal” mereka sebagai sebuah grup band, selain ketiga kata di awal paragraf ini. Full perfomance dengan gaya khas tahun 1950-an (namun tidak jadul) adalah hal yang pasti ditemui dalam setiap penampilan mereka. Gaya mereka tidak terpengaruh ada atau tidak ada bayaran, besar atau kecilnya event.
Fanatik. Itu pula pendapat saya melihat busana mereka. Rockabilly, Bro! Bahkan tak kepalang tanggung mereka pernah membuat puluhan anak-anak SD terpelongok saat mereka tampil di “ruang kelas” pameran siaga bencana. Ketika itu The Hydrant mengisi materi kesiapsiagaan bencana oleh panitia dalam acara Pameran Siaga Bencana. Anak-anak SD melongo ukan karena tampang The Hydrant yang sangar, tetapi karena pada saat mereka memberi materi, lengkap dengan dandanan Rock n’ Roll.
Dalam beberapa kali pengalaman kerjasama dengan Band ini, saya tidak pernah kesulitan untuk menjalin pengertian dengan mereka. Mau main paling awal, main di tengah-tengah ataupun main urutan paling belakang acara, tidak persoalan bagi mereka asal tidak ada tabrakan jadwal. Tetap gress! Terlebih bila Marcelo lagi kumat gilanya, dapat dipastikan tak akan ada penonton yang akan selamat dan bisa duduk santai karena adrenalinnya akan dipaksa bergoyang sembari berteriak: ”seribuuuuu!”.
Tak ayal, seorang Pay (Gitaris BIP Band) dan personel Naif Band pun “diseret” goyangkan kepala meski tidak sampai jingkrak-jingkrak saat menyaksikan penampilan mereka. Dahsyat!
Ingatan saya melayang dalam sebuah pagelaran Music on the Truck, yang bertajuk “untuk Kebhinekaan”. Acara yang digelar Himpunan Mahasiswa Program Ekstensi Fakultas Hukum Unud, saat itu lagi gencar-gencarnya menolak Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Mereka juga tampil di panggung itu.
Trus apa hubungannya lagu mereka dengan RUU APP? Kalau yang ditanyakan materi lagu sepertinya emang tidak ada hubungannya. Tapi bak tongkat mafia hongkong, bila hanya sebatas memandang keindahan tongkatnya kita tidak sadar dengan bahaya pisau yang tersembuyi di dalam tongkat tersebut. Demikian juga dengan The Hydrant. Bila sebatas hanya melihat lirik lagu sebagai parameter korelasi band ini dengan Pagelaran tersebut sebetulnya kita terjebak pada sebuah tampilan saja.
Ada sisi lain yang menarik untuk dihubungkan. Di tegah-tengah suasana panas yang dibangun, tanpa disadari banyak “khotbah” yang disampaikan oleh Marcelo, kadang ditimpali oleh Wish sang gitaris. Lagu per lagu boleh saja jeda, tapi “khotbah” mereka tentang perdamaian, tentang indahnya hidup berdampingan tanpa memandang suku, agama, ras tidak ada jeda sedikit pun.
“Ada yang dari Jawa? Ada yang dari Sumatera?” tanya Marcelo.
Spontan beberapa penonton menjawab, “Ada..”. Bahkan ada yang menyahut keras, “Saya dari Madura, Bli!”.
Dengan tampang kocak super kocak, Marcelo menimpali,” Gak ada dari planet lain ya? Hai, Bro. Dari mana pun kalian, kita tetap sama. Berbeda-beda tapi tetap satu. Seribu? ”Seribu?”
Koor penonton bersambut: “Seribuuuu!” lalu bergemalah lagu-lagu mereka.
“Seribu” dan Hutan Indonesia
Kata “seribu”pun menerbangkan otak saya atas sesuatu. Ya, seribu mengingatkan saya atas kampanye dari organisasi lingkungan di Indonesia Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Mungkin begitu membaca paragraf ini kita akan bingung di mana letak persinggungannya?
Pada 4 Februari 2008, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang memberikan keleluasaan izin bagi 14 perusahaan tambang untuk melakukan pembukaan hutan lindung dan hutan produksi untuk kegiatan tambangnya, infrastruktur dan jalan tol. Pemerintah memberikan izin tersebut dengan tarif sewa seharga Rp 120 untuk hutan produksi dan Rp 300 per meter persegi per tahun untuk hutan lindung.
Dalam skema PP tersebut maka bisa diperkirakan sekitar 11,4 juta hektar hutan lindung Indonesia bakal hancur lebur. Akibat diberlakukannya PP itu Indonesia pasti akan mengalami bencana ekologis lebih dahsyat yang akan menyengsarakan masyarakat kita. Walhi merujuk pada sejumlah bencana yang terjadi di awal tahun 2008 ini di mana semuanya memiliki kaitan langsung dengan pola eksploitasi sumberdaya selama ini.
Pemerintah selalu berlindung di balik ketiadaan biaya untuk menjaga hutan di Indonesia. Pemerintah pun “menumbalkan” sekurang-kurangnya 11,4 juta hektar hutan lindung melalui skema PP 2/2008 untuk menyelamatkan hutan tersisa. Betapa murahnya hutan lindung di Indonesia. Harga per meter perseginya lebih murah dari harga sebuah pisang goreng. Sungguh sebuah kontradiksi. Di satu sisi hutan produksi dan hutan lindung dijual dengan alasan ketiadaan dana untuk menjaga hutan di Indonesia, di sisi lain triliyunan rupiah mengendap ke kantong-kantong koruptor yang kian hari kian ganas.
Keadaan ini menyebabkan Walhoi melakukan kampanye bagi penyelamatan hutan Indonesia dengan mengimbau seluruh lapisan masyarakat untuk mendonasikan minimal Rp 1000 sebagai bentuk perlawanan terhadap peraturan yang mementingkan segelintir pihak. Donasi Rp 1000 sebagai kompensasi terhadap 3,3 meter persegi hutan lindung akan diserahkan kepada Menteri Keuangan. Tujuannya adalah agar pemerintah tidak kekurangan dana untuk melakukan penjagaan hutan dan kemudian menyerahkan kepada perusahaan tambang untuk diobrak-abrik. Sebetulnya kampanye ini menurut penulis adalah untuk menyindir pemerintah yang mengeluarkan kebijakan dengan akibat tragis yaitu, hancurnya hutan produksi dan hutan lindung di Indonesia.
Di sinilah korelasi seribu itu. Ikon “seribu” milik The Hydrant, yang merupakan plesetan dari kata setuju, bertemu dengan donasi Rp 1000 Walhi untuk kompensasi 3,3 meter persegi (Rp 300 permeter persegi) penyelamatan hutan Indonesia.
Semoga setiap teriakan “seribu” The Hydrant mengingatkan setiap orang tentang semangat penyelamatan hutan dan lingkungan hidup di Indonesia sekaligus pernyataan kesetujuan untuk bersama-sama melakukan peranan penting penyelamatan lingkungan di Indonesia. “Seribu” dapat pula berarti Rp 1000 untuk menyelamatkan setiap 3,3 meter persegi hutan yang “dijual” oleh pemerintah negeri ini.
Maka, mari kita jawab teriakan “seribu”nya Marcelo dengan “seribu” untuk selamatkan hutan indonesia walaupun hanya dengan Rp. 1000.
“Seribuuuuuu?” [b]
band-band Bali selalu-selalu begitu…punya sesuatu yang beda dari kebanyakan band-band di daerah lain… terus berjuang!!!!!
mari selamatkan Indonesia dari kehancuran yang dibuat oleh rakyat dan pemerintahnya sendiri…