Teks dan Foto Astarini Ditha, Ilustrasi Made Andi Arsana
Perayaan pergantian tahun telah lewat beberapa bulan lalu. Biasanya kerap dihabiskan dengan semaraknya pesta pora; pentas musik, acara makan-makan, pelesir atau apa saja. Tapi di Bali, menyambut “tahun baru” ala umat hindu dirayakan dengan menyepi.
Nyepi. Hari raya umat hindu ini agak sedikit berbeda dengan hari raya seperti Galungan, Kuningan, dan lain-lain. Merayakan nyepi, dalam hakikatnya yakni berefleksi menghayati perjalanan yang telah lewat. Ada pendapat yang menarik dari Aryantha Soetama dalam bukunya Bali Tikam Bali. Dijelaskannya, Nyepi – hari suci yang mengajarkan manusia untuk menghayati makna tiada agar bisa merasakan segala sesuatu yang pernah ada. Konsep Ning.
Sebelum Nyepi ada rangkaian ritual upacara yang mesti dilalui. Pertama, Melasti ditandai dengan acara ngiring bhatara-bhatari ke laut atau sumber air. Kedua, Mecaru/ Tawur Kesanga ditandai dengan segala jenis persembahan untuk meredakan gejolak kekuatan-kekuatan Bhuta Kala yang menganggu, dilanjutkan dengan Pengrupukan. Ketiga, Nyepi itu sendiri selama 24 jam dan berakhir ketika matahari terbit; Ngembak Geni.
Penyucian bhuana agung; makroskosmos dan bhuana alit; mikroskosmos adalah inti dari uapacara ini. Rangkaian prosesi ini begitu terkenal, bahkan abadi dalam dokumentasi seperti foto dan tulisan. Apalagi tradisi ogoh-ogoh di hari pengrupukan.
Masa Kesembilan dan Saka
Selamat merayakan Hari Raya Nyepi, Tahun Caka 1933. Begitu umumnya tulisan yang tercantum dalam spanduk-spanduk di jalan. Untuk penanggalan menurut angka tahun masehi, ini memang tahun 2011. Berbeda dengan Caka yang lebih lambat 78 tahun.
Tiap nama tentu punya cerita. Saka atau Scythia, dalam satu tulisan milik Nyoman S Pendit adalah nama suku bangsa yang dipimpin oleh Raja Kaniskha I dari dinasti Kushana di daerah India. Saka adalah bangsa yang nomaden dan tidak suka berperang.
Bangsa ini mengembara hingga ke lembah Sungai Shindu. Di sana mereka berbaur dengan penduduk setempat. Di bawah pimpinan Raja Kaniskha I rakyat hidup tenteram, agama Hindu dari berbagai sekte (Siwa, Budha, Wisnu) berkembang dan hidup berdampingan. Dalam mas pemerintahannya ini rakyat hidup penuh kerukunan, toleransi dan kebangkitan moral-moral agama begitu terjaga.
Lalu pada suatu tilem, bulan mati di Sasih Kesanga, kesembilan yang jatuh pertama kali pada bulan Maret tahun 78 Masehi, Raja Kaniskha mengumumkan penggunaan tahun Saka, Saka- Kala sebagai tanggal dan penanggalan resmi kerajaannya. Pengumuman ini disambut begitu luas hingga gaungnya sampai juga ke tanah nusantara. Pandita Aji Saka dari bangsa Saka, konon yang membawanya. Di Nusantara, Indonesia ketika itu Hindu dan Budha sudah memiliki pemeluknya. Hari Raya Tahun Baru Saka kemudian diberi aksentuasi dengan nama Nyepi.
Sasih Kesanga, kesembilan (Maret) juga diartikan memiliki makna tertentu. Ketika masa itu (tiap-tiap masa kurang lebih sejumlah 30 hari) dipercaya Surya sedang ke utara (anguttara yana). Keadaan di Bali konon menurut kepercayaan sedang memasuki alam bersih, hujan angin ribut sudah lalu waktunya, tanaman padi di sawah, palawija di tegalan, pohon buah di kebun tinggal menunggu masak untuk dipetik. Kearifan dibaca dari pertanda alam.
Sepi yang Me-nyepi
Satu hari nyepi itu dihargai sebagai usaha untuk mengistirahatkan jagat dan badan dari yang segala kesibukan. Sebab ada 4 pantangan dikenal Catur Brata yang harus dipatuhi. Tidak boleh menyalakan api/lampu, tidak boleh bepergian, tidak boleh bekerja dan tidak boleh bersenang-senang/hiburan. Dianjurkan seyogyanya untuk melakukan tapa brata.
Karena Nyepi termasuk hari raya, masyarakat hindu di Bali tetap membuat persembahan. Dalam prosesi mecaru/tawur, persembahan yang dibuat dihaturkan kepada para bhuta. Persembahan yang dikenal sebagai bhutayadnya. Mecaru ini disesuaikan sesajennya dengan tingkatannya, semisal di tingkat propinsi. Di Alun-alun kota Denpasar, tawur ini rutin diselenggarakan.
Seperti siang ini (4/3) sehari sebelum Nyepi 1933 upacara penghaturan tawur dilakukan oleh yang dikenal Sarwa Sadhaka, berjumlah 6 orang. Umumnya di Bali dikenal Tri Sadhaka yakni tiga pendeta: pendeta Ciwa, pendeta Budha dan Sang Guru (Sengguhu, Bhujangga). Sembah yang dihaturkan pun sebanyak 10 kali. Seusainya, masyaraka dipersilakan untuk meminta tirta dan ulam, daging caru untuk dibawa pulang demi kepentingan pecaruan di rumah masing-masing
Upacara ini ditujukan kepada Bhuta-bhuti para bhuta kala. Mereka disuguhi sesajen berupa nasi berwarna, segehan, dsb dan disomya dikembalikan ke asalnya agar tidak menganggu. Para bhuta-bhuti juga diwujudkan oleh bentuk ogoh-ogoh yang menyeramkan. Diarak ketika sandyakala, pergantian hari sore menuju malam.
Selain kesibukan upacara dan tradisi ogoh-ogoh, masyarakat pun punya ‘tradisi’nya sendiri menghabiskan tahun baru ini. Dua hari menjelang Nyepi, selain disibukkan oleh kegiatan Melasti, kesibukan juga dapat dicatat dari ramainya transaksi pembelian di pasar tradisional dan toko-toko belanja. Di Pasar Peninjoan, seorang pedagang daging Babi, Ibu Kadek, begitu ia dipanggil, kelimpungan melayani pemberi. “Menjelang hari raya, banyak orang yang mencari daging”, katanya dalam bahasa Bali.
Bgeitu juga Ibu Ayu, pedagang camilan, kue-kue basah dan lauk juga menuturkan hal serupa. Sejak pukul 5 pagi, pasar ini telah ramai. Mereka kebanyakan membeli perlengkapan upakara dan bekal sayur dan daging. Kabar dari jejaring sosial turut mengabarkan, hindari sejumlah pertokoan sebab antriannya poll. Wah.
Bukan hal yang biasa juga bila tradisi dan hari raya umat Hindu di Bali menghadapi yang namanya komersialisasi. Dijadikan semacam komoditas yang ditawarkan untuk kepentingan pelayanan pariwisata pulau ini. Hotel-hotel punya triknya sendiri menggaet konsumen. Nyepi lalu dikemas sebagai salah satu penawaran istimewa.
Fave Hotel semisal, menawarkan harga sewa kamar per malamnya sebesar hotel Rp 418.000 per termasuk sarapan pagi. Ada juga yang tidak seperti The Oberoi Hotel Seminyak. Kadek Widyastiti salah satu staff reservasinya menyebutkan Nyepi tidak mempengaruhi tingkat hunian mereka. “Nyepi tidak memberi efek ke tingkat hunian, karena market-nya berbeda”, jelasnya.
Nyepi juga bagi seorang teman saya berarti pulang kampung. Ketut Kendri namanya, mahasiswi program ekstensi Pertanian Sosial Ekonomi ini mengatakan tidak berani nyepi di kota karena benar-benar tidak boleh keluar. “Gapapa, yang penting tidak sampai keluar desa”, cerritanya lewat sms. Di tempat asalnya di Belantih Kintamani, hampir semua masyarakat di sana tetap bekerja mengangon sapi, jadi tetap harus ke kebun. “Gak mungkin sapinya ikut puasa khan”, tanyanya membuat saya tersenyum geli.
Ceritanya lagi, karena di daerah itu kerap dingin di atas pukul 18.00 maka api sudah mulai dinyalakan. Keluarganya pun juga membuat aneka panganan. “Ibu saya yang masak, kadang lauknya ayam dan sayur ares. Kuenya kadang sumping dan laklak”, jelasnya.
Tahun baru kadang disertai harapan-harapan baru. Ada semacam refleksi atas perjalanan yang telah lewat. Nyepi yang ning, kekuatan yang diam. Nyepi itu dimaknai masing-masing individu. Salah satu yang saya suka dari Nyepi bintang-bintang begitu tampak lebih cemerlang tanpa dihalangai cahaya-cahaya dari sekitar. [b]
Ilustrasi dari blog Made Andi.