Oleh Anwar Holid
TAKHTA jelas merupakan hal rumit, ia rawan menyebabkan perebutan kekuasaan dan dendam. Pembagiannya sering menimbulkan masalah, bahkan ketika dengan hati-hati hendak dijinakkan dengan berbagai cara, baik lewat perkawinan, pemberian wilayah, penetapan silsilah—yang membuat seseorang merasa berhak duduk di singgasana atau harus mempertahankan hingga mati. Di banyak kasus takhta mesti direbut dengan siasat, tekad, dan cita-cita yang semangatnya perlu diwariskan bergenerasi- generasi, dimitoskan, sampai prasasti pengakuan ditulis bahwa ia memang pernah memegang tampuknya. Takhta melibatkan banyak hal, kerap menimbulkan pergesekan, prasangka, dan bila gagal dielakkan, mengalirkan banjir darah.
Janda dari Jirah karya Cok Sawitri (GPU, 2007) menyuratkan betapa raja muda Airlangga yang membangun Kadiri dari reruntuhan Medang, diceritakan bijak bestari ternyata terus-menerus galau atas takhtanya, meski telah bekerja keras mengeluarkan seluruh kemampuan untuk memakmurkan daerah kekuasaan. Airlangga tetap merasa terancam oleh Wura Wuri meski dia terhitung masih kerabat, sementara simbol-simbol legitimasi resmi kedaulatan bahwa dirinya pewaris sah Medang gagal ditemukan. Wilayah Wura Wuri berada di balik Jirah, sebuah wilayah kabikuan Buddha terdiri dari beberapa desa subur, dipimpin seorang pendeta utama perempuan, dikenal sebagai Rangda ing Jirah, ibu seorang putri bernama Ratna Manggali.
Posisi kabikuan Jirah berikut reputasi sang Rangda agak misterius namun sulit ditembus kekuasaan formal kerajaan. Wilayah ini mirip “tanah haram” yang harus suci dari pertempuran, bersih dari pertumpahan darah, bebas dari kepentingan kerajaan. Siapapun yang datang ke sana untuk minta perlindungan harus dijamin keselamatannya. Kabikuan merupakan wilayah suci, tempat orang menuntut ilmu, mengolah jiwa. Saking tinggi pencapaian Rangda ing Jirah, murid utamanya bukan saja manusia, ia juga menguasai binatang dan tumbuhan yang siap melindungi dan memenuhi permintaannya. Tanpa sepengetahuan Airlangga ternyata Samarawijaya menuntut ilmu di kabikuan dan lebih dari itu, seluruh simbol legitimasi kerjaan Medang ternyata dia pegang. Sesuai silsilah, dialah pewaris bekas kerajaan Medang, sementara Airlangga hanya seorang raja menantu; keluarganya berasal dari wangsa terkemuka di Bali. Memang agak aneh betapa Airlangga yang diceritakan tegas, pemberani, cendekia, toleran, masih butuh hal-hal artifisial, seolah-olah seluruh pencapaian dan kerja kerasnya masih kurang. Mengetahui itu semua Airlangga merasa langsung tahu takdir yang harus terjadi untuk kerajaannya.
Airlangga banyak diceritakan dari sudut pandang Narotama, penasihatnya yang lembut, setia, namun kerap disepelekan para panglima pasukan. Penulis memberi porsi amat besar tentang Airlangga, yang menyatukan dalam dirinya ide negara dan pribadi. Dia menceritakan betapa bila Airlangga menyerbu kerajaan lain, pasti berpola bumi hangus, dihabisi sampai ke anak-anak raja yang ditaklukkan. Dia tega tapi punya alasan kuat, yakni agar dendam tak mengalir ke keturunan selanjutnya. Masuk akal. Kerajaan taklukkan itu kemudian diurus oleh kerabat yang loyal atau putri-putrinya dia nikahi. Solusi yang bagus. Airlangga tak khawatir dengan separatisme. Begitu terlihat ada gelagat pemberontakan, langsung dia gerus sampai hancur, tanpa sisa akar—kecuali bila kecolongan. Separatisme tampak lebih bermotif kekuasaan dan keinginan makmur bagi suatu klan tertentu.
Sang janda sendiri menjadi latar belakang yang menyelimuti novel. Dia berkarakter, sampai membuat semua pihak enggan. Hidupnya lurus dalam jalan bakti pada Buddha, meski akhirnya harus berhadap-hadapan dengan kekuasaan yang menganggapnya memelihara duri kerajaan. Cok menggambarkan sang janda mantap sebagai pendeta. Meski sosok utuh dirinya sulit dijelaskan karena bercampur-campur dengan mitos dan legenda, Cok sukses mengubur kesan sang janda sebagai tukang tenung atau perempuan tua sakit hati.
COK SAWITRI memanfaatkan betul keahliannya menulis puisi, maka dia menatah kata dengan hati-hati untuk menghasilkan novela ini, sedikit menjelajahi gaya penulisan realisme magis, mengembangkan hal-hal mistikal mitologi Bali. Untuk memunculkan nuansa kuno, dia banyak mengambil kosakata langka, misalnya sisia, poruhita, telik sandi (sejenis informan). Sayang kata-kata sulit itu dibiarkan dikira-kira pembaca tanpa glosarium.
Mirna Yulistianti, editor GPU, memberi tahu, “Cok menulis seperti orang sedang ekstase” dan selesailah draft novel ini dalam waktu singkat. Memang Cok menulis mirip ibu yang mendongeng pada anak, hingga terasa novel ini kentara sekali menonjolkan sisi “mengisahkan” (tell) daripada “memperlihatkan” (show), tapi dia tampak hati-hati menafsir sejarah dan membaca rujukan. Berdasar tulisannya, Cok hendak engembalikan ingatan publik bahwa hakikatnya sang janda ialah ibu kebajikan. Dengan cara seperti itu dia berusaha menempatkan dengan tegas tempat perempuan yang sudah sering disalahpahami itu dalam sejarah Jawa-Bali. Upaya cukup ambisius; dan mari kita tunggu apa di kemudian hari novela ini benar-benar berhasil memulihkan citra klise tentang seorang perempuan yang dalam banyak lakon dan cerita dihitamkan.[b]
Keterangan buku
Judul: JANDA DARI JIRAH (Novel)
Penulis: Cok Sawitri
Penerbit: GPU, Juni 2007
Tebal: 192 hlm.
Format: 13.5 x 20 cm
ISBN 979-22-2875- 6
Harga: Rp 35.000
CATATAN: Resensi ini awalnya dimuat di Matabaca edisi Oktober 2007.
coksawitri emang gud marsogud..
iya, saya udah baca, keren, uda lam ga ada yang nulis prosa liris………..