• Beranda
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Bagi Beritamu!
  • Tentang Kami
Monday, June 23, 2025
  • Login
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong
No Result
View All Result
Home Berita Utama

Sekeha Seni di Tulamben antara Ada dan Tiada

Redaksi BaleBengong by Redaksi BaleBengong
4 September 2015
in Berita Utama, Kabar Baru
0 0
0
rindik
Ilustrasi kesenian tradisional Bali.

Kenapa tidak banyak hotel di Tulamben menggunakan sekehaa seni?

Ketika liputan untuk pelatihan jurnalisme warga Agustus lalu, saya mewawancarai salah satu tokoh seni di Tulamben. Namanya I Gede Kompiang. Kebetulan dia bapak saya sendiri.

Ia memakai baju berwarna merah bergaris-garis hitam dipadu dengan celana jeans panjang. Saya menanyakan seputar kehidupan dan aktivitas seni di Tulamben. Dengan suasana santai dan embusan angin pelan, kami duduk ngobrol. Saya mulai bertanya seputar sekaha-sekaha yang bisa dibilang masih aktif di Desa Tulamben.

Dari pertanyaan saya seputar sekaha tersebut saya mendapat data yang bisa dibilang tidak terlalu menggembirakan. Sekaha-sekaha seni di Desa Tulamben bisa dihitung dengan jari.

Dari sekian desa pekraman di Desa Tulamben, hanya ada enam sekaha gong yang aktif yaitu Sekaha Gong dari Muntig, Batudawa, Tulamben, Beluhu Kaja, Beluhu Kangin dan Sekaha Angklung. Selain enam sekaha tersebut sebenarnya desa pekraman lain juga memiliki seperangkat gong namun tidak ada orang-orang yang memainkannya.

Dari enam sekaha tersebut, semuanya juga tidak bisa dibilang sering tampil. Sebab, pada dasarnya tujuan mereka mengikuti atau mendirikan sekaha seni tersebut adalah untuk tampil di Pura-Pura pada saat upacara keagamaan saja. Istilahnya ngayah. Upacara keagamaan hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu.

“Jadi, jika tidak ada upacara, maka tidak akan ada sekaha gong yang tampil,” jelasnya.

“Kenapa jarang ditampilkan di Tulamben? Bukannya daerah ini merupakan daerah pariwisata? Pasti banyak turis mengunjungi Tulamben dan ingin melihat seni-seni di Tulamben?” tanya saya heran.

Namun, pertanyaan tersebut tidak langsung dijawab oleh bapak saya.

Kemudian dia mengajak saya berjalan-jalan santai ke pantai untuk menikmati suasana. Pada saat berjalan santai kami bertemu seorang seniman Tulamben lainnya, I Nyoman Bogoh. Kebetulan beliau tinggal dekat dengan objek wisata Tulamben.

“Bagaimana aktivitas seni di Desa Tulamben ini terutama aktivitas sekaha dalam pentas seni di hotel-hotel sini?” saya memulai pertanyaan.

“Aktivitas seni di sini sudah sangat jarang. Bisa dibilang tidak aktif lagi karena beberapa alasan. Salah satunya karena sulitnya mencari pelatih seni dan tidak antusiasnya masyarakat untuk berlatih seni,” ujarnya.

“Apakah hotel-hotel di sini sering menyewa sekaha-sekaha untuk tampil di hotel?” tanya saya kembali.

“Hotel di sini jarang menyewa sekaha gong untuk tampil di hotel. Mereka cenderung memilih untuk menyewa seni tari dengan tidak diiringi sekaha gong melainkan menggunakan kaset,” ujar bapak dua anak ini.

Karena masih ada kegiatan lain, Nyoman Bogoh hanya dapat memberikan informasi sebatas itu.

Saya melanjutkan mencari info seputar seni lagi dengan pergi ke sebuah hotel. Tepatnya hotel bernama Touch Terminal. Saya bertemu salah satu staf hotel bernama I Gede Rana. Saya bertanya seputar progaram-progam atau jadwal yang berhubungan dengan petas seni di hotel tersebut.

“Hotel sudah memiliki program pentas seni namun tidak tetap tergantung dari pesanan atau permintaan tamu saja,” jawabnya.

Dia melanjutkan, dalam pementasan seni hotelnya lebih memilih seni tari tanpa sekaha gong. Alasannya biaya menyewa sekaha gong lebih besar daripada sekaha tari. “Selain itu, tamu hotel juga lebih tertarik dengan seni tari atau seni yang bisa mereka lihat dari pada seni tabuh yang mereka dengar,”ungkapnya.

Dari sana saya mengerti bahwa jarang tampilnya sekaha-sekaha seni yang ada di Tulamben karena beberapa faktor. Antara lain masyarakat yang tidak terlalu antusias dalam berkesenian mungkin karena pihak hotel selaku penyewa tidak terlalu tertarik. Di samping karena biayanya cukup menguras kantong, juga karena kurangnya permintaan dari tamu-tamu hotel.

Di sini kita tidak bisa salahkan siapa-siapa karena semua ini saling terkait satu sama lain. Mereka memiliki kepentingan sendiri-sendiri.

Sebagai solusi, menurut saya, sebaiknya pihak hotel memiliki progam yang tidak hanya mementaskan seni tari namun juga seni tabuh dan seni-seni lainnya. Dari pihak sekaha seninya juga jangan terlalu mematok tarif tinggi. Karena walaupun honor tidak terlalu tinggi namun jika itu membuat aktivitas seni komersial bisa hidup, kenapa tidak?

Dengan tarif yang tidak tinggi, maka pihak hotel tidak terbebani. Maka hotel pun akan sering menyewa sekaha seni tersebut. Sekaha seni juga akan memperoleh manfaatnya juga walaupun tidak seketika.

Kita tidak boleh memikirkan untuk hari ini saja karena semua ini adalah proyek jangka panjang. Tidak kita saja yang menikmatinya juga anak dan cucu kita. [I Gede Sagus SPN]

Tags: BudayaKarangasemPariwisataSosial
Liputan Mendalam BaleBengong.ID
Redaksi BaleBengong

Redaksi BaleBengong

Menerima semua informasi tentang Bali. Teks, foto, video, atau apa saja yang bisa dibagi kepada warga. Untuk berkirim informasi silakan email ke kabar@balebengong.id

Related Posts

Budaya Ngayah Makin Langah

Budaya Ngayah Makin Langah

13 June 2025
The Waves Upon a Trance

The Waves Upon a Trance

7 June 2025

Bali Hampir Habis, Semenjana dan Tergantikan

4 January 2025
Kegigihan Hampir 40 Tahun dalam Mempertahankan Kerajinan Lontar 

Kegigihan Hampir 40 Tahun dalam Mempertahankan Kerajinan Lontar 

14 November 2024
Lebih dari Sekadar Wastra, Ragam Ekspresi di Roman Muka

Lebih dari Sekadar Wastra, Ragam Ekspresi di Roman Muka

22 July 2024
Napak Tilas Konflik Tanah Desa Adat Bugbug

Napak Tilas Konflik Tanah Desa Adat Bugbug

23 October 2023
Next Post
Memilih antara Kesenangan dan Ketulusan

Memilih antara Kesenangan dan Ketulusan

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

Kelas Literasi BaleBengong
Melali Melali Melali
Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu?

Kabar Terbaru

Aksi Bali Mengkritisi Kebijakan Bias Gender dan Tolak RUU TNI

Gerakan Kesadaran Neurodiversitas untuk Keberagaman dan Melawan Stigma

21 June 2025
Inilah Tema Terbanyak di BaleBengong 2024: Alih Fungsi Lahan, Sampah, dan Pilkada

Kampanye Krisis Sampah dengan LUKIS: “Let Us Keep It Sustainable” Festival 2025

20 June 2025
Reuni Pecinta Sepeda Tua Sedunia

Bisakah Denpasar Menjadi Kota Ramah Sepeda?

19 June 2025
Dialog Dini Hari Merayakan Rangkaian Penutupan Tur “Suara yang Bertumbuh” di Bali

Dialog Dini Hari Merayakan Rangkaian Penutupan Tur “Suara yang Bertumbuh” di Bali

18 June 2025
BaleBengong

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia

Informasi Tambahan

  • Iklan
  • Peringatan
  • Kontributor
  • Bagi Beritamu!
  • Tanya Jawab
  • Panduan Logo

Temukan Kami

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia