Yey! akhirnya Nusa Penida!
Malam itu tiba-tiba menerima notif email yang isinya “selamat kamu dapat kursi di menit terakhir untuk melali ke Nusa Penida besok”. Tak pernah terbayang pergi ke Nusa Penida secepat itu.
Tanpa persiapan sama sekali. Jadilah esok paginya saya berkumpul di Sanur dengan teman-teman dari komunitas media kreatif lain. Kami pergi ke Nusa Penida menggunakan fast boat.
“Saya salah kostum!” saya yang menggunakan jumper tebal dan celana jeans hitam menggerutu kesal karena ketika fast boat kami bersandar. Ternyata Pulau Nusa Penida itu sangat terik dan kering.
Namun, ketika menoleh ke arah hamparan laut biru yang tenang itu saya langsung berfikir, “Oke, ini bakal menjadi liburan singkat yang sangat menarik. Mari lupakan segala kepenatan di ibu kota”.
Kedatangan saya hari itu bertepatan dengan digelarnya Nusa Penida Festival yang pertama kali diadakan di Nusa Penida. Saya langsung diarahkan menuju mobil untuk diantar ke destinasi pertama kami yaitu Pura Goa Giri Putri.
Jalanan berliku penuh goncangan dengan pemandangan pantai nan indah dan aroma rumput laut menemani perjalanan saya menuju Pura Goa Giri putri. Pura ini sangat unik karena pintu masuknya berupa goa sangat sempit. Hanya bisa dimasuki satu orang. Namun, setelah melewati mulut Goa sekitar tiga meter mata saya langsung takjub karena menemukan rongga goa sangat besar dan luas.
Beranjak dari Pura Goa Giri Putri, saya dan teman-teman yang lain diantar menuju desa Tangled. Desa ini terkenal akan kain tenun khasnya yaitu kain rangrang dan kain cepuk. Di sana saya menemukan wanita paruh baya ibu Made Mbung yang sedang asyik menenun kain. Nantinya, kain itu akan dijadikan kain rangrang yang indah.
Siapa sangka kain rangrang dapat mencapai harga Rp 2 juta per lembar kainnya dikarenakan proses penenunannya yang rumit dan penggunaan bahan alami dalam pewarnaannya.
Waktu sudah menunjukkan jam makan siang. Rombongan kami pun kembali ke Sampalan. Sesampainya di Sampalan ternyata warga Nusa Penida sudah ramai berkumpul untuk menyaksikan pesta pembukaan Nusa Penida Festival.
Pembukaan ini diisi dengan pawai kebudayaan dari 16 desa di Nusa Penida. Panas terik dan debu tidak mengurangi semangat warga Nusa Penida dalam menyambut perhelatan promosi wisata Pulau Nusa Penida yang dicanangkan akan diadakan setiap tahunnya. Acara pun berlanjut hingga malam hari dan semakin meriah karena adanya penampilan dari Joni Agung dengan musik khas reggae-nya.
Esoknya paginya saya dan teman-teman lain berencana mencicipi kuliner khas Nusa Penida. Saya mendapati sarapan pagi saya yang belum pernah saya makan sebelumnya yaitu “Tipat Sate”. Sate lilit ikan yang segar serta pepes pedas membuat mulut saya ingin mengunyah terus. Belum pernah saya mendapati sarapan enak seperti ini selain sarapan dari masakan ibu saya tentunya.
Harganya pun murah meriah satu piring tipat sate hanya Rp 16.000 dengan 6 tusuk sate lilit dan 2 bungkus pepes ikan.
Nusa Penida adalah pulau yang masih asli belum terjamah pihak investor. Belum ada mini market berwarna merah atau hijau, belum ada hotel-hotel mewah di bibir pantainya, dan masyarakatnya menurut saya adalah masyarakat yang tangguh. Pulau kering dengan curah hujan yang sangat rendah tentu mendorong masyarakatnya bekerja keras dalam memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk dijadikan lahan ekonomi.
Berbagai macam olahan rumput laut mulai dari krupuk, dodol, hingga pepesan mereka jajakan untuk dijadikan makanan khas oleh-oleh Nusa Penida. Pulau yang menurut saya memiliki sejuta pesona ini harus menjadi destinasi wajib liburan bagi yang sudah penat dengan kemacetan, kebisingan, asap kendaraan, hotel tinggi di mana-mana.
Harapan sejuta harapan saya bawa sepulang dari Nusa Penida.
Semoga kembalinya saya nanti, Pulau Nusa Penida masih dan tetap mempertahankan kemurnian dari keindahan alamnya tanpa dirusak oleh investor-investor rakus yang mulai menggerogoti Pulau Bali demi meraup rupiah sebanyak-banyaknya. [b]