Oleh: Andi Anjastana

Foto-foto: Dewa
Senyum dan canda tawa tim Balebengong dan warga ketika membuat lengis Bali atau lengis tanusan atau minyak kelapa. Setiap orang mencoba untuk ngengisin nyuh yaitu membuka serabut kelapa dengan menggunakan linggis. Kemudian tim diajak untuk ikut terlibat langsung dalam pembuatan lengis bali. Bagaimana keseruan pembuatannya? Yuk baca artikel ini sampai akhir.
Tim berjumlah lima orang ini melakukan kegiatan melali ke desa yaitu berkunjung ke salah satu desa yang ada di Bali. Pada minggu, 23 Juli 2023, tim BaleBengong berkunjung ke Desa Tigawasa yang merupakan salah satu desa tua atau desa Baliaga di Bali utara. Ketika sampai di Desa Tigawasa, mereka diajak untuk ngopi bareng di Kejapa Kopi. Salah satu tempat ngopi khas Tigawasa. Biasanya kopi akan ditemani dengan gula aren asli Tigawasa sambil menikmati hawa sejuk pagi hari di desa.
Setelah dari Kejapa Kopi, tim BaleBengong melanjutkan perjalanan ke Pura Baung. Pura baung ini adalah salah satu pura dalam bentuk hutan yang ada di desa Tigawasa. Ada 9 pura dalam bentuk hutan. Setiap pura dalam bentuk hutan ini memiliki sumber mata air yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat di sekitar.
Oleh karena itu, pura ini sangat disucikan oleh warga. Tidak sembarang orang boleh masuk ke areal pura, karena masyarakat percaya bahwa akan terjadi mala petaka ketika orang dengan sembarangan masuk ke areal pura ini. Konsekuensi paling berat yang bisa terjadi yaitu kematian. Bagi wanita yang cuntaka juga tidak diperbolehkan untuk masuk ke areal sekitar pura.
Namun ada cara untuk meminta maaf ketika orang sudah terlanjur membuat kesalahan di areal pura. Biasanya ketika ada upacara saba desa di Pura Baung, maka keluarga yang bersangkutan bisa membuat sebuah tebusan untuk dihaturkan.
Hal itu sudah pernah dilakukan saat ada salah satu warga dengan tidak sengaja melakukan kesalahan saat mencari air di areal pura. Dengan adanya keyakinan seperti itu, warga di sana tidak berani untuk masuk ke dalam areal pura. Ini juga menjadi salah satu cara para leluhur untuk menjaga konservasi hutan.
“Di dalam pura ada kayu jelema yaitu pohon yang getahnya persis sama seperti darah manusia. Dan pohon itu sering digunakan sebagai obat. Banyak juga orang dari luar desa mencari kerikan kayu yang digunakan sebagai obat,” tutur I Kadek Ari Cahyadi saat memandu tim BaleBengong di Pura Baung.
Setelah melihat sumber mata air Pura Baung, tim BaleBengong juga diajak untuk melihat salah satu rumah warga Desa Tigawasa yang masih tradisional. Tembok yang dipakai berasal dari tanah. Di dalam rumah ada yang namanya ancat yang terbuat dari bambu. Biasanya, ancat ini menjadi tempat untuk meletakkan sarana persembahyangan di hari tertentu.
Selain itu, tim BaleBengong diajak untuk melihat secara langsung cara membuat lengis bali atau lengis tanusan atau minyak kelapa. Tim terlibat secara langsung dari awal pembuatan sampai akhir. Pertama ada proses ngengisin nyuh,yaitu proses untuk membuka serabut kelapa menggunakan linggis.
Beberapa orang dari tim mencoba untuk ngengisin. Setelah dicoba, ternyata tidak semudah apa yang dilihat ketika Ni Ketut Suarini selaku pembuat lengis bali melakukan hal yang sama. Dibutuhkan tenaga yang lebih untuk bisa memisahkan serabut kelapa dengan isinya.
Setelah itu dilanjutkan dengan proses nyeluh nyuh yaitu memisahkan tempurung kelapa dengan isinya. Untuk memisahkannya, digunakan sebuah alat yaitu penyeluhan. Setelah isinya sudah terpisah, kemudian dilanjutkan dengan proses ngikih nyuh atau proses memarut kelapa. Setelah diparut, hasilnya akan dikukus selama sekitar lima sampai sepuluh menit.
Setelah itu, hasil kukusan itu ditambahkan sedikit air, kemudian parutan itu akan diperas. Untuk memeras, bisa menggunakan tangan atau karung. Biasanya jika ingin memeras, Ni Ketut Suarini lebih memilih untuk menggunakan karung agar hasil perahannya bisa didapatkan lebih banyak. Setelah diperas, airnya akan dikukus lagi dan setelah itu minyak kelapa akan memisahkan diri dengan kandungan air yang ada. Bisanya minyak akan muncul naik ke permukaan dengan sendirinya. Setelah itu, minyaknya akan diambil dipisahkan dengan air di bawahnya. Minyak kelapa ini bisa digunakan untuk memasak ataupun sebagai minyak rambut. Aroma yang dikeluarkan dari minyak ini sangat wangi.

Ketika hari sudah semakin siang, sudah saatnya untuk mengisi kembali perut yang sudah mulai lapar. Agenda dilanjutkan dengan makan siang bersama kuliner khas Tigawasa yaitu nasi moran. Nasi moran adalah nasi yang dicampur dengan singkong yang sudah dicincang.
Dulu, para tetua di Desa Tigawasa sering membuat nasi moran untuk dimakan sehari-hari. Biasanya, nasi moran ini akan ditemani dengan sayur-sayuran seperti daun singong, urap daun racun, daun labu, dan sayur-sayuran yang biasanya dipetik langsung dari kebun. Kalau sekarang nasi moran ini biasanya dibuat saat kumpul-kumpul bersama keluarga, ada upacara, atau saat gotong royong.
Setelah perut terisi, beranjak melihat dan terlibat langsung proses menganyam. Kegiatan ini dipandu oleh pak Klaceng, pengrajin yang sudah bergelut di bidang anyaman sejak kecil. Ia juga pernah mengikuti lomba-lomba menganyam yang ada di Bali. Kemudian berhasil menjadi yang terbaik di tingkat provinsi saat mewakili Kabupaten Buleleng dalam ajang Pesta Kesenian Bali, bersaing dengan penganyam lainnya yang ada di Bali.

Kegiatan di sini dimulai dengan ngalih buluh yaitu mencari bambu yang dipakai untuk membuat anyaman. Bambu yang digunakan biasanya bambu yang masih muda. Cara untuk mengetahui usia dari bambu itu sendiri yaitu dengan mengetuknya. Kemudian dari suaranya kita bisa mengetahui usia dari bambu tersebut. Jika suaranya agak padat, berarti bambu itu masih muda. Tetapi jika suaranya agak nyaring, berarti bambu itu sudah tua.
Selain suaranya, kita juga bisa melihat warnanya. Jika warnanya agak kekuningan, berarti bambu itu sudah agak tua. Jika warnanya hijau, berarti bambunya masih muda. Biasanya, ketika kita ingin membuat anyaman sokasi, kita akan memilih bambu yang masih muda. Sedangkan ketika membuat anyaman sedang atau bedeg, usia bambu yang digunakan lebih fleksibel.
Setelah memilih jenis bambu yang tepat untuk dipakai untuk membuat anyaman sokasi, bambu dipotong berdasarkan ruasnya. Kemudian dilanjutkan dengan proses ngerik buluh yaitu mengikis kulit bambu yang kasar agar tidak melukai tangan ketika menganyam. Setelah itu dilanjutkan dengan nyibak buluh yaitu membagi buluh menjadi dua. Kemudian, ngesit buluh yaitu membagi bambu menjadi bagian yang lebih kecil lagi.
Setelah itu, dilanjutkan dengan proses malpal yaitu memisahkan kulit bambu dengan isinya. Kalau kulitnya memiliki tekstur yang lebih kuat sehingga bisa langsung dianyam. Sedangkan bagian dalam memiliki tekstur yang lebih halus, sehingga jika dipakai untuk menganyam harus dikeringkan terlebih dahulu. Lalu kami menganyam bersama dan menghasilkan sebuah karya anyaman. Semua yang ikut Melali ke Tigawasa mendapatkan sebuah sovenir anyaman bambu.
Setelah kegiatan menganyam, bergegas ke rumah adat Desa Tigawasa. Rumah adat ini temboknya terbuat dari tanah liat dan memiliki saka roras atau tiang penyangga rumah yang jumlahnya dua belas. Rumah ini biasanya akan ditempati oleh ketua panti atau orang yang paling tua di dalam dadia. Setelah melihat rumah adat, waktunya pulang karena hari sudah mulai beranjak malam.
Satu hari yang sangat singkat untuk melali ke Desa Tigawasa yang merupakan salah satu desa tua yang ada di Bali. Kebudayaan, adat, dan tradisi di desa ini masih sangat kental. Perjalanan bisa diikuti di melali.id
























