Kalimat “Sapi adalah hewan yang disucikan oleh umat Hindu” adalah kalimat yang paling banyak muncul ketika kita melakukan pencarian di mesin pencari tentang mengapa Sapi tidak boleh dikonsumsi oleh umat Hindu? Jawaban lainnya yang mungkin akan kerap kita temui adalah “Sapi adalah kendaraan Dewa Siwa”. Akan tetapi, proses penyucian terhadap sapi itu sendiri dilakukan oleh manusia dan siapa pula yang menggambarkan Dewa Siwa dengan sapi sebagai kendaraannya jika bukan manusia?
Ritual menyucikan sapi ini kerap disandingkan bahkan disamakan juga dengan Hindu di Bali padahal memiliki tradisi dan ritus berbeda. Untuk menjawab itu, mari telusuri kenapa sapi disucikan di India.
Buku Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir karya Marvin Harris cukup memberikan perspektif yang berbeda terhadap keadaan ini. Di India, tempat Agama Hindu hadir pertama kali, sapi, terutama sapi betina menjadi sangat sakral dan sangat suci, lambang daripada kehidupan, sama seperti Bunda Maria di Kristen, sehingga membunuh atau menyembelihnya adalah hal yang tabu untuk dilakukan. Bahkan, badan-badan pemerintah menyiapkan ‘rumah jompo’ bagi para sapi dan para pemilik sapi-sapi tersebut bisa menaruh sapi tua mereka di sana dengan gratis atau di Madras, sebuah kota di India, polisi turut mengumpulkan ternak-ternak yang nyasar atau jatuh sakit dan merawat mereka hingga pulih kembali. Begitu besarnya kecintaan masyarakat India terhadap sapi.
Para peneliti dari barat, seperti penelitian yang didanai oleh Ford Foundation pada tahun 1959 menyimpulkan bahwa mungkin setengah dari ternak di India adalah surplus dalam kaitannya dengan pangan. Bahkan, penelitian lain dari University of Pennsylvania pada tahun 1971 mengatakan bahwa 30 juta sapi di India tidak produktif. Para peneliti barat heran tentang kecintaan masyarakat India terhadap sapi yang tidak masuk akal bahkan semacam bentuk bunuh diri oleh masyarakat karena masyarakat tidak mau menyembelih sapi mereka bahkan pada keadaan terdesak. Nyatanya hal ini bukanlah sekadar bentuk kecintaan mereka terhadap sapi.
Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa laporan dari pemerintah India mengatakan bahwa ada terlalu banyak sapi betina ketimbang sapi atau kerbau jantan. Pasalnya, sapi atau kerbau jantan adalah sumber daya utama penarik bajak di persawahan, sama seperti traktor atau mesin-mesin lainnya di barat. Biasanya, untuk setiap 4 hektare lahan pertanian, dibutuhkan sepasang sapi atau kerbau jantan. Sementara itu, India memiliki 60 juta lahan pertanian dan hanya memiliki 80 juta ekor sapi atau kerbau jantan. Setidaknya, di India, 20 hektare lahan pertanian tidak dapat digarap oleh sapi atau kerbau jantan karena mereka tidak memilikinya.
Jika petani di barat tidak dapat menggarap lahan pertanian mereka karena mesin-mesin mereka telah rusak, mereka akan datang ke pabrik untuk memesan sebuah produksi untuk satu traktor baru. Akan tetapi, jika petani India kekurangan sapi jantan, tidak ada pabrik yang dapat memproduksi sapi-sapi jantan baru dengan mudah. Itu adalah sebuah alasan yang logis untuk mempertahankan sapi-sapi betina yang bahkan hanya memproduksi 226 liter susu per tahunnya.
Harapan-harapan para petani terhadap para sapi ini berlangsung sangat lama. Pilihan yang dihadapi oleh para petani juga sangat sulit. Selama kekeringan, sang petani nyatanya sangat tergoda untuk menyembelih sapi mereka atau menjualnya ke tukang jagal. Akan tetapi, dengan menjual sapi mereka ke tukang jagal berarti memastikan kiamat pada diri mereka. Para petani mungkin dapat bertahan dalam jangka pendek ketika mereka menyembelih sapi mereka atau menjualnya ke tukang jagal. Akan tetapi, ketika hujan tiba, ia tidak memiliki apa-apa lagi untuk membantunya membajak sawah dan akhirnya para petani tersebut akan jatuh pada merugikan diri mereka sendiri.
Menjadi masuk akal bahwa ketidaksenonohan terhadap pemotongan sapi di India memiliki akarnya pada kontradiksi antara kebutuhan mendesak jangka pendek dan kemampuan bertahan hidup jangka panjang. Kecintaan akan sapi yang mewujud pada simbol-simbol keramat atas sapi sebenarnya membantu petani menghindari kalkulasi yang masuk akal bagi kondisi jangka pendek mereka. Petani sebenarnya sadar bahwa mereka lebih baik memakan sapi mereka daripada kelaparan, namun mereka akan benar-benar kelaparan jika mengonsumsi sapi mereka.
Pada akhirnya, sapi sebagai hewan yang suci adalah penyimbolan yang dilakukan oleh manusia atas keadaan-keadaan aktual ekonomi yang sedang mereka hadapi. Terlepas dari benar atau tidaknya sapi adalah binatang yang suci, setiap praktik-praktik kebudayaan perlu untuk ditelusuri lebih jauh tentang mengapa hal tersebut bisa terjadi atau mengapa terjadi simbolisasi terhadap suatu hal.