Kekerasan domestik yang melibatkan nasib kaum ibu di Bali juga memprihatinkan.
Desember selalu menjadi bulan penuh semangat perubahan di segala bidang. Bulan penuh mendung dan guyuran hujan ini seperti menjadi milik para aktivis. Mereka tetap bergairah melalui berbagai kegiatan, seperti Peringatan Hari [peduli] HIV/AIDS pada 1 Desember, Hari Hak Asasi Manusia (HAM) pada 10 Desember, dan hari Ibu (22 Desember).
Isu kesehatan dan sejumlah wacana pelanggaran HAM merupakan isu hangat yang memang sering secara setengah hati ditanggapi pemerintah. Isu ini termasuk peristiwa bakar diri Sondang (tidak bisa dilukiskan perasaan ibundanya) dan pembunuhan keji di Mesuji. Dalam proses penegakan hukum di Indonesia, keadilan dirasakan semakin jauh dari jangkauan rakyat miskin. Keadilan sepertinya menjadi milik pengusaha dan penguasa.
Pada peringatan hari Ibu pada 22 Desember 2011 ini, isu terkait nasib perempuan dan kaum ibu secara khusus, menjadi penting untuk tetap diwacanakan. Lima puluh persen penduduk dunia berjenis kelamin perempuan. Mereka adalah kelompok rentan. Sebagian besar masih hidup dalam kemiskinan dan menjadi korban pelecehan dan kekerasan.
Sejumlah isu penting seperti kematian ibu dan anak masih tergolong tinggi. Kekerasan domestik (kekerasan dalam rumah tangga) meningkat. Selain itu, kekerasan berbasis tradisi (misalnya, memaksa perempuan untuk sunat atau menggunakan busana-busana tertentu) serta perdagangan tubuh-tubuh perempuan (trafficking) menjadikan medan perjuangan panjang kaum perempuan untuk mendapatkan keadilan semakin terjal.
Eksploitasi tubuh dan menjadikan perempuan sebagai komoditas merupakan kondisi yang memuakkan. Situasi ini tidak menjadi lebih baik di tengah kampanye menteri untuk mendorong warga negara Indonesia menjadi tenaga kerja indonesia (TKI) legal. Persoalan kekerasan pada buruh migran yang diperkosa, hamil dan dihukum mati seperti terabaikan begitu saja. Ibu-ibu migran melahirkan anak-anak campuran yang nasibnya tidak jelas ayah dan statusnya.
Pertarungan
Seringkali, kaum ibu mengabaikan betapa berharganya mereka sebagai salah satu mahluk Tuhan. Perempuan dalam kapasitasnya sebagai ibu memiliki peranan penting dalam membentuk bangsa ini. Dari rahimnya, perempuan menyerahkan rahim-rahim mereka menjadi medan pertarungan ideologis kebijakan pemerintah.
Kampanye keluarga berencana seperti slogan satu anak (China) atau dua anak (di Indonesia) seringkali menempatkan kaum ibu pada situasi sulit. Pilihan menggunakan alat kontrasepsi pada akhirnya lebih banyak ditujukan (diwajibkan) kaum Ibu. Hal ini termasuk propaganda yang dilakukan sejumlah iklan kontrasepsi.
Keadaan ini menempatkan kaum laki-laki seperti mendapat keistimewaan untuk tidak harus menggunakan kontrasepsi dalam program keluarga berencana yang dicanangkan pemerintah.
Nasib kaum ibu dan anak-anak di daerah perbatasan pun nasibnya tak seberapa baik. Mereka kerap menjadi korban menjadi pengungsi akibat bentrok tapal batas kampung, atau pemekaran wilayah. Perebutan lahan hidup merupakan salah satu bentuk kekerasan politik yang dihadapi kaum ibu. Keadaan mereka seperti lenyap ditelan pemberitaan media yang seperti meniadakan eksistensi kaum ibu (istri) dan anak-anak ketika terjadi konflik dilingkungan mereka tinggal.
Kenyataan menjadi pengungsi dan tinggal di tenda-tenda pengungsian seperti sebuah jawaban terpaksa. Jawaban ini harus diterima sebagai hasil kesepakatan kaum-kaum suami mereka. Rekonsiliasi politik di daerah perbatasan semacam ini jarang melibatkan suara hati kaum ibu. Suara-suara kaum ibu seperti lenyap dilibas berahi kekerasan.
Kekerasan domestik yang melibatkan nasib kaum ibu di Bali juga memprihatinkan. Kekerasan tradisi yang mendesak kaum perempuan untuk menjadi ibu sempurna, memiliki anak laki-laki sering menempatkan nasib perempuan di ujung tanduk.
Istri-istri yang tidak mampu hamil, tidak mampu melahirkan anak laki-laki sering menerima perlakuan buruk dan berakhir pada perceraian dan menjadi penghuni jompo setelah ditelantarkan keluarga.
Nasib baik, jika kaum perempuan Bali ini masih diterima keluarga batihnya saat bercerai. Jika nasib buruk, mereka tidak saja ditolak keluarga suaminya tetapi juga tidak diterima kelurga batihnya. Ketidakmampuan dari segi finansial menjadikan sebagian besar kaum ibu Bali menerima kekerasan domestik sebagai bagian dari hidup mereka sebagai keputusan yang lebih baik daripada bercerai.
Bukankah perempuan Bali itu pekerja keras dan berpenghasilan? Betul, tapi faktanya, kehidupan perempuan Bali masih banyak yang miskin karena sebagian besar hasil kerjanya didedikasikan untuk keluarga. Bahkan tak jarang uang simpanan saja mereka tak ada. Begitulah fenomena sosial di Bali.
Eksploitasi
Gelandangan dan pengemis yang melibatkan sejumlah perempuan, bayi dan anak-anak yang mengklaim diri dari salah satu kampung pemasok pengemis di Bali seharusnya menjadi perhatian pemerintah Bali. Bagaimana tidak? Mobilisasi anak-anak dan bayi merupakan indikasi adanya eksploitasi bahkan medan trafficking anak-anak yang konon dilegimitasi tradisi desa.
Menjadi pertanyaan besar, dari mana asalnya bayi-bayi itu? Siapa ibu-ibu mereka? Bagaimana perasaan ibu-ibu yang anaknya baru berusia 3 bulan diambil untuk dijajakan sebagai pengemis? Tetapi, pertanyaan ini tidak menjadi hal yang serius dimata pemerintah. Tiap hari ada saja bayi yang digendong oleh perempuan, apakah itu ibunya atau pura-pura menjadi ibunya. Itu sudah tidak penting lagi. Faktanya, eksploitasi bayi-bayi seperti ini menjadi biasa karena pembiaran yang terjadi begitu lama.
Kekerasan bisa saja menempatkan perempuan dalam dua sisi mata uang, sebagai korban dan pelaku kekerasan. Semakin meningkat jumlah kaum perempuan, kaum ibu menjadi penghuni penjara. Sejumlah penelitian menujukkan, jumlah narapidana perempuan menunjukkan indikasi semakin meningkat di sejumlah negara. Distribusi narkoba merupakan salah satu jalur hitam yang potensial menjerumuskan kaum perempuan menjadi penghuni penjara atau lembaga pemasyarakatan.
Tidak sedikit dari kaum ibu yang diperdaya dan diperalat pasangannya, suaminya, kekasihnya menjadi pelaku berbagai tindak kejahatan dan pelanggaran hukum. Ibu menjual anak, menjual togel dan ibu-ibu dijual suami mereka sebagai pelacur. Data-data ini bisa diperoleh dari banyak organisasi (LSM) yang tersebar di kota Denpasar.
Peringatan Hari Ibu, akankah mampu merubah gambaran suram nasib ibu-ibu Bali yang berada dalam ranah konflik domestik dan sosial? Ataukah suara-suara mereka akan kembali dibungkam dengan cawe-cawe hiburan peringatan hari Ibu dengan sejumlah bagi-bagi bunga, ucapan terima kasih dan hiburan musik?
Semoga semangat peringatan Hari Ibu di masa-masa mendatang diberikan muatan pendidikan yang lebih bermakna untuk kehidupan ibu-ibu Indonesia. Dengan demikian mereka akan lebih baik dan sejahtera. Ibu adalah tanda peradaban untuk itu, suara kaum ibu berhak mendapat posisi penting dalam pengambilan keputusan politik, khususnya yang melibatkan kepentingan masa depan mereka sebagai bagian dari masyarakat madani Indonesia. [b]