Oleh Anton Muhajir
Sejak awal saya tahu kalau Koming, tetangga saya di Denpasar, memang tidak terlalu “normal”. Saya tidak tahu persis bagian mana dari perilakunya yang menunjukkan “ketidaknormalan” itu. Saya hanya bisa merasakan, tidak bisa menjelaskan.
Meski begitu, saya tetap kaget ketika melihat perilaku Koming, cewek berumur 20 tahun, itu tiba-tiba berubah. Tatapan matanya kosong. Ketika saya sapa, dia diam saja. Raut wajahnya sama sekali bukan Koming yang saya kenal sebelumnya. Muram. Bahkan ketika ketemu dengan anak saya, yang biasa membuatnya tertawa lalu menyorongkan tangan untuk menggendong, dia tak bereaksi apa pun.
Koming benar-benar berubah. Dia benar-benar tidak normal. Kalau sebelumnya hanya tidak terlalu “normal”, maka kali ini benar-benar tidak normal. Tidak perlu pakai tandai petik.
Sekitar dua bulan sebelum perubahan pada Koming itu, ada berita yang juga bikin saya kaget: dia hamil! Kalau hanya hamil sih tidak masalah. Tapi ini belum menikah tapi sudah hamil.
Di Denpasar, atau mungkin Bali, hamil di luar nikah jadi sesuatu yang lumrah. Mungkin di Jawa juga demikian, tapi menurut saya tidak selumrah di Bali. Orang Bali tidak akan ribut-ribut bergosip atau memandang rendah orang yang hamil sebelum nikah. Stereotip orang Bali bagi saya memang sederhana: silakan berbuat apa saja asal tidak mengganggu urusan saya. Artinya hamil itu urusanmu sendiri, bukan urusan saya. Jadi ya si A tidak perlu ribu-ribut hanya karena si B hamil.
Begitu pula dengan cerita kehamilan Koming. Tidak ada ada ribut-ribut di gang kecil tempat kami tinggal. Cerita hamilnya Koming hanya muncul di permukaan sehari dua hari. Setelah itu ditelan waktu. Tidak ada lagi yang terlalu peduli. Mungkin juga saya. Apalagi setelah kehamilan itu, Koming lalu tinggal di rumah keluarga pacarnya.
Namun, sekitar dua minggu kemudian, kedatangan kembali Koming ke rumahnya dan juga gang kecil kami membuat membicarakannya. Sebab kali ini Koming mengalami perubahan tidak hanya biologis, juga psikologis.
“Dia tertekan karena merasa bersalah,” kata Nengah, kakak kandungnya.
Koming seperti tidak mengenal semua orang di gang kami. Tak satu pun di antara kami, bahkan saudaranya sendiri, yang bisa mengajaknya bicara tentang apa yang terjadi padanya. “Hanya bapak yang bisa ngajak ngomong,” lanjut Nengah.
Kejadian pada Koming adalah kasus hamil di luar nikah ke sekian kali yang pernah saya temui. Kakak ipar, tiga sepupu, dan beberapa teman saya sudah melakukan hubungan seks sebelum mereka menikah. Buktinya istri mereka hamil dua atau tiga bulan ketika mereka menikah secara adat (Bali). Sekali lagi ini hal yang biasa di Bali. Dan, jangan gunakan kaca mata Anda untuk menghakimi “kelumrahan” ini. Sebab, terlarang bagi Anda belum tentu terlarang bagi orang lain.
Bagi saya, Bali itu kadang anomali Indonesia. Tato sebagai sesuatu yang “tidak patut” bagi banyak orang justru sesuatu yang biasa di Bali. Minuman beralkohol yang “haram” bagi orang lain jadi sesuatu yang biasa diminum beramai-ramai di balai banjar. Mungkin juga untuk urusan hubungan seks sebelum menikah.
Maaf, Saya tidak melihatnya dari sudut pandang moral ketika membahas masalah ini. Saya melihatnya dari sudut pandang sosial saja. Selama tidak ada orang yang dirugikan dengan itu, bagi saya tidak jadi soal.
Misalnya, saya jarang ketemu orang yang berantem gara-gara mabuk di Bali. Saya juga belum pernah ketemu kasus laki-laki Bali yang tidak mau bertanggungjawab setelah menghamili anak orang. Jadi urusan orang mabuk dan berhubungan seks sebelum nikah, bagi saya, juga bukan masalah selama tidak ada yang dirugikan. Silakan minum sampai mabuk asal tidak mengganggu orang. Silakan berhubungan seks asal sadar risiko dan mau bertanggungjawab.
Namun, jangan berhubungan seks kalau memang belum sadar dengan risiko dan siap bertanggungjawab.
Masalahnya, tidak jarang yang belum siap bertanggungjawab tapi hanya mau enaknya berhubungan seks. “Kepret” sudah, tanggung jawab ogah. Salah satu sepupu istri saya menikah ketika pacarnya sudah hamil. Yang repot justru orang tuanya karena sepupu itu masih kuliah dan belum mandiri secara ekonomi.
Karena itu, untuk orang-orang yang mau enak tapi belum siap dengan risiko, bagi saya kondom seharusnya bisa jadi jawaban. Woi, woi. Jangan protes duluan. Sekali lagi ini dari sudut pandang sosial, bukan moral.
Dalam kampanye penanggulangan HIV/AIDS di kalangan pengguna narkoba dengan jarum suntik (injecting drugs user) dikenal istilah harm reduction atau upaya untuk mengurangi dampak buruk. Jadi untuk mengurangi dampak buruk penggunaan narkoba suntik itu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar mereka tidak memperparah kasus HIV/AIDS. Salah satunya dengan memberikan jarum suntik steril dan tidak berbagi jarum ketika memakai narkoba. Tujuannya agar penularan di antara pecandu narkoba bisa dikurangi.
Nah, saya melihat kondom juga bisa jadi harm reduction di kalangan orang yang sudah berhubungan seks aktif tapi belum siap dengan risiko lebih besar. Misalnya, hamil di luar nikah.
Tapi ini jelas bukan mudah. Kampanye pemakaian kondom selalu saja dibantah dengan moralitas. Ini jelas gak nyambung blas! Biasanya sih kelompok anti-kondom ini hanya melihat sisi kondom. Padahal dalam kampanye penanggulangan AIDS, selalu ada A (abstinence) dan B (be faithful) sebelum C (condom).
Saya termasuk kelompok yang tidak sepakat untuk kampanye kondom pada anak-anak SMA. Mereka harus difokuskan pada abstinence. Demikian pula ada kelompok yang memang tidak suka berganti pasangan tentu kampanyenya lebih pas kalau be faithful. Jadi ada porsinya masing-masing. Tidak gebyah uyah semua harus C.
Kampanye anti-kondom ini juga selalu mengikuti kencangnya kampanye pemakaian kondom. Dari dulu dua kelompok ini selalu muncul. Jadi ini pekerjaan rumah yang tidak selesai-selesai.
Namun penyebab paling besar susahnya orang pakai kondom adalah karena rasa malu. Saya sendiri mengalami. Meski sudah menikah, saya tetap tidak pede ketika beli kondom di apotek. Bisa jadi karena perasaan saya, bisa juga karena memang masih ada stigma (cap buruk) pada orang yang beli kondom. Seolah-olah kalau beli kondom itu untuk sesuatu yang buruk. Padahal ya justru untuk mencegah hal yang lebih buruk.
Ini sih lari pada diri sendiri. Lha wong sejak zaman bahuela juga kampanye ini dilakukan namun masih saja ada stigma. Jadi pelan-pelan saya cuek saja beli kondom di apotek. Malu kalau selalu saja minta ke lembaga penanggulangan AIDS. Tapi cuek itu pun belum bisa sepenuhnya. Kalau banyak orang yang juga ngantri di apotek, saya masih keder. Lalu, mundur teratur batal beli kondom.
Buntutnya, saya tidak jadi dapat jatah. Istri saya termasuk yang ngotot tidak mau berhubungan seks tanpa kondom karena belum siap untuk hamil (lagi). Maklum, anak pertama kami baru berumur 1 tahun 3 bulan. Masih bayi.
Saya lalu mikir. Kalau cuma tidak dapat jatah sih tidak masalah. Bagaimana dengan yang sudah kebelet berhubungan seks tapi tidak berani beli kondom. Jadilah dia berhubungan seks tanpa kondom. Lalu hamil.
Ini pula yang mungkin terjadi pada Koming dan pacarnya. Gara-gara pacarnya tidak pakai kondom, Koming hamil padahal dia (sepertinya) belum siap.
Ah, andai saja pacar Koming mau pakai kondom, mungkin saya tidak akan kehilangan senyum Koming..
Supaya lebih aman lagi, walaupun sudah pake kondom, tetap lakukan senggama terputus..Hihi!