Wacana seputar tradisi, modern dan kontemporer masih kerap diperdebatkan banyak kalangan.
Tak cuma ‘mempermasalahkan’ definisi ketiga terminologi tersebut, para kritikus juga mengaitkannya dengan berbagai hal di masa kini, baik dalam konteks sosial, politik, maupun seni budaya. Hal ini pun mengemuka dalam Akademika Bentara, diskusi bertajuk “Local Knowledge” Reposisi Bahasa Rupa Tradisi Bali dalam Wacana Seni Rupa Kontemporer. Diskusi digelar di Bentara Budaya Bali, Minggu 25 September 2011 sore lalu.
Tiga pembicara yang hadir adalah I Wayan Seriyoga Parta, M.sn, Drs. I Wayan Kondra M.Si dan I Wayan Sudiarta, Spd. Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari pameran seni rupa menampilkan karya-karya para seniman yang berproses secara otodidak dan beranjak dari bahasa rupa tradisi Bali.
Diskusi ini sendiri merupakan pemaknaan dari pameran seni rupa ‘Local Knowledge’ yang dibuka hingga Selasa 4 Oktober 2011 mendatang di BBB, Jalan Prof. IB Mantra No 88 A, Ketewel.
Seriyoga dalam paparan awalnya menyatakan bahwa eksplorasi seniman-seniman tersebut meski berawal dari ‘wilayah kolektif’ ternyata mengandung nilai individualitas kuat. Penggalian secara ‘pribadi’ ini sendiri adalah salah satu ciri dari modernitas.
Hal tersebut dipertegas pula oleh Sudiarta. Menurutnya, dewasa ini rekonstruksi tradisi bukan hal baru lagi. Dengan berbagai kepentingan, tentunya selain motif pariwisata budaya, tradisi dikonstruksi ulang untuk keperluan masa kini, termasuk dalam ranah seni rupa.
“Sayangnya, karya-karya rupa yang bertolak dari tradisi seringkali kurang mendapat apresiasi, padahal seni rupa kontemporer membuka peluang besar untuk mereka,” tuturnya.
Dari pembahasan tersebut, sejumlah peserta yang terdiri dari pelajar, seniman, budayawan, dan masyarakat umum lainnya mengajukan beberapa argumen yang memperkaya diskusi. Suklu, misalnya. Perupa Bali ini berpendapat bahwa pembicaraan soal tradisi, modern, dan kontemporer baiknya dimulai dulu dengan menjelaskan batasan yang jelas antara ketiganya. Wayan “Jengki” Sunarta menambahkan bahwa penjelasan definisi menjadi dasar penting guna menelaah wacana lebih luas.
Sementara itu, Jean Couteau, budayawan dan kritikus seni rupa asal Perancis, menyampaikan apresiasinya kepada Wayan Sadha, pencipta karikatur Sompret. Melalui kisah dan tokoh dalam gambarnya, Sadha sanggup mewakili suara rakyat kecil di Bali.
“Ini sikap yang sangat modern,” kata Jean Couteau menanggapi karya Sadha yang juga ditampilkan dalam pameran. Ia menambahkan, bahwa untuk mencari definisi dari tradisi dalam seni rupa, dapat ditelaah dari segi bentuk dan tematis suatu karya.
Lalu, bagaimanakah jelasnya reposisi bahasa rupa tradisi, khususnya tradisi Bali, dalam ranah seni rupa kontemporer?
Seriyoga Parta, yang juga kurator pameran, mengatakan seni yang beranjak dari tradisi, semangatnya bukan mengejar penemuan bentuk dengan tema besar yakni menjadikan “diri sebagai pusat” sebagaimana seni rupa modern ala Barat. Seni tradisi merupakan bagian dari kekuatan lebih besar yang bersifat transeden. Bila seni rupa modern di Barat mengenal adanya perspektif dalam karya-karya lukisnya, seni rupa tradisi atau yang beranjak dari tradisi Bali, dapat mengabaikannya. Hal ini tercermin dari penonjolan bentuk-bentuk tertentu yang keluar dari kaidah perspektif ala Barat dan penggambaran objek secara berulang.
Adapun Kondra pada akhirnya menyampaikan pentingnya perubahan paradigma khususnya di kalangan seniman. Bahwa menjadi perupa tradisi atau yang dikait-kaitkan dengan tradisi (meski karyanya sudah termasuk kontemporer) bukanlah sesuatu yang mesti ditanggapi dengan inferioritas.
Posisi karya seni yang beranjak dari tradisi dalam wacana seni rupa kontemporer tetap diakui. Sebab, ia hadir dengan tema-tema yang sesungguhnya sangat kontekstual. Walau demikian, Jean Couteau dan moderator mengatakan pendapat yang semakna, bahwa teknik-teknik yang bersifat tradisi, bagaimanapun juga, harus tetap dipertahankan, tetapi jangan sampai berhenti jadi kerajinan semata. [b]
Artikel dan foto dari Bentara Budaya Bali.