Sejumlah praktisi kesehatan dan kebudayaan membahas kelemahan Bali menghadapi pandemi Covid-19 saat ini. Padahal ada sejumlah sumber tertulis yang sudah memberi tuntunan menghadapi wabah atau gering agung.
Diskusi dengan topik Memahami Gering Agung pada Masa Lampau dan Covid-19 Masa Kini untuk Membangun Kesadaran Baru atau Adaptasi Baru bagi Masyarakat Bali ini difasilitasi Yayasan Wisnu pada Rabu, 8 September 2021 dalam webinar online yang didukung Unicef.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali yang menjadi Satgas Penanganan Covid-19 memaparkan data kasus terbaru dan capaian vaksinasi. Saat ini jumlah kasus harian menurun setelah sebelumnya meroket sehingga layanan kesehatan kewalahan.
Prof I Gusti Ngurah Kade Mahardika, virolog dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana menyebut masyarakat dan pemerintah tidak belajar, padahal sudah ada panduan influenza pandemi 1918, karena tak hanya soal kesehatan juga keamanan dan pangan. Termasuk dimensi sosial, budaya, dan ekonomi.
Kematian akibat Flu Spanyol di Hindia Belanda pada Juli-Oktober 1918 sebanyak 310 ribu orang, dan November 486 ribu orang. Jumlah korban sekitar 230 ribu di Jawa, Bali, Madura, Lombok selama 4 bulan.
Kemudian ada Gerubug Bah Bedeg 1819-1921 di Bali. Disebut demikian karena orang yang mengantar ke kuburan, juga giliran dibawa ke kuburan. “Saat ini belum seburuk itu. Apalagi kesehatan lebih modern dibanding 100 tahun lalu,” katanya.
Korban seluruh dunia akibat Flu Spanyol di atas 50 juta, sedangkan Covid di atas 4 juta. Di masa lalu, transportasi lambat, tak ada internet, informasi lambat, dan ilmu virologi menurutnya belum ada.
Bali berdampak terparah karena tergantung pariwisata negara lain. Turisme seperti apa yang dikembangkan agar lebih resilien? Indonesia menurutnya tidak melakukan 3E (early reporting, early detection, early action) dan 3T (testing, tracing, treatment) yang baik.
Teknik testing dinilai tidak baku (rapid antibodi, antigen, genose), sedangkan tracing juga disebut record buruk karena kurang dari 1%, dan rasio kasus dengan pelacakan kontak erat rendah. Sementara di treatment, isolasi mandiri tidak bisa dipercaya, fasilitas rumah sakit dengan ventilator dan oksigen kurang. Protokol vaksinasi awal dinilai memiliki kelemahan.
“Virus baru akan selalu muncul, setelah ini ada virus lain,” yakin Mahardika. Karena ada perubahan genetik virus, dari kelelawar ke virus manusia. Kedua, perubahan ekologi, hutan ditebangi, satwa liar diburu untuk jadi makanan. Virus dimungkinkan tukar menukar di pasar hewan dan muncul virus baru. Menurutnya hanya masalah waktu, pasti akan terjadi.
Peneliti menyimpulkan Coronavirus dari kelelawar, ada perubahan genetik di pasar hewan, dan penularan dari manusia ke manusia. Ia memperkirakan, perkembangan pandemi di Bali gelombang baru bisa terjadi Januari 2022. Saat ini tren kasusnya menurun. Pada 2020, puncak kasus terjadi pada Januari dan Juli. Bagaimana mengantisipasi?
“Vaksinasi hanya menekan masuk RS, gejala klinis berat, dan kematian. Tapi tidak menekan transmisi di komunitas,” sebutnya. Karena itu akan ideal jika 100% divaksin, target Bali 3,4 juta orang, sedangkan per awal September ini dari catatannya, capaian vaksinasi pertama 94% dan vaksin kedua 60%.
Bali pasca pandemi perlu protokol 3E dan 3T yang kuat dan solid. “Surat Edaran tidak efektif karena tidak memantau. Jika keadaan mendesak, status cuntaka Bali diperlukan untuk kegiatan massal,” Mahardika memberikan usul. Selain itu perlu sistem diagnostik modern dan cepat, RS penyakit infeksi dengan jumlah ICU memadai, dan stop perdagangan hewan liar.
Jika letupan kasus terjadi dan kematian dan kedaruratan rendah maka pandemi bisa dikendalikan. Kasus di Eropa menunjukkan kasus tinggi tapi kesakitan dan kematian rendah.
Ia juga menyarankan perubahan pengelolaan ruang. Misal mall jangan pake AC agar sirkulasi bagus, restoran open space, untuk mengurangi risiko. “Aneh jika pantai ditutup, dalam air laut virus tidak menular,” sebut pria peneliti penyakit menular berbasis hewan ini.
Refleksi dari Gering Agung di Bali
Sugi Lanus, peneliti lontar dan penulis budaya memaparkan konteks wabah di masa lalu yang tercatat dalam sejumlah lontar dan arsip masa lalu.
Ia memulai dari kisah Jayaprana, peristiwa tragedi dari sisa wabah di Bali. Sugi mengatakan di awal pandemi pada 2020 minta Bali segera ditutup. Ini pebelajarannya dari pengalaman mengahdapi isu kesehatan publik misalnya pada 1997-1998 buat yayasan bidang penanggulangan AIDS. “Ikut membuat protokol menguburkan dan kremasi pasien dengan HIV dan AIDS. Kita memang bukan pembelajar,” katanya.
Kemudian dari tragedi lain, dari Desa Julah disebutkan ada pohon Intaran (neem) yang bisa jadi penyembuh, loloh dari wabah saat itu. Literatur tradisi Babad Calonarang juga menyebutkan negeri hancur karena wabah. Akibat wabah ini ada Keputusan Bharadah bagaimana mengatasi wabah dan Taru Pramana, tanaman obat-obatan tradisional.
Pada setting Majapahit, sekitar 1300an, ada teks Roga Sangara Gumi, Puja Astawa yang berkaitan dengan wabah. Salah satunya mengatur bagaimana laku ritual. Misalnya Yama Purwana Tattwa, menangani jenazah seperti segera dikubur tidak diinapkan.
Pada 1602 ada Babad Duk Tumpur, Warna mangalih bhuta tunggal dari Jawa-Bali, penguburan mesti diringkas, tak harus ada upacara. Kecuali Sulinggih dan pemimpin agama. Pendeta dan masyarakat memakai pedoman protokol doa dan mantra, segehan, sangu, dan tawur namun tidak mengerahkan massa.
Dari arsip tertulis itu, teks panyembuh menurutnya perlu dibahas dalam konteks sains. Misalnya apa yang tercantum dalam Anda Kacacar, Pamahayu Anda Kacacar, Usada Cukuldaki, Usada Ila, Usaha Gede, dan lainnya.
Protokol wabah di lontar juga memuat larangan pujawali dan sawaprateka. Selain itu karantina wilayah dan isolasi diri, terapi, dan pangusadan (pengobatan). “Pedoman sastra hendak dipahami tampuk pemerintahan, jika saat berjangkit wabah, segala pujawali dihentikan, jangan melaksanakan salwirning walikrama segala macam pujawali tidak melakukan pemujaan di pura,” papar Sugi yang mendirikan lembaga kebudayaan Hanacaraka Society.
Praktiknya, warga diijinkan tidak melakukan Galungan selama 3 kali, namun tidak ada pembagian tirta karena bisa menyebar penyakit. “Nguningang pemangku agar tidak kebrebrehan. Jangan sampai lewat mengencak (penidaan) Galungan sampai 4 kali,” lanjutnya.
Walau pengetahuan berbasis tradisi, sudah disyaratkan, protokol pengobatan harus paham pengetahuan tubuh dan aksara dalam diri secara lahir batin (Usada Cukil Daki). Untuk menghindari balian-balian yang tidak kompeten.
Rekomendasinya, perlu adopsi protokol tradisi ini dalam ranah pemerintahan lokal untuk implementasi di tataran desa adat. “Tidak bisa menelan protokol nasional sehingga saat ini muncul kesenjangan,” tutur Sugi.
Kemudian, aktualisasi manuskrip penyembuh. “Lontar jangan disembah, tapi dibaca. Perlu dewan pakar yang bisa memberi inteprestasi,” ingat Sugi. Perusahaan daerah memungkinkan punya laboratorium untuk mengembangkan semacam scientific welness tourism. Balinese welness ini misalnya welcome drink dari tanaman penyembuh seperti loloh. Bhakti ritual, yoga samadhi, usada kuratif dan preventif.
Sugi Lanus mengajak dokter juga membahas lontar, karena menurutnya masih ada orang Bali yang cenderung belog ajum dan percaya niskala. Untuk tingkat kebijakan publik di masyarakat adat, saat ini dibutuhkan pertemuan pemuka agama atau Paruman Sulinggih untuk merespon pengalaman menghadapi gering agung di masa lalu untuk konteks masa kini.
Kegagalan Komunikasi Publik Kesehatan
Pande Putu Januraga, seorang epideimolog dan ahli ilmu kesehatan masyarakat mengatakan Bali punya segalanya untuk menghadapi pandemi namun sudah ada masalah dalam komunikasi publiknya dan adaptasi.
Adaptasi itu kreatif mampu cari solusi dan fleksibel bisa menyesuaikan, mengadopsi hal baru termasuk kebiasaan dan teknologi baru. Adaptasi yang menurutnya bantu manusia selamat, termasuk secara genetik dari masalah lingkungan ekstrim dan kesehatan.
Kunci adaptasi ada 3, pengetahuan, nilai dan aturan. Pengetahuan memberi pilihan untuk bertahan. Berdampak lebih positif jika punya nilai manfaat, seberapa besar manfaat rajin cuci tangan dan pakai masker. Untuk bertahan harus ada norma formal seperti regulasi dan norma sosial.
“Hal keliru, bahaya vaksin padahal bukan hal baru. Juga anggapan Covid-19 adalah flu biasa,” keluhnya. Karena sudah terjadi kemampuan tempat tidur rumah sakit (Bed Occupancy Ratio/BOR) melewati batas kemampuan merawat sehingga kolaps. Ia menelusuri kematian Bali terbesar di UGD bukan ruang ICU karena oasienn penuh. “Orang tidak mau ke RS, ada distrust nanti dicovid-kan. Menunggu gejala berat. Peristiwa Juli-Agustus 2021 membuat sport jantung yankes,” tutur Januraga.
Secara natural, kasus pasti menurun, setelah 99% warga punya kekebalan alami. Ditambah vaksin. Masalah kepercayaan juga akibat banjir informasi dan istilah berubah-ubah seperti istilah 3M, 6M, 9M disampaikan oleh pejabat. Harusnya bangun pesan yang mudah diterima, konsisten dengan perbuatan, serta berpihak pada kepentingan masyarakat luas.
Dari hasil survei terahir, ada temuan terkait apakah ada manfaat masker dan cuci tangan untuk mengetahui persepsi risiko. Namun setelah pandemi lebih dari satu tahun, persepsinya masih rendah, hanya 50% dari sekitar 700 orang responden. Cuci tangan dan masker persepsinya untuk kebutuhan sosial, bisa diterima warga dan pertimbangan ekonomi. Bukan kesehatan.
Menggunakan vaksin juga untuk ketaatan bukan nilai manfaat dan mempermudah diri saat bekerja. Di sisi lain, Januaraga pun dilematis karena warga masih harus mengikuti acara adat karena takut disepekang.
Tantangannya adalah membangun nilai dari adaptasi. Bangun komunikasi positif seperti memberikan reward pada yang patuh pada protokol. Warga akan patuh jika merasa di lingkungan sekitarnya menerapkan. Norma sosial yang mendongkrak. Tidak ada kaitan dengan aturan formal seperti sanksi.
“Tidak perlu pecalang untuk berjaga di lalu lintas tapi pendekatan tokoh masyarakatnya seperti sulinggih,” katanya. Namun ironisnya, di tingkat pengurus adat malah ada pengumuman seperti, “tolong jangan diupload di medsos” saat ada kegiatan adat.
Kondisi kesehatan saat ini menurutnya harus disampaikan sesuai kenyataan. Misal mencantumkan BOR di bawah 80%, karena RS selalu meningkatkan jumlah tempat tidur seiring jumlah pasien. Jadi persentase BOR bukan ukuran.