Apa pembelajaran terpenting bagi pemerintah setelah Bali dihantam pandemi hampir dua tahun ini? Apa kelemahan dari sistem penanganan pandemi di Bali? Bagaimana strategi pemerintah untuk menyokong rapuhnya sektor pariwisata Bali? Pariwisata seperti apa yang akan dibangkitkan sebagai respon atas pandemi ini?
Sayangnya, pertanyaan-pertanyaan ini belum sepenuhnya dijawab oleh para panel lokakarya yang diadakan Prodi Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Warmadewa. Lokakarya yang diadakan pada 16 November 2021 ini bertema “Strategi Menekan Penyebaran Virus Covid-19 di Bali – Langkah Awal Membangkitkan Pariwisata”. Turut mengundang para pemangku kepentingan dan pihak-pihak dari lintas disiplin ilmu.
Lokakarya dan diskusi ini mencoba untuk melihat permasalahan penanganan COVID-19 yang masih mengganjal di masyarakat. Terutama terkait potensi meningkatnya penyebaran COVID-19 yang dapat berdampak pada proses pemulihan kondisi pariwisata dan perekonomian Bali. Lalu sejauh mana pemerintah khususnya Kota Denpasar berhasil mengatur kebijakannya dan bagaimana masyarakat memaknai kebijakan yang ada?
Prof. Dr. I Nyoman Kardana, Dekan Fakultas Sastra Universitas Warmadewa sekaligus moderator diskusi, menyampaikan beberapa poin yang disoroti terkait penyebaran COVID-19. Pertama, di tengah antusias siswa dan orang tua dengan dilaksanakannya pembelajaran tatap muka atau PTM, muncul pula kekhawatiran epidemiolog dan relawan LaporCovid-19 akan potensi timbulnya klaster COVID-19 di sekolah.
Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Denpasar, Ir. Putu Naning Djayaningsih kita masih perlu berhati-hati, walaupun kasus positif di Kota Denpasar sudah menurun. Pemerintah kota/kabupaten yang menaungi proses belajar mengajar di tingkat SD dan SMP juga mendorong partisipasi orang tua dan kelompok PKK di wilayah Denpasar untuk memberikan pemahaman tentang prokes. Sehingga jika ditemukan kasus yang banyak di klaster keluarga, bisa segera ditanggulangi.
Namun, secara spesifik Naning mengaku jajarannya belum melakukan uji coba pembelajaran tatap muka dengan kriteria-kriteria pembatasan tertentu. Misalnya memastikan lokasi sekolah berada di wilayah dengan kasus yang rendah. Selain itu siswanya juga harus difilter dari wilayah mana saja yang boleh mengikuti PTM berdasarkan data jumlah kasus positif yang terendah. “Karena ada kebijakan dari pemerintah pusat yang memperbolehkan itu, kami lakukan tatap muka,” ujar Naning.
Sinkronisasi
Merespon hal itu, Dr. A.A. Gede Oka Wisnumurti menerangkan bahwa suatu masalah tidak bisa ditindak hanya menggunakan pendekatan sektoral. Perlu pendekatan khusus untuk menangani permasalahan ini. Pendekatan itu harus melibatkan akademisi, pelaku bisnis, komunitas, dan tentunya pemerintah untuk sinkronisasi kebijakan.
“Ketika pemerintah pusat memberikan kesempatan pada pemerintah daerah untuk melakukan PTM, sudahkan sekolah itu kita fasilitasi untuk penerapan protokol kesehatan?” tanya Ketua Yayasan Kesejahteraan Korpri Provinsi Bali itu.
Penting untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi siapa pun yang masuk ke area PTM, baik itu siswa maupun orang tua yang mengantar. Di sinilah peran kebijakan yang harus dimainkan. Namun, menurutnya kebijakan yang dijalankan masih bersifat defensive, bukan ovensif. Lebih lanjut ia juga menuturkan bahwa COVID-19 ini adalah bencana yang luar biasa. “Karena dia bencana, mestinya pendekatannya bukan pendekatan projek, tapi pendekatan bencana,” imbuhnya. Semua pihak harus bergerak bersama-sama untuk memastikan kebijakan didukung dengan fasilitas yang memadai di lapangan.
Apalagi terkait kegiatan-kegiatan adat yang tidak taat prokes. “Kita di Bali secara spesifik memang menghadapi satu masalah yang agak berbeda dengan daerah lain di Indonesia karena adatnya,” terang Naning. Di satu sisi, kegiatan adat sangat lekat dalam kehidupan bermasyarakat di Bali, tapi di sisi yang lain, ada kekhawatiran peningkatan penyebaran virus dari sana.
Namun pihaknya cukup optimis dapat menekan penyebaran virus ini. Menurutnya pemerintah telah mengupayakan penanggulangan dengan membatasi jumlah orang yang terlibat serta akselerasi vaksinasi. Di Denpasar sendiri, angka keberhasilan vaksinasi mencapai 150% sampai pelaksanaan ketiga.
“Akhir-akhir ini memang belum ada klaster-klaster kasus COVID-19 dari kegiatan-kegiatan adat di Bali,” tambah Ketut Dwita, Perwakilan Dinas Kesehatan Denpasar.
Kemudian bagaimana mengawasi ini? Sejauh mana aparat berperan dalam menertibkan kegiatan-kegiatan seperti ini agar tetap berjalan sesuai prokes? Perwira Nengah Ketut Dana dari Polresta Denpasar menyebutkan bahwa selain berkoordinasi dengan dinas-dinas terkait untuk pelaksanaan 3T, aparat juga berkoordinasi dengan satgas gotong royong di desa adat untuk mengimbau masyarakat agar selalu taat prokes.
Tidak konsisten
Sayangnya, strategi-strategi ini belum terlaksana secara konsisten di lapangan. Tidak semua kegiatan adat atau kegiatan lain yang melibatkan banyak orang didukung dengan pengawasan maupun fasilitas yang memadai. Saat ini, masker jadi salah satu kebutuhan primer dalam pencegahan penularan virus. Namun dilemanya adalah, ketika masih banyak masyarakat yang tidak mampu untuk membelinya.
Ini berkaitan dengan menurunnya daya beli masyarakat akibat kehilangan pekerjaan di masa pandemi. Pandemi COVID-19 ini memang jadi pukulan besar terutama bagi sektor pariwisata. Namun, sebenarnya ini bukan “bencana pertama” bagi pariwisata Bali. Bom Bali I & II serta erupsi Gunung Agung pada 2017 lalu harusnya cukup menjadi pelajaran bagi kita untuk memproyeksikan ulang pariwisata Bali. Pariwisata seperti apa yang harus dikembangkan agar tetap berkelanjutan jika di masa mendatang kita dihantam kondisi seperti ini lagi?
Pada 14 Oktober 2021, pemerintah secara resmi membuka perjalanan pariwisata ke Bali. Namun, sudah sebulan berjalan, belum ada angka signifikan yang menunjukkan kedatangan wisatawan mancanegara. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi di Thailand yang cukup berhasil mendatangkan ratusan wisatawan saat dibukanya penerbangan ke negara tersebut.
Apakah ini menunjukkan bahwa kepercayaan internasional terhadap Bali-Indonesia kurang? Apakah dunia internasional masih ragu Bali-Indonesia mampu menjamin kesehatan warganya ketika berkunjung ke Bali?
Menurut Wisnumurti, ada beberapa hal yang membuat sebuah negara tidak dikunjungi. Adanya bencana, pandemi, dan faktor keamanan. Kebijakan juga sangat mempengaruhi. Pemda dan pemerintah pusat perlu koordinasi dengan matang sebelum kebijakan itu diberlakukan. Jangan-jangan ada yang perlu diubah dari kebijakan yang sudah berjalan?