Kasus perampokan berujung pembunuhan yang dilakukan seorang anak 14 tahun pada penghujung tahun 2020 di Kota Denpasar menyisakan trauma serta dampak sosial ikutan. Jaringan Puspa Bali menelah kasus ini dan mengajak akses layanan konseling bagi anak dalam lingkaran kekerasan.
Sejumlah pegiat isu perlindungan perempuan dan anak bertemu pada Kamis, 7 Januari 2021 di sekretariat Puspa, Jl Cok Agung Tresna, Denpasar.
Puspa adalah akronim dari Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak. Jaringan koordinasi oleh Kementerian PPPA sejak 2017 untuk menyatukan visi dan misi lembaga-lembaga terkait demi kesejahteraan perempuan dan anak di Indonesia. Misalnya Pemerintah Pusat dan Daerah, LSM, media, dan inspirator untuk menyebarluaskan program 3ENDS. Jargon untuk mengakhiri kekerasan pada perempuan dan anak, menghentikan perdagangan manusia, serta akhiri kesenjangan ekonomi antara perempuan dan laki-laki.
Kronologis kasus anak yang mengerikan ini sudah dilansir kepolisian
Tjok Putri Hariyani Ardhana Sukawati, istri Wakil Gubernur yang menjadi Ketua Forkomwil Puspa Bali menyatakan turut berduka atas peristiwa kekerasan yang menghilangkan nyawa korban perempuan muda pekerja bank ini. Sekaligus dan prihatin perilaku pelaku serta dampak lainnya. Ia berharap peristiwa yang mengorbankan anak dan perempuan ini tak terjadi lagi.
Ni Luh Putu Eka Susilawati, pengurus Puspa Bali dan juga advokat menelpon jaringannya di Singaraja, asal orang tua korban untuk mericek kondisi terakhir. Menurutnya ada kekhawatiran pengusiran setelah keluarga pindah dari tempat tinggalnya di Denpasar.
Dampak buruk kejahatan yang dipublikasikan secara masif dan mengeksploitasi wajah anak serta alamat lengkapnya berdampak kriminalisasi pada keluarga. “Ketakutan kami orangtua kehilangan pekerjaan juga di kampung, minta tokoh desa beri perhatian pada hal ini,” lanjutnya. Jaringan Puspa ini berencana akan berkunjung ke keluarga perempuan korban.
Ada dua isu lain yang dibahas dalam koordinasi dan pernyataan publik ini. Pertama, mengampanyekan layanan anak dalam lingkaran kekerasan untuk mencegah kasus serupa. Kedua, mekanisme perlindungan diri sebagai perempuan.
Dokter Lely Setyawati, psikiater di RSUP Sanglah belum bisa mengidentifikasi latar belakang kekerasan ini. “Hanya visum luar, belum otopsi, kami menduga-duga. Luka yang banyak bisa karena marah, dendam, terpojok. Korban juga melawan. Tapi masih misteri,” sebutnya.
Pelaku yang berusia 14 tahun, menilik latar belakangnya adalah anak tidak dalam pendampingan dan pengawasan orang tua. Ia pernah ditangkap karena mencuri sesari (uang di dalam sesajen) kemudian diusir dari sekitar tempat tinggalnya. Hal ini menambah pengalaman kekerasannya dan memicu kejahatan lebih besar.
Dampak dan penyebab ekonomi juga nampak. Pelaku dan korban tulang punggung keluarga. Ibu tiri pelaku disebut buruh cuci, dan bapak kandungnya tak bekerja.
walau masih berusia anak, kemungkinan sulit mendapat diversi atau pengurangan hukuman karena sebelumnya pernah melakukan peristiwa kejahatan lain.
Ni Nengah Budawati dari LBH Bali Woman Crisis Center mengatakan, pelaku kemungkinan tak bisa mendapat diversi atau pengurangan hukuman karena pernah melakukan kejahatan lain sebelumnya.
Mekanisme diversi, menurutnya tidak bisa karena residivis. Hanya bisa sekali, walau kejahatan berikutnya ringan. Namun pelaku masih dalam skema anak yang berhadapan dengan hukum.
“Saat pencurian sesari, anak diusir. Jangan seperti itu. Bagaimana aparat desa melempar tanggungjawab. Garda depan kan aparat desa. Harusnya merangkul, empati tinggi, ini gampang di Bali,” sesalnya. Misal pembinaan anak dan jangan diusir, atau menghubungi ke lembaga terkait untuk penanganan masalah anak. Menurutnya seluruh kabupaten punya mekanisme perlindungan anak.
Proses deteksi menurutnya sangat penting. “Jangan anggap parasit, tapi penanganan tepat. Di sini dicabut akarnya, akhirnya seperti ini,” lanjut Buda.
Karena masih berusia anak, pelaku akan menjalani mekanisme peradilan anak berhadapan dengan hukum. Hal ini tak bisa diabaikan walau kejahatannya berat. “Sudah ada kajiannya, pasti ada sebabnya, tak murni karena dia sendiri sebagai anak,” urainya. Misal ada pendampingan psikologis agar tak mengulangi lagi. Jadi anak masyarakat yang dibina.
Dokter Lely berbagi pengalaman tiga kali dalam situasi kejahatan. Ia mengatakan beberapa kali mengalami dan menghadapi kejahatan. Pertama, saat remaja ketika melihat pencuri di warung orang tua, kedua pencurian LPG di rumahnya, dan penjambretan kalungnya. “Ingat jangan panik, menghindari kefatalan,” ajaknya. Ia mengajarkan anak-anaknya sejak kecil untuk menghindari kekerasan fatal.
Potensi kenakalan remaja jadi kejahatan lebih besar cukup terbuka. Ini akan terdeteksi dari gangguan tingkah laku, dari ilmu psikiater ada sekitar 12 jenis. Kejahatan sendiri dan berkelompok. Menurutnya lebih gampang dikurangi atau diobati jika berkelompok, karena ikut-ikutan. “Susahnya kalau sendiri. Kalau tak diobati jadi antisosial. Terutama di bawah 12 tahun,” ingat Lely.
Ia mengutip hasil survei, 50% anak-anak di sekolah swasta dan negeri tergolong punya gangguan misalnya bolos, mencuri, sadis pada hewan, dan lainnya.
“Yang diobati juga orangtua misal karena sering menghukum, si anak akan balas ke orang yang lebih lemah. Misal adik atau anjing,” jelasnya.
Sayangnya layanan kesehatan mental dan sosial seperti psikolog dan psikiater masih dianggap tabu. Bahkan, petugas kebersihan di kliniknya pernah menurunkan papan namanya dan menutup kata psikiater dengan plester karena seorang lari ketakutan membacanya. Takut dicap gangguan jiwa. Padahal aspek kesehatan menyeluruh termasuk sehat jiwa.
Komisi Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Bali menyebut dalam kurun waktu tiga tahun (2017-2020) ada 746 kasus melibatkan anak sebagai korban dan pelaku.
Inilah layanan anak di Bali yang bisa diakses jika perlu bantuan:
Unit PPA Polres/Polda Bali, Dinsos Sosial kabupaten/kota, Unit P2TP2A, Komisi Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Bali, dan lainnya.
Untuk kasus KDRT bisa langsung ke UGD RS pemerintah yang bisa mengontak jejaring penanganan dan kepolisian.