Panas yang cukup menyengat menyambut saya dan Ditha tiba di Ubud Sabtu siang lalu.
Kami tiba kira-kira pukul 13.30 Wita. Setengah jam lebih awal, dari jadwal pemutaran film Wregas Bhanuteja, tujuan kami datang ke Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2016 hari terakhir.
Belum juga sempat memarkir motor, Ditha menyerukan sosok pria ganteng di tepi jalan. Saya langsung menyahuti setelah sadar beberapa detik, bahwa itu adalah sosok si sutradara muda yang filmnya akan kami tonton.
Alih-alih terpesona dengan sosok Wregas, kami malah kelewatan tempat yang harusnya kami tuju. Drama kecil ini cukup menjadi pemanis di padatnya Ubud yang cukup membuat penat.
Sabtu kemarin juga menjadi penanda kedua saya menonton Prenjak dan empat film pendek lain karya Wregas. Beberapa bulan lalu, untuk kali pertama saya menonton film tersebut dengan jumlah penonton kurang dari 15 orang.
Namun kemarin, saya yang bahkan sudah datang dari awal mendapat posisi kurang nyaman untuk menonton. Saking penuhnya penonton sore itu.
Kedatangan saya kali ini pun tidak sepenuhnya untuk menonton, tapi untuk bertemu sang sutradara. Mau ngobrol, yang berujung wawancara. Mungkin karena kebiasaan wartawan yang sudah tertanam. Padahal, hari itu saya dengan jelas, sengaja mengambil libur.
Film yang berhasil bertutur, adalah kesimpulan pas tanpa neko-neko menggambarkan karya Wregas. Salah satunya yang berjudul Prenjak.
Prostitusi Kecil
Di era 1980-1990 an, korek api bagi tidak sekadar berfungsi sebagai alat penerang. Dengan harga Rp 1.000 per batang, kala itu, korek api sempat menjadi simbol ekonomi dan prostitusi kecil di Yogyakarta.
Fenomena tersebut memang sudah tidak tampak lagi saat ini. Namun, Wregas Bhanuteja (24), sineas muda asal kota Gudeg ini kembali mengemasnya dalam film pendek bertajuk “Prenjak”.
Sebutlah Diah, tokoh perempuan dalam film berdurasi 12 menit ini. Dalam situasi ekonomi sulit, ia membutuhkan uang segera. Kepada temannya, Jarwo, ia menawarkan korek api.
Diah menjual sebatang korek api seharga Rp 10 ribu. Tapi tidak sebatas itu, dari korek api tersebut ia menawarkan sesuatu yang lain. Tentu bagi Jarwo, harga Rp 10 ribu per batang bukanlah harga yang masuk akal. Terlebih ia mengantongi korek api gas di sakunya.
“Ini korek api, sebatang aku jual Rp 10 ribu,” ujar Diah dalam dialog berbahasa Jawa.
Dengan satu batang korek api tersebut, Jarwo ditawari kesempatan untuk melihat alat kelaminnya. Dengan melepas celana dalam, secara tersirat, Diah mengarahkan Jarwo untuk ke bawah meja, yang menjadi setting mereka berbincang, jika ingin mengambil kesempatan itu.
“Boleh dilihat, tapi tidak boleh disentuh,” lanjut Diah.
Hingga kemudian Jarwo mengambil kesempatan tersebut. Dengan menyalakan sebatang korek api, ia melihat “barang” Diah. Tentu nyala sebatang korek api tidak seberapa lama. Hingga kemudian Jarwo menghabiskan 4 batang korek api, dan Diah mendapatkan uang sejumlah Rp 40 ribu yang ia perlukan.
Kira-kira scene awal dalam film ini menggambarkan apa yang dulu kerap terjadi di alun-alun Yogyakarta di era 1980-1990 an. Dengan harga per batang korek yang jauh lebih murah, Rp 1.000.
Cerita ini diperoleh Wregas dari sang Guru saat duduk di bangku SMA. Walaupun secara nyata, ia tidak pernah melihat langsung, namun cerita dari fenomena tersebut terus terngiang.
“Itu yang terus terngiang di kepala saya, mengapa ada perempuan yang mau memperlihatkan alat kelaminnya untuk dilihat banyak sekali orang dengan harga Rp 1000,” ujar Wregas, usai pemutaran film-nya di Ubud Writers and Readers Festival 2016.
Alasan kedua mengapa kemudian ia membuat film ini adalah berdasarkan pengalamannya sendiri. Di mana saat SMA, ia memiliki teman perempuan yang hamil di luar nikah. Tanpa sang kekasih mau menikahinya, sehingga temannya ini harus membesarkan anaknya sendirian.
“Selain itu, dulu saya punya teman, waktu kelas 2 SMA, hamil di luar nikah, tapi laki-lakinya pergi tidak mau bertanggung jawab. Bagaimana perempuan seumur dia harus merawat anaknya seorang diri, sementara, saya misalnya, di usia sekarang masih bebas travelling kemana. 2 hal tersebut saya padukan di film ini,” ujarnya.
Namun di bagian akhir transaksi antara Diah dan Jarwo, Wregas memberikan sedikit bumbu. Di mana kemudian Jarwo menawarkan kembali hal serupa kepada Diah, tapi sebaliknya Jarwo yang memberikan bayaran. Dengan harga Rp 60 ribu selama 30 detik nyala korek api gas miliknya, Diah boleh melihat alat kelamin Jarwo.
Tetap dengan perjanjian yang sama, boleh melihat tapi tidak boleh disentuh. Pada 20 detik pertama, Diah enggan melihat alat kelamin Jarwo. Adegan ini sendiri merupakan rasa penasaran Wregas, bagaimana perempuan memandang hal tersebut.
“Di ending saya beri bumbu, yang laki-laki nawarin balik. 20 detik pertama Diah tidak mau lihat. Ini bagian dari traumanya terhadap laki-laki, di mana karena ‘barang’ itu ia hamil, melahirkan dan membesarkan anak seorang diri. Namun di akhir, ia akhirnya melek, seperti ada juga kerinduan ia akan sosok laki-laki untuk mendampingi hidupnya,” papar pemuda lulusan IKJ ini.
Prenjak sendiri adalah nama dari salah satu jenis burung. Lalu apa kemudian yang menjadi korelasi antara burung dan isi film tersebut?
“Prenjak ini jenis burung yang hanya mau berkicau ketika ada pasangannya. Kalau sendiri dia diam. Seperti Diah yang ditinggalkan pasangannya, dia harus bekerja keras dan ekstra. Kalau pasangannya tidak meninggalkannya, mungkian Diah tidak perlu menderita seperti itu, bisa berkicau bersama,” tutur Wregas.
Ending Pilu Menangkan Cannes
Tidak sebatas moment “prostitusi” kecil yang ditampilkan dalam film ini. Namun ending yang cukup pilu menjawab semua sebab mengapa adegan demi adegan antara Jarwo dan Diah terjadi.
Di mana di akhir cerita, adegan Diah memandikan anaknya menjadi penutup dari Prenjak. Ditambah dengan satu dialog terakhir, di mana anak yang mempertanyakan keberadaan sang ayah.
“Bapak ndi, Bu?” kira-kira seperti itu.
Ini juga salah satu yang mengantarkan Wregas menjadi pemenang Festival Film Cannes 2016. Ya beberapa waktu yang lalu, film ini berhasil memenangkan kategori film pendek di Festival Film Cannes 2016, di Perancis.
Awalnya, film ini bukan dibuat Wregas untuk Cannes. Melainkan untuk mengobati kerinduannya berkarya, di sela-sela kesibukannya di dunia perfilm-an komersil bersama Mira Lesmana dan Riri Riza di Miles Film
Hanya dalam waktu 2 hari shooting, dan 7 hari editing, film ini selesai digarap. Dan kebetulan, saat itu adalah deadline Cannes.
“Waktu itu kebetulan Mas Riri dan Mirles ke Bangkok. Saya memutuskan pulang ke Yogya dan kangen berkarya. Dan dibuatlah film ini, shooting hanya 2 hari, reading 3 hari dan editing satu minggu. Bertepatan juga deadline Cannes 2 hari lagi, langsung saya submit,” ujar Wregas.
Adegan demi adegan pun benar nyata. Baik itu scene yang menunjukkan alat kelamin sekalipun, walau bukan barang langsung milik pemeran di fil tersebut. Di mana Wregas bekerja sama dengan model untuk mendapat gambar tersebut. Karena menurutnya film adalah refleksi kehidupan nyata, bukan imitasi, itu yang ingin ia sampaikan kepada penontonnya.
Bukan berarti tidak ada kekhawatiran akan dianggap vulgar atau porno, karena memang film ini bukan ditujukan untuk itu. Namun lebih sensitif pada keterkaitan antara feminism, budaya dan situasi ekonomi yang dialami perempuan.
“Yang saya khawatirkan justru bukan pemerintah. Tapi ketika film ini semakin kuat diberitakan, justru malah ormas-ormas yang ribut. Mengira film ini porno karena memperlihatkan alat kelamin,” ujarnya.
Ia sendiri mengakui bahwa film ini bukan yang bisa dinikmati penonton Indonesia dengan budaya ketimurannya yang kental justru cenderung Eropa sebagai pasar filmnya. Sehingga ia tidak memaksakan bahwa filmnya harus ditonton di sini. Karena penonton, atau diambil contoh kecilnya, keluarganya sendiri tidak punya pengalaman menonton film Eropa.
“Saya tidak memaksakan orang untuk menonton film saya. Ini memang lebih cocok untuk pasar Eropa dibanding Indonesia. Suka atau tidak itu tergantung selera yang menonton,” tutur Wregas.
Kesedihan yang Harus Dilupakan
Bisa dikatakan fim-film Wregas sangatlah personal dan diambil dari apa yang terjadi di sekitarnya. Tidak hanya pada Prenjak, begitu juga dengan 4 film pendek lainnya. Seperti Senyawa, Lemantun, Floating Chopin, dan Lembusura yang juga diputar sore itu.
Khususnya pada hal-hal yang ia anggap menyedihkan dan mengganggu pikirannya. Menurutnya harus dilupakan dengan berbuat sesuatu. Film lah yang kemudian menjadi media terapi atas kesedihan yang ia alami.
“Ada hal-hal menyedihkan yang amat dalam yang harus dilupakan. Dan saya harus berbuat sesuatu untuk melupakan itu, dengan membuat film,” ujar Wregas.
Namun tidak mau melulu berangkat dari kesedihan. Menurutnya sesuatu yang menggembirakan juga menjadi sisi lain baginya, yang harus diangkat. Dua hal tersebut, menjadi dasar bagi film-film Wregas.
Lembusura misalnya. Film ini adalah gambaran bagaimana masyarakat Jawa memaknai hujan abu di Gunung Kelud Yogyakarta dengan cara yang berbeda. Bukan lagi yang diratapi dengan kesedihan, tapi justru penyajian film ini kental dengan nuansa humor yang mengundang gelak tawa penonton.
“Bagaimana masyarakat Jawa memaknai sesuatu bencana bukan sebagai kesedihan tapi suatu proses yang harus dilewati dan pastinya akan ada kebahagiaan setelah itu,” tuturnya.
Atau Lemantun, kisah yang diambil dari pengalaman pribadinya keluarganya ini juga secara umum hampir terjadi di setiap keluarga. Mengangkat hal-hal psikologis yang dihadapi orang tentang hidup menjadi concern Wregas dalam membuat film.
Setelah ini, Wregas tengah menyiapkan karya terbarunya. Sebuah film panjang pertama akan digarap Wregas di tahun 2017 mendatang. Film yang bertutur tentang Jakarta, begitu ia memberikan sedikit gambaran tentang features film perdananya.
Enam tahun tinggal di Jakarta, menurutnya menjadi saat tepat kali ini ia bercerita tentang kota Metropolitan, tempatnya menimba ilmu sekaligus mendalami dunia film.
“Features film pertama saya akan bercerita tentang Jakarta. Enam tahun di Jakarta, dan harus ada yang diceritakan,” ujar Wregas.
Kembali mengingat-ingat pesan sang senior, di mana film pertama adalah pembuktian jati diri. Bukan langsung menargetkan film akan meledak atau komersil. Yang juga bukan berarti tidak bisa dicapai, tapi mungkin di film-film berikutnya.
“Film pertama adalah pembuktian jati diri, jadi sebisa mungkin jangan jadi orang lain, itu pesan dari senior-senior saya,” ujarnya.
Framing Sederhana yang Bertutur
Saya bukan orang film. Saya hanya penonton. Jadi sepenuhnya ini opini saya sebagai penonton. Dari sisi teknis, gambar-gambar yang disajikan Wregas adalah gambar-gambar sederhana.
Framing yang tidak neko-neko namun bertutur. Mungkin itu yang membedakan dengan film komersil kebanyakan. Di mana lebih menonjolkan sisi estetis dibandingkan tutur yang sebenarnya harus disampaikan.
Namun justru framing sederhana dan tepat sasaran ini memberikan kesan estetis sendiri ala Wregas.
Ia sendiri mengakui kurang cocok dengan film komersil kebanyakan yang secara estetika dan penceritaan berbeda dari realita. Padahal sesungguhnya film sendiri adalah refleksi dari kehidupan nyata, bukan justru imitasi.
“Secara estetika dan penceritaan kurang cocok, karena realita tidak seperti itu. Tidak sesuai dengan cara pandang saya tentang film,” ujarnya.
Namun bukan berarti dia berjarak dengan industri film komersil. Bekerja sama dengan Miles Film, misalnya, menjadi bagian dari proses belajar Wregas untuk mendalami bagaimana produksi film bukan semata-mata dalam kancah yang lebih besar.
Menurutnya di sana ia belajar bagaimana memproduksi film secara sehat. Itulah atmosfir yang ia butuhkan saat ini.
“Di sana saya belajar bagaimana mengemas produksi secara sehat dan lancar. Bukan buat film sampai subuh, itu tidak pernah. Atmosfir ini yang saya butuhkan dan supaya nantinya saat saya direct film panjang, saya bukan diktator yang membuat crew menderita,” ujar Wregas. [b]