Saya heran dengan pebisnis-pebisnis pariwisata di Bali selatan.
Kenapa pebisnis pariwisata di Ubud, Nusa Dua, Kuta, Sanur dan sebagainya tak bersikap galak terhadap rencana ngotot investor membuat pulau ratusan hektar di Teluk Benoa itu?
Seandainya mereka bersikap, tentu ribuan orang yang protes di jalanan itu akan bertambah kekuatannya. Jika mereka, orang-orang berduit yang bisnisnya menggantungkan diri dari pariwisata ini, ikut mengerahkan tenaganya menahan laju para rakus maka kekuatan rakyat akan bertambah.
Memang ada beberapa organisasi pengusaha pariwisata yang ikut menolak, namun alangkah baiknya jika lebih banyak lagi dan berlipat ganda. Orang-orang berduit ini adalah jenis rakyat yang bersifat “khusus”. Sebab, mereka punya modal dan jaringan luas yang bisa menambah daya gedor perlawanan.
Bayangkan jika pulau buatan itu benar berdiri. Bisa jadi pulau ini akan menjadi daerah pariwisata baru yang lebih menarik daripada tempat wisata lainnya di Bali.
Hal ini bukan tidak mungkin, sebab pulau itu terlihat lebih spesial. Di atasnya akan berdiri tempat wisata bernuansa modern. Ada golf, hotel, bahkan konon tempat hiburan sekelas Disneyland, dan sirkuit balapan. Di sana sekaligus juga akan ada tempat wisata bernuansa tradisional, gedung kesenian sekelas Art Center.
Bukankah ini bisa mengancam bisnis wisata di daerah lainnya di Bali? Ibaratnya daftar menu yang menyediakan berbagai pilihan, wisatawan yang sudah masuk ke dalam pulau ini tak perlu jauh-jauh ke Ubud untuk melihat tarian Bali, atau tak perlu bermacet-macet ke Kuta untuk berdisco sebab semuanya ada di pulau ini.
Karena posisi pulau ini juga sangat strategis dengan Bandara Ngurah Rai dan pulau ciptaan manusia ini terlihat lebih canggih daripada pulau Bali ciptaan sang pencipta, maka sangat mungkin pulau ciptaan investor ini terlebih dahulu “membajak” pundi-pundi yang seharusnya menyebar ke tempat wisata lainnya di Pulau Bali.
Tambahan lain adalah rusaknya pemandangan pesisir Bali Selatan karena dampak abrasi yang diprediksikan menimpa daerah itu jika pulau 700 hektar ini benar berdiri. Oleh sebab itu persoalan menolak reklamasi berkedok revitalisasi di Teluk Benoa bukan semata menyangkut persoalan kerusakan alam, melainkan petaka yang ditimbulkannya terhadap ekonomi pariwisata.
Mari kita melihat ke belakang. Beberapa minggu yang lalu kita dibuat terkejut menghadapi banjir. Padahal hujan beberapa jam, namun di beberapa tempat banjirnya sudah selutut. Masyarakat Bali terasa belum siap, banyak yang panik, dan bingung.
Amburadulnya tata kelola sampah, tata ruang semrawut, maraknya alih fungsi lahan ditambah kehadiran pulau yang merusak fungsi Teluk Benoa sebagai ruang tampungan air, tentu bisa membuat banjir semakin mengganas saat musim hujan mendera. Petaka banjir ini tak hanya merusak roda bisnis, pariwisata, namun merusak roda bisnis apaupun di Bali.
Jargon-jargon “pulau buatan ini adalah milik Bali”, adalah takhayul yang sengaja diciptakan agar pulau ini terlihat ramah bagi semua orang. Ini taktik dagang, semua pedagang akan menggunakan taktik yang sama agar produknya terlihat baik dan berguna bagi semua orang.
Padahal dalam dunia dagang di era pasar bebas ini kompetisi liar adalah sah, dan pedagang yang kuat akan meminggirkan pedagang kecil lainnya.
Kita sudah banyak melihat para pemenang adalah kongsi para saudagar kaya raya yang didukung pemegang kebijakan, yang bisa membelokan hukum, membelokan yang salah jadi benar dan yang benar jadi salah.
Jika kita tak pingin kalah dalam persaingan, sudah sepantasnya menolak proyek ini. Pesisir Bali selamat, sekaligus dan dompet Anda juga selamat. [b]