Desa Batubulan merupakan desa yang terletak di sisi paling barat Kabupaten Gianyar sehingga posisinya sebagai lahan spasial pinggiran Kota Denpasar meningkatkan daya strategis dan nilai pada wilayah Desa Batubulan khususnya pada sektor penggunaan lahan.
Desa Batubulan berbatasan langsung dengan Kota Denpasar, kemudian jarak tempuh menuju kabupaten lain di sekitar juga cukup dekat, misalnya Kabupaten Tabanan Kecamatan Kediri yang bisa dijangkau hanya dengan 30-40 menit berkendara atau Kabupaten Badung khususnya Kecamatan Abiansemal sekitar 20-30 menit.
Tak mengherankan bahwa banyak warga pendatang atau krama tamiu yang berdomisili di Desa Batubulan dan menciptakan keberagaman di dalamnya. Desa Batubulan memiliki tanah adat cukup luas, hal ini didukung dengan morfologi Desa Batubulan yang cenderung landai dengan kemiringan berkisar antara 0-15%.
Perkembangan tanah adat yang dapat dilihat secara nyata melalui perubahan fisik adalah alih fungsi lahan. Misal menyusutnya lahan sawah dan juga tegalan yang difungsikan sebagai tempat pemukiman bagi para pendatang yang tinggal di Desa Batubulan.
Dalam rentang waktu 30 tahun data menunjukan adanya penyusutan lahan sawah di Desa Batubulan seluas 57,5% atau rata-rata 11,03 Ha per tahun. Penyusutan lahan pertanian di Desa Batubulan didukung dengan adanya pertumbuhan penduduk yang sangat pesat.
Sejarah ruang
Dimensi waktu menjadi aspek yang penting dalam menunjukan proses dan tahapan-tahapan perubahan yang terjadi, apabila dilihat dari masa kerajaan sekitar tahun 1910, Desa Batubulan memiliki pola pemukiman yang memusat pada pempatan agung dengan konsep simpang empat pada umumnya atau di Bali dikenal degan catuspatha yang berasal dari kata catus yang berarti empat dan patha yang berarti jalan.
Catuspatha memiliki kaitan erat dengan masa kerajaan di Desa Batubulan, masa itu, kerajaan menjadi konsentrasi kegiatan bagi wilayah sekitarnya sehingga posisi-posisi ruang publik di Desa Batubulan berdekatan dengan Puri Batubulan (baca: kerajaan Batubulan), contohnya Lapangan Umum Chandra Muka Batubulan sampai Balai Budaya Batubulan yang berada di sisi Puri Batubulan.
Gambar 1 Tata Letak Lapangan Umum dan Balai Budaya Batubulan dengan Puri Agung Batubulan
(Sumber: Google Maps, 2024)
Masa kerajaan menjadi dimensi waktu yang penting bagi pola pemukiman dan penggunaan lahan di Desa Batubulan. Namun perubahan pada tahun 1960-1985 menjadi aspek yang memegang peranan fundamental atas pergeseran Desa Batubulan menuju desa yang terindustrialisasi hingga saat ini. Tahun 1960-1985 menjadi tahun-tahun di mana pusat perekonomian mulai muncul di beberapa titik Desa Batubulan.
Pariwisata Batubulan
Perkembangan pariwisata di Bali baru dimulai pada awal abad ke-20 dengan kedatangan kapal api Belanda yang terkenal dengan nama Konninklijk Paketvart Maatschapij (KPM) mengangkut wisatawan mengunjungi Bali melalui Pelabuhan Buleleng (Bali Utara). Membawa dampak perkembangan pariwisata lebih pesat khususnya berdampak pada Kabupaten Gianyar dan tentunya Desa Batubulan.
Pada tahun 1960 didirikan sekeha Barong Denjalan dan sekeha Barong Tegaltamu untuk pertama kalinya guna menarik wisatawan datang berkunjung ke Batubulan. Kemudian diikuti dengan pendirian PT. Industri Sandang Nusantara Unit Patal Tohpati yang berlokasi tepat di perbatasan Kota Denpasar dan Desa Batubulan pada tahun 1964. Perusahaan ini bagian dari BUMN dengan bentuk Persero di bidang industri tekstil Indonesia abad 21 yang memproduksi benang polyester dan memiliki daya saing internasional.
Kehadiran Patal Tohpati berdampak pada sektor sosial dan ekonomi masyarakat Batubulan. Khususnya dalam pergeseran fungsi lahan pertanian masa itu. Patal Tohpati kala itu menghadirkan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat Batubulan dan sekitarnya, dengan lapangan pekerjaan ini sekaligus mengundang masyarakat di luar Desa Batubulan bekerja di Patal Tohpati dan memilih menetap di wilayah yang dekat dengan Patal Tohpati yaitu Desa Batubulan.
Alih fungsi lahan pertanian sebagai tempat pemukiman bagi para pekerja yang ingin tinggal di Desa Batubulan dimulai dari sisi selatan, di belakang terminal Batubulan saat ini yang merupakan wilayah Desa Adat Dlod Tukad Batubulan. Sehingga wajar apabila perkembangan alih fungsi lahan di Desa Batubulan memiliki angka yang tinggi di wilayah selatan dengan permintaan yang terus meningkat setiap tahunnya.
Selain PT. Industri Sandang Nusantara Unit Patal Tohpati, disusul kemudian dengan pembangunan Gudang Bulog Bali pada tahun 1968 di Desa Batubulan. Gudang Bulog Bali dibangun untuk tempat penyimpanan dan penyosohan beras hasil dari Kabupaten Gianyar, bertempatan di sisi timur jalan yang mengindikasikan bahwa lahan yang difungsikan sebagai Gudang Bulog ini merupakan lahan pertanian yang dialihfungsikan.
Menurut panglingsir atau tetua di Desa Batubulan menyebutkan Desa Batubulan di sisi timur merupakan wilayah persawahan dan di sisi barat merupakan pemukiman krama desa Batubulan. Ditambah berdirinya PT. Kresna Karya pada tahun 1970 yang merupakan perusahaan industri farmasi juga menambah daya tarik masyarakat untuk tinggal di Desa Batubulan,
Periode 2000 hingga 2016 menunjukkan peningkatan alih fungsi lahan pertanian yang cukup tinggi di Desa Batubulan. Penyusutan lahan pertanian hingga tahun 2005 sejak 1998 total tercatat seluas 112 Ha, tercatat melalui Data Monografi Desa Batubulan.
Krisis moneter nasional pada 1997-1998 berpengaruh pada nilai rupiah berbanding dengan nilai tukar dollar AS yang melambung tinggi. Lebih jauh, melalui hal tersebut memunculkan fenomena para pekerja Indonesia yang bekerja di luar negeri membeli tanah di Bali sebagai bentuk investasi, karena hal ini menguntungkan dengan nilai tukar dollar yang tinggi kemudian dipicu dengan situasi harga lahan yang tidak stabil.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, pola pemukiman penduduk di Desa Batubulan kala itu mulai menyebar dan tidak lagi berpusat pada area Puri Agung Batubulan. Penduduk pendatang mulai mengekspansi lahan-lahan pertanian yang membentuk area memencar dan melompat-lompat. Penyusutan lahan menjadi cenderung stagnan hingga tahun 2019 dan tidak mengalami satu masa lompatan yang drastis hingga di tahun 2020 pandemi Covid-19 yang menyebabkan alih fungsi lahan menurun akibat kondisi perekonomian yang menurun bagi beberapa pihak. Perubahan akibat alih fungsi lahan kembai di akhir tahun 2021 hingga saat ini.
Dampak alih fungsi lahan
Segala sesuatu yang terjadi di tengah-tengah masyarakat akan selalu memberikan dampak atas kerugian ataupun keuntungan di sekitarnya, alih fungsi di Desa Batubulan memberikan dampak yang signifikan atas beberapa hal. Satu di antaranya adalah dampak pada lingkungan, lahan produktif yang dulunya difungsikan sebagai sawah saat ini tergantikan dengan beton.
Bukan sesuatu yang aneh lagi bila menemukan bekas bungkus detergen, sabun mandi hingga gosok gigi bekas di pinggir aliran sungai sepanjang Desa Batubulan. Akan lebih terasa bila masa penghujan datang dan menghanyutkan sandal hingga pakaian warga menuju ke selatan, di sisi timur Terminal Batubulan menjadi lokasi langganan favorit banjir sekaligus sejalan dengan situasi pemukiman yang sangat padat di wilayah tersebut.
Limbah rumah tangga mendominasi dan juga limbah produksi atas industri-industri yang hadir di sekitaran Desa Batubulan. Lebih jauh, ketika banjir menyapa ditambah kemacetan di jalanan Batubulan setiap sore menjelang malam sepulang bekerja menjadi paket komplit untuk misuh-misuh. Apabila sawah di Desa Batubulan, bisa dijaga dapat dijadikan bagian dari daya tarik wisata untuk melengkapi penampilan tari barong dan kecak di sepanjang jalan. Terlebih lagi Desa Batubulan tidak perlu bersusah payah untuk membentuk branding mulai dari nol sebagai desa wisata, hanya perlu dipertahankan dan dijaga saja kok!
Lahan ini milik siapa?
Yang menarik dipertanyakan adalah menyoal status sejumlah lahan yang diperjualbelikan. Krama desa menyebutkan ada tanah yang diperjualbelikan merupakan tanah ayahan desa. Tanah inimerupakan tanah milik desa yang diberikan kepada krama desa atas tanggung jawab pengelolaan dan hak menikmati hasil tanah ayahan desa tersebut.
Ada indikasi penyimpangan atas nilai tanah ayahan desa yang seharusnya dipertahankan atas dasar nilai-nilai budaya, tradisi dan leluhur. Bagaimana tanah ayahan desa tersebut dapat diperjualbelikan? Apakah tidak ada awig-awig yang mengaturnya?
Desa Adat Dlod Tukad Batubulan, adalah salah satu desa adat di Desa Batubulan selain Desa Adat Jero Kuta dan Desa Adat Tegaltamu. Dalam awig-awignya secara jelas menyebutkan pada Palet 1 Indik Krama Desa Pawos 6, 1988 “Tan kalugra ngadol utawi makidihang, ngadeyang padruwen desa yan tan kasungkemin olih krama desa”.
Gambar 2 Awig-awig Desa Adat Dlod Tukad Batubulan Palet 1 Indik Krama Desa Pawos 6, 1988. (Sumber: Dokumentasi pribadi, 2024)
Hukumnya sudah jelas secara awig-awig yang merupakan produk hukum adat dan sah sebagai landasan hidup krama desa. Begini tanggapan dari Ni Ketut Martini selaku krama desa Adat Dlod Tukad Batubulan melihat fenomena ini. ”Nah kudiang men, nak sube kadung meadep masak to jani tagih? Nak konyangan care jani e perlu pipis. Anggo ngasukin panak, anggo mayah kontrakan, liu sajan gaen pis e. Ape buin misi piodalan di sanggah. Dadi ben sing nganggo pipis?”
Menjual tanah ayahan desa itu bukan solusi, seharusnya tanah ayahan desa itu dikelola dengan baik sebagaimana caranya agar bisa menghasilkan dan membantu biaya hidup. Memangnya kita yang beli? Itu kan milik leluhur, dan itu adalah peninggalan leluhur yang bisa kita pertahankan. Seharusnya kita malu menjualnya.
Di sisi lain ada krama desa yang mempertahankan tanah ayahan desa tetap dipertahankan sebagai lahan produktif sebagai sawah dan dikelola untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Meski secara hasil tentu tidak akan sebanyak dari hasil jual tanah ayahan desa, tetapi nilai-nilai keberlanjutan yang terkandung di dalam tanah ayahan desa akan sangat dirasakan oleh generasi-generasi penerus. Maka penting bagi kita sebagai generasi penerus ikut serta menunjukan sikap dan mempertahankan kesadaran atas nilai fundamental leluhur dalam tanah ayahan desa. Karena sejatinya leluhur kita sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebagai warisan atas nilai-nilai sustainable yang berdampak pada kehidupan anak, cucunya nanti.