Foto bersama peserta sosialisasi pengawasan pemilihan serentak Tahun 2024. Foto oleh: I Gusti Ayu Septiari
Sosialisasi pengawasan pemilihan serentak Tahun 2024 di Kota Denpasar telah dilaksanakan di Aston Denpasar Hotel & Convention Center pada Senin, 30 September 2024. Bukan panitia pengawas yang memenuhi ruang konferensi di Aston pada hari itu, melainkan sahabat disabilitas yang terhimpun dalam berbagai komunitas, mulai dari penyandang disabilitas sensorik rungu, disabilitas sensorik netra, dan disabilitas fisik. Salah satu materi yang disampaikan pada sosialisasi tersebut adalah “Penguatan Hak Konstitusi Pemilih Rentan dalam Pemilihan Serentak Tahun 2024” yang disampaikan oleh Kepala Dinas Sosial Kota Denpasar, I Gusti Ayu Laxmy Saraswaty.
Berdasarkan data PPKS (Pemeluk Pelayanan Kesejahteraan Sosial) Tahun 2023, jumlah penyandang disabilitas di Kota Denpasar adalah 1740 orang. Dari 1740 penyandang disabilitas di Kota Denpasar, terdapat 1434 orang yang masuk ke dalam data pemilih penyandang disabilitas di Kota Denpasar. Berdasarkan data ini Laxmy menekankan persamaan hak pilih yang semestinya diperoleh pemilih disabilitas di Kota Denpasar.
Selama ini belum ada TPS khusus yang menyediakan sarana dan prasarana maupun pendampingan khusus untuk pemilih disabilitas. “Kami ingin agar teman disabilitas kami juga memiliki suara pada saat pemilu nanti. Jadi meski bukan berdasarkan data yang masuk data sekian, tapi bagaimana akses itu bisa diraih ke tempat pemungutan suara,” jelas Laxmy.
Dalam hal ini, Dinas Sosial Kota Denpasar berperan memberikan akses partisipasi kepada penyandang disabilitas. Dari sekian pemilu sejauh ini, Laxmy mengamati bahwa sahabat disabilitas mengalami kesulitan ketika mengikuti pemilu. Seperti salah satu penyandang disabilitas fisik yang menceritakan pengalamannya ketika mengikuti pemilihan umum beberapa waktu lalu. Saat itu ia pergi ke tempat pemilihan suara menggunakan kursi roda. Seperti yang diketahui, bilik suara di Indonesia sangat sempit. Hal itu tentu menjadi hambatan baginya untuk melakukan pencoblosan di dalam bilik suara. Solusi yang ditawarkan oleh panitia saat itu adalah memilih di luar bilik suara. Ia mengungkapkan bahwa solusi tersebut menghilangkan asas kerahasiaan dari sebuah pesta demokrasi.
Ketika proses diskusi, seorang penyandang disabilitas sensorik rungu juga menceritakan kisahnya saat melakukan pemilihan. Tiba di TPS, sama sekali tidak ada petunjuk tertulis. Ketika ia bertanya kepada petugas, petugas tidak dapat menjelaskan atau mengartikan apa yang ia butuhkan. Sahabat penyandang disabilitas sensorik rungu berharap ada running text yang menampilkan nama ataupun nomor saat mencoblos karena mereka tidak mendengar, atau setidaknya panitia dapat menyediakan teks tertulis yang dapat mereka lihat.
Dinas sosial terus berkolaborasi dengan KPU, Bawaslu, dan teman-teman disabilitas untuk mendorong penyelenggaraan pemilu yang dapat diakses oleh sahabat disabilitas. Laxmy berharap bahwa nantinya terdapat TPS khusus untuk penyandang disabilitas, sehingga memberikan kenyamanan bagi mereka. Ia menyadari bahwa hal tersebut memang tidak memungkinkan, tetapi setidaknya dia berharap tiap TPS menyediakan template braille yang merupakan alat bantu penyandang disabilitas netra. Selain itu, tiap TPS juga harus menyediakan aksesibilitas yang ramah disabilitas agar mudah dijangkau oleh penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda.
Hal ini nantinya juga akan menjadi momentum yang tepat bagi penyandang disabilitas di usia remaja nanti yang akan memasuki usia 17 tahun yang terdata di Sekolah Luar Biasa (SLB) atau mungkin saja kedepannya mereka menjadi disabilitas karena sebuah kecelakaan maupun penyakit. “Ketika mereka menggunakan hak suaranya, setidaknya kita sudah memiliki SOP yang baik dan benar,” ungkap Laxmy.
Proses pemilihan suara penyandang disabilitas tentunya tidak luput dari peran pendamping atau keluarga. Kebanyakan keluarga pendamping menganggap bahwa mengikutsertakan keluarganya yang memiliki disabilitas adalah hal yang rumit, padahal satu suara itu sangat berguna untuk masa depan bangsa dan masa depan kemajuan pembangunan. “Inklusif bukan pada saat seminggu mau pemilu, tetapi dia sudah terinklusif jauh hari. Mungkin ada pelatihan dulu kepada pendampingnya,” ujar Laxmy.
Di samping hak dasarnya, hak politik bagi penyandang disabilitas wajib dipenuhi. Kota Denpasar termasuk kategori kota pertama yang ramah inklusif dan sudah seharusnya pemilu juga mulai didorong untuk inklusif. Inklusif dalam artian melibatkan seluruh lapisan masyarakat tanpa meninggalkan salah satunya, termasuk masyarakat penyandang disabilitas yang juga memiliki hak suara.