Belasan mahasiswa dan aktivis lingkungan kembali beraksi toal Bali International Park.
Mahasiswa dan aktivis yang tergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Demokrasi dan HAM (ARDHAM) itu kembali turun ke jalan untuk memeringati Hari Hak Asasi Manusia (HAM Internasional. Massa dari Frontier Bali dan Walhi Bali itu berorasi di depan kampus Universitas Udayana jalan Sudirman Denpasar. Mereka membentangkan spanduk dengan tulisan, “Pemerintah SBY Gagal Memberikan Perlindungan HAM untuk Rakyat” dan “Tolak Bali Internasional Park”.
Massa menilai tujuh tahun pemerintahan SBY hingga tahun 2011 masih diwarnai kasus-kasus pelanggaran HAM. Misalnya, intimidasi aksi buruh Freeport, penembakan masyarakat dan mahasiswa di Tiaka, Sulawesi, perampasan tanah petani dan kasus pelanggaran HAM lainnya.
I Wayan Widyantara, koordinator aksi menyatakan bahwa aksi ini bertujuan untuk menggugat kebijakan SBY yang tidak memberi perlindungan HAM kepada rakyat. “Percepatan ekonomi pariwisata dan pembangunan BIP merupakan kebijakan yang dipaksakan dengan tidak mengukur daya dukung lingkungan Bali,” tegas Widi.
Kebijakan SBY mengenai Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakan percepatan ekonomi yang berpotensi memassifkan eksploitasi sumber daya alam dan konflik sosial dengan masyarakat lokal. Kebijakan ini menempatkan beberapa daerah yakni Sumatera, Kalimantan dan Papua sebagai Pemasok hasil alam terutama tambang dan hasil hutan.
Ketika terjadi gerakan rakyat yang menuntut hak, maka pemerintah akan menjawab dengan alat represif seperti polisi dan militer.
Krisis
Bali, menurut MP3EI, diposisikan sebagai daerah gerbang pariwisata. Dalam kebijakan ini, diupayakan menggenjot tingkat kunjungan wisatawan untuk meningkatkan pendapatan Negara. Upaya ini dinilai tidak sinkron dengan kondisi Bali yang masih berkutat dengan krisis air, sampah, limbah hotel, dan kemacetan tranportasi.
“Bali diprediksi akan mengalami krisis air pada 2015 sebesar 27 milyar kubik akibat eksploitasi ini,” tegas Widi yang juga mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana angkatan 2008 ini.
Dalam orasinya, massa aksi mempermasalahkan pembangunan BIP yang terlihat dipaksakan. Pasca Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, menyatakan batal menggunakan BIP sebagai sarana KTT APEC XXI karena pembangunannya terhambat izin. Namun, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Marie Elka Pangestu dan Jero Wacik selaku Ketua MP3EI Wilayah Bali tetap memaksakan BIP sudah berdiri dengan alasan surat-suratnya sudah ada.
“Pertanyaannya, ketika KTT APEC XXI tidak jadi menggunakan BIP, mengapa BIP tetap dipaksakan dibangun?” tegas Pande, peserta aksi lain, dalam orasinya.
Selain itu, pembangunan sarana KTT APEC XXI ini juga akan menggusur ratusan petani yang sudah mengolah lahan tersebut secara turun temurun sejak tahun 1970-an. Lahan tersebut kemudian dikuasai oleh investor BIP pada tahun 1994 namun tidak pernah dibangun sesuai dengan ijin yang diterimanya.
“Berdasarkan UUPA dan PP 11/2010, tanah tersebut seharusnya dikuasai Negara untuk reforma agraria,” tegas Pande selaku aktivis Frontier Bali.
Menutup aksinya, massa kemudian membacakan tuntutannya antara lain menuntut Pemerintahan SBY – Boediono menghentikan segala bentuk tindakan represif terhadap gerakan rakyat, petani, buruh, mahasiswa dan elemen lain dalam menuntut hak-haknya.
”Kami juga menolak BIP yang merupakan proyek prestisius pemerintah pusat karena menggusur petani dan mengabaikan daya dukung lingkungan,” pungkas Widi. [b]