Serupa cendawan di musim hujan, suara perlawanan terus bermunculan.
Minggu kemarin, tiga baliho menolak reklamasi Teluk Benoa baru muncul di Desa Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali.
Baliho-baliho itu dipasang di tiga titik yaitu Jalan Raya By Pass Ngurah Rai, di pertigaan Jalan Toyaning, dan di depan pertokoan Benoa Square.
Baliho ketiga dipasang dengan iringan demonstran. Sekitar 100 warga, laki-laki dan perempuan, berpakaian adat madya mengiringi pemasangan baliho tersebut.
Mereka berkaos putih seragam dengan tulisan bernada sama, Kedonganan Tolak Reklamasi. Bendera dan spanduk yang dibawa juga menyuarakan penolakan sama, mereka menolak reklamasi Teluk Benoa yang berjarak hanya sekitar 1 km dari tempat tinggal mereka.
Berjalan sekitar 200 meter dari pertigaan Jalan Toyaning ke Benoa Square, para warga bernyanyi dan berorasi. Musik tradisional bleganjur dan lagu-lagu Tolak Reklamasi mengiringi perjalanan tersebut.
“Reklamasi….” teriak koordinator lapangan I Dewa Ketut Subamia yang berdiri di mobil terbuka melalui pengeras suara.
“Tolaaaaak,” sahut warga menjawab berbarengan. Mereka mengepalkan tangan kiri ke udara.
Kedonganan merupakan salah satu desa yang mengelilingi Teluk Benoa. Selain desa ini, ada pula desa-desa lain seperti Desa Serangan, Tuban, Kelan, Bualu, dan lain-lain. Desa-desa ini mengelilingi kawasan teluk seluas sekitar 1.373 hektar ini.
Karena lokasinya yang strategis tersebut, Teluk Benoa menjadi incaran banyak investor. Salah satunya PT Tirta Wahana Bali International (PT TWBI) yang akan membangun pusat kegiatan pariwisata sekelas Walt Disney. Untuk mewujudkan niat tersebut, perusahaan milik taipan Tomy Winata ini akan mereklamasi teluk seluas sekitar 800 hektar.
Namun, niat PT TWBI untuk mereklamasi ini menimbulkan ketakutan pada warga desa-desa sekitar Teluk Benoa, termasuk warga Desa Kedonganan.
“Kami tidak mau daerah kami akan kebanjiran jika reklamasi Teluk Benoa jadi dilaksanakan,” kata I Gede Sudiana, Ketua Forum Pemerhati Pembangunan Bali (FPPB) Desa Kedonganan.
Karena itulah, warga Desa Kedonganan menolak rencana reklamasi tersebut.
Mematikan
Sudiana yang ikut dalam aksi menolak reklamasi Teluk Benoa memberikan dua alasan lain. Pertama karena reklamasi akan mematikan nelayan setempat. Saat ini, kata Sudiana, ada sekitar 200 warga Kedonganan yang jadi nelayan di Teluk Benoa. Sehari-hari, para nelayan mencari ikan di wilayah teluk yang nantinya akan direklamasi.
“Jika tempat kami mencari ikan nanti direklamasi, ke mana kami harus mencari sumber penghidupan,” tanya Sudiana.
Alasan lain, Sudiana melanjutkan, warga khawatir pembangunan pusat pariwisata baru di Teluk Benoa justru akan mematikan sumber pendapatan warga yang lain.
Kedonganan selama ini menjadi pusat restoran khas ikan laut. Restoran-restoran milik warga berderet di sisi barat pantai yang menghadap ke arah Bandara Ngurah Rai Bali tersebut.
“Kalau ada pusat pariwisata baru, apalagi didukung kapital lebih besar, kami yakin tempat wisata di daerah kami akan mati karena kalah bersaing,” tambah Sudiana.
Karena itulah, menurut Sudiana, Pemerintah Kabupaten Badung dan Provinsi Bali harus menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. “Kami tidak menolak pariwisata. Kami hanya berharap agar pembangunan pariwisata dikembangkan ke daerah lain di Bali seperti di bagian timur atau utara. Bali selatan sudah penuh dengan fasilitas pariwisata,” katanya.
Penolakan warga Kedonganan tersebut diwujudkan dalam bentuk aksi termasuk pemasangan spanduk dan pengibaran layang-layang bertuliskan Kedonganan Tolak Reklamasi hari ini.
Takut Abrasi
Suara-suara penolakan warga tersebut tak hanya dari Kedonganan. Sebelumnya, penolakan juga muncul dari desa lain seperti Desa Tanjung Benoa, Kelan, Sanur, Suwung, dan Sukawati. Penolakan itu pada umumnya dikoordinir para pemuda.
Di Desa Kelan, yang berlokasi di sebelah Bandara Ngurah Rai, misalnya muncul baliho di pinggir jalan. Tulisannya Desa Kelan Menolak Reklamasi. Melawan atau Tenggelam.
Di Suwung, baliho serupa juga dipasang di pinggir Jalan By Pass Ngurah Rai. Isi tulisannya Jangan Tenggelamkan Kami Bapak Presiden SBY. Bali Tolak Reklamasi Batalkan Perpres No. 51/2014.
Baliho serupa juga muncul di Sukawati, Gianyar yang berjarak sekitar 20 km dari Teluk Benoa. Kelompok pemuda desa ini memasang baliho penolakan reklamasi pekan ini.
Kadek Tila, salah satu pemuda yang memasang baliho tersebut menuturkan, mereka menolak reklamasi Teluk Benoa karena khawatir desa mereka akan kena dampak abrasi. “Sekarang saja sudah kena abrasi, apalagi kalau nanti reklamasi Teluk Benoa jadi dilakukan,” kata Tila yang juga pemilik agen perjalanan.
Menurut Tila, desa-desa di sisi selatan Kabupaten Gianyar merupakan daerah yang rentan kena dampak reklamasi Teluk Benoa. Pantai-pantai selatan di kecamatan ini antara lain Pantai Ketewel, Purnama, dan Lebih akan terkena abrasi parah.
Hingga awal 1990-an, pantai di daerah ini masih menjorok ke lautan. Namun, begitu ada reklamasi di Pulau Serangan milik PT Bali Turtle Island Development (BTID) milik Bambang Trihatmodjo pada 1994, daerah ini makin terkena abrasi. Bangunan-bangunan seperti kafe, wantilan, dan rumah warga kini hancur akibat kerasnya abrasi.
“Jika nantinya reklamasi Teluk Benoa jadi dilakukan, habislah pantai di desa kami,” ujar Tila. Karena itu, menurut Tila, reklamasi Teluk Benoa tak hanya mengancam desa-desa di sekitarnya tapi juga pantai-pantai lain di Bali.
Maka, penolakan terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa pun terus muncul di berbagai tempat. Tak hanya di desa sekitar Teluk Benoa tapi juga hingga ke Sukawati di Gianyar dan bahkan pegunungan Bali seperti Penebel, Tabanan.
Penolakan-penolakan tersebut ada yang dilakukan secara spontan, misalnya di Kedonganan, namun ada pula yang melalui koordinasi dengan Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali).
Menurut Koordinator ForBali Wayan Gendo Suardana, hingga saat terdapat 13 komunitas di Bali yang sudah melakukan suara penolakan tersebut. Ada yang dilakukan Seka Teruna Teruna, kelompok pemuda banjar, ataupun komunitas warga yang peduli.
Komunitas-komunitas tersebut tersebar di 9 desa di Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan.
“Suara-suara perlawanan itu menunjukkan bahwa reklamasi Teluk Benoa memang menjadi masalah bagi seluruh warga Bali,” kata Gendo. [b]