Teks dan Foto Anton Muhajir
Pengguna narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain (Napza) di kawasan regional Asia Pasifik masih menghadapi masalah terkait dengan akses layanan kesehatan. Layanan kesehatan di negara-negara kawasan ini belum menggunakan hak asasi manusia sebagai dasar. Perlu ada kebijakan di tingkat nasional dan lokal selain juga keterlibatan pengguna Napza untuk mewujudkan perubahan layanan kesehatan yang lebih manusiawi pada pengguna Napza.
Masalah ini mengemuka dalam forum diskusi injecting drug user (IDU) bertema Reform: Toward Human Right Based Drug Policy di Sanur Bali pada Sabtu (8/8). Forum para pengguna napza dengan jarum suntik (penasun) dalam rangka The 9th International Congress on AIDS in Asia and the Pasific (ICAAP 9) itu diikuti sekitar 100 orang dari jaringan IDU di Asia dan Pasifik termasuk Australia, India, dan Cina.
Dean Lewis, anggota Asian Network for People who Using Drug (ANPUD), mengatakan harm reduction sebagai upaya untuk mengurangi pengurangan dampak buruk di kalangan IDU masih belum menjadi strategi nasional di sebagian besar negara-negara di kawasan Asia Pasifik.
Annie Maiden dari Australian Injecting and Illicit Drug Users League (AIVL) pun menyampaikan hal yang tak jauh berbeda dengan Dean. Menurut Annie treatment untuk IDU di Australia pun masih jauh dari perspektih hak asasi manusia. (HAM). “There is a lot of problem to IDU to get access for hepatitis C treatment,” ujarnya.
Menurut Annie, saat ini di Australia terdapat sekitar 250 ribu orang terifeksi hepatitis C yang sebagian besar adalah IDU. Meski demikian para IDU tersebut justru takut untuk mencari pelayanan kesehatan terhadap penyakitnya tersebut. “IDU scared to get hep C treatment. They worried about discrimination they will faced. Hepatitis C is complex issue in Australia,” lanjut perempuan ini.
Hal ini terjadi, lanjut Annie, karena IDU masih sering mendapat diskriminasi. Meskipun Australia sudah memiliki aturan yang melarang diskriminasi terhadap ras, pemeluk agama dan orientasi seks, namun belum ada aturan yang melarang diskriminasi terhadap IDU.
Annie melanjutkan meskipun Australia sudah selangkah lebih maju karena tidak memiliki hukuman mati (death penalty) untuk drug user ataupun drug dealer seperti halnya Indonesia dan Amerika namun Australia masih mengkriminalkan drug user. Salah satunya adalah dengan memenjarakannya dalam waktu lama.
“In fact, they will stay in prison for rest of their life,” tambahnya.
IDU di Australia, lanjut Annie, juga harus membayar treatment mereka sendiri. Besarnya biaya treatment tersebut antara Aus $ 4 sampai Aus $ 12 per hari. Jumlah tersebut termasuk besar untuk IDU di Australia sehingga tidak sedikit IDU yang harus melakukan tindak kriminal untuk membayar treatment tersebut.
“Australia have a very bad record about human rights issue related to IDU,” ungkapnya.
Menurut Dean, kurangnya layanan kesehatan yang manusiawi untuk IDU menuntut peran aktif dari IDU sendiri untuk mengubahnya baik di tingkat lokal maupun di tingkat regional melalui jaringan yang ada. Namun, selain persoalan akses kesehatan, di kalangan IDU sendiri pun masih ada masalah untuk membangun jaringan IDU di kawasan ini. Pertama adalah masalah bahasa. “We all speak different language. How we communicate by different language among us,” kata Dean.
Kedua, lanjut IDU dari India ini, jaringan IDU regional juga menghadapi kendala kurangnya funding untuk melaksanakan kegiatan. “If we don’t have sufficient resources, include fund, how we disseminate our program,” ujarnya.
Ketiga, Sebagian besar IDU di negara-negara Asia juga belum masuk dalam jaringan seperti di Pakistan, Bhutan, Bangladesh, dan sekitarnya. Padahal di negara-negara tersebut, menurut Dean, jumlah IDU lebih banyak dibanding negara lain.
Agar IDU bisa terlibat dalam mengubah kebijakan yang lebih memperhatikan masalah hak asasi manusia termasuk akses kesehatan bagi IDU, Dean mengatakan bahwa ANPUD sebagai bagian dari International Network for People who Using Drug (INPUD) harus memiliki perwakilan di semua tingkat. Dengan begitu, menurutnya, IDU bisa memutuskan bagaimana treatment yang sesuai kebutuhan IDU.
Pembicara lain dari Indonesian Drug User Solidarity Association (IDUSA) Yvone Sibuea menambahkan hal tersebut. Untuk mewujudkan layanan yang lebih peduli HAM, para IDU harus terlibat aktif mendorong perubahan tersebut. Salah satunya adalah dengan mendorong agar ada perubahan di tingkat legislasi.
IDUSA, sebagai jaringan pengguna Napza di Indonesia sudah mendorong perubahan tersebut sejak 2006 lalu. Mereka mengampanyekan agar pengguna Napza tidak lagi dipidanakan telah melakukan tindak pidana kriminal. Sebab, menurutnya, pengguna Napza hanyalah korban dari peredaran gelap Napza. “Kami juga terus mendorong agar pengguna Napza mendapat vonis rehabilitasi, bukan penjara,” tambahnya.
Negara-negara di Asia Pasifik sendiri sudah menerapkan Konvensi Melawan Penyiksaan namun di tingkat lokal perlu ada aturan lebih lanjut agar konvensi itu bisa diterapkan. “It has to be a domestic law which match to international law,” kata Dean. [#]