
Banyak persoalan yang terjadi di dunia pendidikan di Indonesia. Sehingga sebagian orang tua mencari jalan alternatif untuk pendidikan buah hatinya. Begitu pula Inggrid Damayanty bersama suami yang berkomitmen memberikan pendidikan berbasis keluarga (homeschooling) untuk anak-anaknya.
Berangkat dari persoalan kualitas pendidikan, pergaulan yang tidak sehat di lembaga pendidikan formal, peer presure di sekolah, hingga biaya pendidikan yang bisa disesuaikan dengan kemampuan keluarga menjadi pertimbangan Inggrid memilih pendidikan alternatif homeschooling.
Sebagai pendiri Komunitas Bali Homeschooler dan koordinator simpul Perkumpulan Homeschooler Indonesia area Tabanan, Inggrid ingin mengembangkan minat dan bakat anak melalui pendidikan berbasis keluarga ini. Meski tak mudah karena banyak persoalan yang muncul di kalangan orang tua yang memilih pendidikan alternatif ini, tapi homeschooler berhasil memulai jaringan sejak awal era Reformasi. Berawal dari sapa-menyapa dan bertukar informasi via mailing list dan media sosial yang ada saat itu. Para orang tua yang memilih untuk mendidik anak di rumah sadar bahwa ada banyak persoalan yang dihadapi sebagai kelompok “minoritas” dalam dunia pendidikan Indonesia.
Beberapa hal yang menjadi persoalan homeschooler misalnya, kebijakan yang mengatur jalur pendidikan informal belum memadai. Aparat pemerintah maupun masyarakat umum banyak yang kurang/salah paham tentang homeschooling. Ada perlakuan diskriminatif pada anak-anak homeschooler. Banyak keluarga homeschooler yang tidak paham aturan-aturan legal yang menjadi landasan praksis. Termasuk belum terhubungnya keluarga homeschooler di berbagai kota dan provinsi
Berdasarkan informasi yang terpublikasi di website Perkumpulan Homeschooler Indonesia, pada akhir 2016, sejumlah orangtua homeschooler diskusi mendalam di Semarang. Lalu memutuskan untuk mendirikan organisasi demi menyikapi permasalahan para orang tua homescholing. Tanggal 20 Desember 2016, para inisiator menyepakati berdirinya organisasi yang kemudian dinamai Perkumpulan Homeschooler Indonesia, disingkat PHI.
Unschooling berasal dari kata un dan schooling. Dalam bahasa Inggris, awalan un- mengandung arti “bertentangan” atau “kontra”. Demikian pula unschooling secara harafiah punya makna kebalikan atau kontra dengan persekolahan. Bukan hanya berkebalikan dari sekolah, UN-schooling juga secara harafiah berarti mengembalikan ke situasi seperti saat belum ada sekolah.
Pendidikan Berbasis Keluarga adalah pendidikan yang meletakkan pertanggungjawabannya penuh pada keluarga. Ada sudut pandang yang berbanding terbalik antara pendidikan di sekolah formal dengan pendidikan berbasis keluarga. Sekolah formal menganggap bahwa seorang anak baru sekolah seperti gelas kosong, yang kemudian baru diisi setelah mendapat pendidikan di sekolah. Sedangkan pendidikan berbasis keluarga memercayai bahwa seorang anak terlahir sebagai kepribadian yang utuh. Keluarga memiliki peran untuk melihat seperti apa minat yang berkembang pada anak.
“Anak-anak bisa berlajar di mana saja,” kata Inggrid.
Orang tua memiliki posisi sebagai fasilitator yang bisa menambah sumber informasi untuk dibagikan ke anak. Metode Homeschooling lebih banyak belajar dari kehidupan sehari-hari. Inggrid merasa pendidikan berbasis keluarga memiliki kelebihan bisa belajar lebih mendalam. Di rumah anak-anak belajar seperti di dunia nyata. Bisa bertemu dengan anak-anak lintas usia, sehingga pergaulannya ada di segala usia.
Pendidikan berbasis keluarga berkaitan dengan pola asuh orang tua. Sebagai orang tua yang memberikan pendidikan penuh pada anaknya, tidak hanya anak yang belajar. Namun, juga dirinya, sebagai orang tua.
“Orang tua harus punya kesediaan untuk belajar juga, untuk mengikuti tumbuh kembang anak,” katanya.
Tak harus hal yang kompleks. Pendidikan berbasis keluarga bisa dimulai dengan menggali dari hal-hal yang disenangi anak. Misal, bila anak sedang senang melukis, maka orang tua bisa memfasilitasi dengan perlengkapan melukis. Sehingga ia bisa berkembang tanpa harus diasupi hal yang melebihi kapasitas.
Ada banyak metode pembelajaran yang berkembang untuk pendidikan di rumah ini. Namun, kata Inggrid, pemilihan metode belajar bisa disesuaikan dengan kebutuhan anak dan keperluan orang tua. Kuncinya melalui mengenali minat anak.
Rumus dasarnya sebetulnya sesederhana, kalau merasa sekolah sudah memenuhi semua idealisme dan kebutuhan soal pendidikan anak, tidak perlu menimbang-nimbang ingin homeschooling.
Sebaliknya, bila orang tua merasa ada yang tidak pas dengan praktik persekolahan, menganggap sekolah yang ada di sekeliling belum bisa memuaskan idealisme dan kebutuhan pendidikan keluarga, tentu saja berhak untuk menimbang-nimbang homeschooling.
Rumus ini didasari pemahaman bahwa sekolah atau homeschooling adalah sarana saja. Sarana diciptakan supaya manusia bisa mencapai tujuan. Untuk mencapai tujuan yang berbeda, sangat mungkin butuh sarana yang berbeda.
Bagi Inggrid, para orang tua homeschooler meyakini “pendidikan” lebih luas dibanding “persekolahan”. “Kami menentang kalau keduanya dianggap identik. Siapa bilang pendidikan hanya bisa terjadi di sekolah? Itu keliru besar,” ungkap koordinator Simpul PHI area Tabanan.
Paradigma inilah yang menyebabkan para homeschooler terbebas dari belenggu mitos bahwa “pendidikan = persekolahan” ini. Sehingga tidak takut memilih opsi pendidikan selain persekolahan. Karena berpusat pada tujuan, bukan alat.
Meski demikian, masih banyak masyarakat yang salah kaprah dengan sistem pendidikan di rumah ini. Inggrid menegaskan, kalau berada di bawah lembaga berarti bukan homeschooling. Itu masuk pendidikan non formal. Jadi banyak lembaga-lembaga non formal seperti flexischool, PKBM-PKBM yang mereka itu pakai embel-embel homeschooling.
Jadi di Indonesia, jika anaknya didaftarkan ke sebuah lembaga homeschooling disebut homeschooling. “Padahal kan sebenarnya tidak demikian. Kecuali kalau kelompok belajar anak-anak itu seperti komunitas homeschooling,” tegas Inggrid.
Komunitas ini bukan sebuah lembaga tapi kelompok yang berisi keluarga-keluarga praktisi homeschooling yang memang ingin berkumpul sesama praktisi. Jadi para praktisi inimengadakan kegiatan bareng-bareng dengan anak-anaknya. Sehingga tujuannya untuk membentuk ekosistem belajar. Bukan lembaga. Jadi tidak bayar kemanapun.
“Orang tua homeschooler kerjanya gotong royong, ngga ada uang sekolah atau apapun,” tutupnya.