Saya mulai merantau sejak tahun 2016 tujuannya untuk menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi negeri di Bali.
Jujur, saya sudah lupa apa yang memotivasi saya untuk pergi jauh dari rumah dan hidup sendirian di perantauan. Mungkin saya hanya ingin mencoba untuk bisa hidup sendiri atau mungkin karena saya suka tantangan.
Ketika baru pertama mendarat di bandar udara I Gusti Ngurah Rai, kesan pertama saya adalah Bali sangat penuh warna dan cerah. Kedua mata saya mengalami miopi, namun ketika sampai di Bali saya merasa pengelihatan saya langsung membaik.
Ya, itu hanya ungkapan yang berlebihan. Namun, ketika sampai di pulau yang indah ini, saya pun jatuh hati seketika. Saya memulai kehidupan jadi mahasiswa di Bali.
Tak ada rasa berdebar, seakan-akan hidup sendirian sebagai perantau adalah hal yang wajar dan biasa saja. Kalau kata salah satu penyayi pop Indonesia, seperti nuansa bening.
Satu tahun pertama sebagai mahasiswa, saya tinggal di asrama. Tinggal di asrama kampus tidak wajib, tapi bisa jadi alternatif yang relatif murah untuk para perantau. Lagipula, tinggal bersama dengan mahasiswa-mahasiswa lainnya bukan ide yang buruk. Malahan, saya merasa bersyukur karena saya bisa kenal banyak orang yang senasib sekaligus dapat banyak teman. Dari asrama ke kampus pun dekat, hanya 5 menit jalan kaki. Saat saya menulis ini, saya sudah tidak tinggal lagi di Asrama dan ternyata saya rindu saat-saat saya masih tinggal di sana.
Hidup tanpa kerabat atau keluarga di Bali tidak membuat saya merasa sendirian. Sejak sampai di Bali, hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari gereja. Di keluarga saya (keluarga Indonesia pada umumnya), memang ibadah adalah hal yang harus jadi prioritas.
Salah satu gereja di Nusa Dua pun menyambut saya dengan hangat. Sampai sekarang, saya tidak pernah merasa tidak punya siapa-siapa. Orang-orang di gereja selalu siap membantu dan merawat saya, rasanya seperti punya rumah kedua.
Sebagai keturunan suku Nias, saya juga ikut bergabung di paguyuban orang-orang Nias di Bali. Awalnya saya mengenal komunitas tersebut saat menonton pra-pertunjukan paduan suara di GWK dan salah satu penampilnya adalah paduan suara Nias. Pada acara tersebut saya bertemu seseorang yang ternyata mereka kenal dengan keluarga saya, katanya teman lama. Dunia memang sempit.
Setelah keluar dari asrama, saya mulai ngekos sendiri. Kehidupan jadi terasa lebih sulit seiring berjalannya waktu.
Mulai dari transisi dari tinggal bersama di asrama sekarang harus hidup sendirian, mata kuliah juga semakin sulit, kemudian peer presure melihat orang-orang seusia saya sudah mulai bekerja sampingan dan punya uang sendiri. Bukan saya tidak pernah mencoba, tapi memang kerja sambil kuliah bukan hal yang cocok untuk saya.
Tinggal sendirian membuat saya mulai memproses berbagai perasaan dan emosi yang sebelumnya saya abaikan. Rasa takut, sedih, sendiri, dan depresi jadi teman tiap malam. Ada saat-saat di mana saya menyesali keputusan untuk merantau. Rasanya saya akan lebih baik kalau bersama-sama keluarga saya saat itu.
Seiring berjaannya waktu, saya mulai menikmati hidup sendiri. Mungkin saat itu, saya takut karena saya belum tahu tujuan hidup saya ataupun mau jadi apa kelak. Takut masa depan tidak seperti yang saya bayangkan. Atau mungkin saya masih belum ikhlas untuk tumbuh jadi manusia dewasa, meninggalkan kenyamanan masa-masa remaja.
Jadi dewasa memang tidak pernah mudah. Saya mulai berusaha untuk meninggalkan zona nyaman saya, berani mengambil keputusan, menentukan pilihan, dan berani menerima konsekuensinya.
Merantau juga membuat saya semakin mengenal diri saya sendiri. Semakin paham bahwa saya harus mencintai diri saya sendiri dulu agar saya bisa menghadapi dunia dengan kekuatan penuh, dan tentu saja dengan senyuman.