Mendaki gunung bukanlah untuk menaklukkan alam tapi belajar tentang kearifan.
Pelajaran itu bisa diperoleh dari kerendahan hati, kebersamaan, kesediaan untuk berbagi, dan kerja keras mencapai puncak.
Di balik suara pelannya, Agung adalah pemandu yang selalu memberikan semangat. Dengan kupluk hitamnya, dia memandu para pendaki menuju puncak gunung tertinggi di Bali tersebut.
Satu setengah bulan dia bersama kami bersama kami menonton Piala Dunia di Puncak Tertinggi Bali. Suaranya pelan terdengar. Namun di balik kemeriahan suara pendaki, dialah yang menyemangati agar kami sampai di puncak. Baca “Nobar Piala Dunia di Puncak Tertinggi Bali.”
Ketika salah seorang dari kami bereuforia dengan bersuara keras maka ia pun menyapa, “Mas, apa gerakan kepala kita ketika mendaki, pasti menunduk melihat jalan”, paparnya.
“Begitupun kita dalam menggapai puncak, seyogyanya memiliki rendah hati yang sangat,” tambahnya.
Satu setengah bulan berlalu, kata-kata itu terekam jelas dalam ingatan ketika saya memilih jalur berbeda untuk mendaki. Kali ini dari jalur Besakih, Kabupaten Karangasem.
16/8/2014. Malam yang dingin di depan pertigaan kantor Polisi Pura Besakih. Kordinator Pemandu memberikn arahannya kepada 30 pendaki dari Bali Parkour. Dalam kata sambutannya I Komang kayun menyampaikan agar terus menjaga kekompakan dalam mendaki.
Dilarang berkata kata tak sopan. Bagi wanita yang datang bulan tidak dianjurkan untuk mendaki. Bagi yang memakan daging sapi agar tidak dibawa, mengingat Gunung Agung adalah Gunung suci umat Hindu.
Jalur Besakih adalah jalur konvensional dan paling panjang dilalui pendaki yang ingin menggapai puncak. Kami berangkat tengah malam, dibungkus gelap, ditemani dingin. Semua dihadapi bersama.
Usai 7 jam berjalan, langit pun nampak terang. Semua manusia melihat manusia lainnya, naik dan ada juga yang turun karena telah melihat sunrise di puncak.
Pada ketinggian 2.300 meter di atas permukaan laut (mdpl) sebelum batas vegetasi saya bertemu dengan seorang wanita setengah baya. Lulusan Sastra D3 Universitas Indonesia (UI) ini sebut saja namanya Mala. Wanita ini asal Meruya Jakarta. Dia seorang pengusaha jasa pariwisata di Seminyak yang sudah 7 tahun bekerja di Bali.
Mala mengeluh dengan medan terjal yang dihadapi. “Tangan sampai merayap di tanah,” paparnya.
Namun tak lama berselang justru dia mengungkapkan telah banyak mendaki Gunung di Himalaya. Saya tercengang, mengeluh dengan gunung di ketinggian 3.000 mdpl namun sering mendaki Himalaya yang notabene berada di atas ketinggian 5.000 Mdpl.
Yang pasti puncak Agung bukanlah impiannya.
Lain lagi dengan Ibu Yuli yang usianya saya kira melebihi setengah abad. Ibu asal Malang ini saya jumpai di Pos Pura Puri Agung (Pos Terakhir sebelum puncak). Jalannya pelan namun justru begitulah yang benar karena dalam ilmu mendaki seseorang dianjurkan berjalan lambat agar beradaptasi dengan alam. Bahasa kerennya aklimatisasi.
Ibu Yuli juga membawa anaknya dari Malang untuk mendaki. Ia bercerita kerap mengunjungi pegunungan di Himalaya. ”Mungkin rombongan beliaulah yang terakhir menggapai puncak. “Yang utama adalah prosesnya. Meski lamban Ibu Yuli membawa semua orang di timnya sampai ke puncak.
Sementara pada siang yang terik terlihat Yuda sibuk menyalahkan api. Pria asal Jawa Barat ini berniat mengisi perut kawan-kawan seperjalannanya yang kosong. “Puncak bisa digapai kapan saja, namun kebersamaan adalah yang utama,” terangnya.
Sementara dalam terik yang sama pula seorang wanita mungil asal Yogyakarta menembus kabut, melewati lereng lereng. Dia Grace Mahasiswi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang bertekad mendaki sendiri melewati rasa takut di ketinggian demi mengibarkan Sang Saka Merah Putih.
Dalam komentarnya setelah mendaki Grace sering melakukan perjalanan sendiri, menaiki kereta, kapal laut, bis yang dilaluinya sendiri. Saya belajar banyak dari dia, bahwa untuk mewujudkan imbian harus dengan melakukan, bukan dipikirkan.
Ternyata orang-orang yang sering berada di ketinggian justru lebih tenang dibandingkan pendaki baru dengan perlengkapan serba kinclong. Para pendaki baru ini bahkan menghidupkan MP3 keras hingga suara burung pun kalah dengan suara MP3 miliknya.
Saya teringat ungkapan Buddha “keinginan adalah sumber penderitaan”. Demi menggapai puncak para pemula mengabaikan keselamatan kawan seperjalanan. Sementara yang kelelahan menganggap remeh Gunung tanpa latihan fisik sebelumnya.
Satu hari berlalu kami semua tiba di bawah. Satu sama lain bercerita. Ada yang berpamitan karena besok mulai bekerja. Seorang dari travel agent datang memulai pekerjaannya. Sebut saja Anang seorang pemandu yang membawa tamu pria dan wanita asal Belanda. Dijamunya tamu dengan pelayanan kelas satu. Maklum orang bisnis, menilai semuanya dengan uang.
Sebelum memakai sleeping bag Anang bertanya berapa harus menyewa. Salah satu pendaki berkata, di Gunung kebersamaan lebih diutamakan, jadi tanpa uang. Betapa terkejutnya Anang mendengar kebersamaan antara pendaki yang semakin lama ditinggalkan dalam kehidupan yang katanya modern ini.
Anang berjanji ke depan akan melatih sifat sosialnya yang mungkin sedikit terlupakan.
Dalam pendakian untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-69 Tahun mestinya banyak pelajaran yang kita ambil dari para pejuang. Meninggalkan egonya demi kemerdekaan, saling mengasihi satu sama lain, membela demi kepentingan Tanah Air di mana uang bukanlah segalanya.
Mencapai puncak kemerdekaan adalah hal yang kosong jika tidak disertai kebersamaan.
Saya teringat pesan Soe Hok Gie, seorang penulis buku “Catatan Seorang Demonstran” aktivis kampus Mapala UI yang mati di Semeru 16 Desember 1969. Dia menuliskan “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya.
Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
Teramat banyak pelajaran yang saya ambil dari mendaki hingga saya makin mencintai Tanah Air ini yang sangat kaya dengan alam serta keragaman karakter manusianya. Tempat yang tinggi ini telah memberikan banyak ilmu bahwa kita harus merendah. [b]
Bagus tulisannya 🙂
saya mendapatkan pemahaman setelah membaca tulisan ini, terimakasih mas 🙂