Oleh Anton Muhajir
Pukul 10.00 pagi di halaman depan Pizza Bagus di jalan raya Pengosekan Ubud, suasana agak hiruk pikuk. Sekitar 30 orang memenuhi halaman tak lebih dari 10 x 4 meter persegi itu. Sepuluh meja di halaman jadi tempat berbagai produk organik seperti sayur, buah, madu, hingga roti dan es krim. Karena sempitnya halaman, antar-pengunjung harus saling bertenggang rasa agar mereka tidak menumpuk di satu tempat. Mereka segera pindah ke meja lain usai berbelanja.
Edith van Walsum, warga Belanda, adalah salah satu pembeli pagi itu. Meski baru pertama kali datang ke Bali, ibu dua anak itu langsung minta diantar ke pasar organik Ubud untuk belanja di pasar organik tersebut. “Belanja di pasar organik selalu lebih menyenangkan karena ada kedekatan tersendiri dengan petani. Produknya juga lebih sehat karena tanpa bahan kimia,” katanya. Edith, yang pagi itu membeli selai mangga, tahu tentang pasar organik di Ubud dari temannya yang bekerja di LSM pertanian.
Tempat berjualan produk organik ini memang bukan pasar. Hanya beranda restoran yang “dipaksa” menjadi pasar. Pasar khusus produk organik ini diadakan tiap Sabtu dari pukul 10.00 hingga 2 siang. Pengunjung yang membeli atau sekadar lihat-lihat hampir selalu penuh. Karena itu, pengelolanya berencana pindah ke tempat lain. “Kami sudah mencari beberapa tempat baru. Tapi belum sesuai kriteria,” kata Sayu Komang Sri Mahayuni, pengelola pasar organik tersebut.
Setelah satu tahun berjalan, pasar organik di Ubud memang makin maju. Paling tidak itu terlihat dari banyaknya pembeli dan transaksi.
Pasar organik Ubud berawal dari ide Yayasan IDEP yang melihat petani sering mengeluh kurangnya pasar untuk produk organik. LSM berkantor di Ubud ini memang memberikan pelatihan organik dan permakultur pada petani di beberapa tempat di Bali. “Kami lalu berpikir kenapa kami tidak membuat pasar sendiri saja. Kami ingin agar mereka sendiri yang berhubungan dengan pembeli, bukan orang lain,” ujar Sayu, yang juga staf permakultur IDEP.
Sayu dan beberapa relawan yang mengurus marketing, accounting, dan website lalu mengumpulkan petani dari berbagai tempat di Bali yang sebelumnya pernah mendapat pelatihan pertanian organik dari IDEP. Petani itu dari berbagai daerah seperti Baturiti, Tabanan dan Batur, Bangli. Tidak hanya menjual, mereka juga menentukan harga sendiri bagi produk yang dijual. “Kami tidak ikut campur untuk menentukan harga,” kata Sayu.
Ketut Adi adalah salah satu petani yang merasakan manfaat pasar organik tersebut. Sebelumnya, dia menjual produk pertanian organik di tokonya di daerah Ubud juga. “Dulu sepi sekali ketika masih jualan sendiri,” katanya. Meski tiap hari buka, dia hanya bisa mendapat Rp 400 ribu per bulan. Sekarang, meski hanya jualan tiap Sabtu, dia mengaku bisa mendapat Rp 2 juta per bulan.
Bersama 10 petani lain, Sabtu lalu Ketut Adi juga menjual produknya di pasar organik tersebut. Petani dari desa Yeh Embang Kauh, kecamatan Mendoyo, Jembrana ini menjual vanila, pala, teh, kayu manis, kakao, garam, bahkan cuka dan madu. Kecuali kayu manis dan madu, semua produk tersebut dia bawa dari desanya sendiri.
Setelah setahun berjalan, menurut Sayu, petani tidak lagi menghadapi persoalan tidak ada pasar tapi sudah pada bagaimana meningkatkan jumlah produksi agar stabil memenuhi permintaan konsumen. Salah satu cara yang dilakukan untuk menjaga stabilitas kuantitas barang adalah dengan menambah petani yang ikut berjualan. Saat ini, lanjut Sayu, sudah banyak petani menawarkan diri untuk menjual hasil pertaniannya di pasar organik Ubud. “Tapi tempat ini sudah tidak cukup,” kata ibu satu anak ini.
Sayu sendiri sudah mencari tempat lain untuk berjualan, seperti di Sanur. “Tapi harganya mahal sekali sehingga tidak terjangkau bagi kami. Kalau di sini kan kami tidak bayar satu rupiah pun,” katanya.
Permintaan terhadap produk organik sendiri, menurutnya, cukup banyak. Selain personal, konsumen produk organik tersebut sebagian besar dari hotel-hotel di Ubud. Sayangnya 60 persen konsumen adalah warga negara asing. “Mungkin karena mereka lebih sadar terhadap kesehatan dibandingkan warga kita sendiri,” tambahnya.
Masalah lain yang dihadapi petani organik tersebut adalah tiadanya kontrol mutu bagi produk mereka. Dalam pertanian organik, sertifikasi bahwa produk tersebut organik adalah hal yang penting. Sertifikasi ini diberikan oleh lembaga internasional atau paling tidak yang bersertifikat internasional. Petani yang ikut pasar organik Ubud tidak ada yang punya sertifikat organik ini satu pun.
“Tapi sertifikasi kan sesuatu yang bisa dibeli. Kami lebih memilih menggunakan standar kami sendiri dibanding bergantung pada sertifikat dari lembaga lain. Pertama karena biayanya sangat mahal. Kedua karena standar lembaga tersebut cenderung high standard dan bias elit. Karena itu, secara pribadi saya tidak setuju dengan sertifikasi. Kalau mau menilai organik atau tidak, konsumen bisa datang langsung ke kebun petani,” tutur Sayu.