Oleh Luh de Suriyani
Sangsarane nemu gelang/pada mangutahan jelati/sampun napak tegak segara/kapal cenik kapal kayu/yeh pasihe menek membah/pada dingin/jam empate ring ampenan.
(Penderitaan sudah lengkap/semuanya memuntahkan cacing/sudah mendekati tegak lautan/kapal kecil kapal kayu/air laut masuk meninggi/semua kedinginan/jam empat sampai di Ampenan)
Geguritan, sajak yang dilagukan, itu ditulis almarhum Jro Mangku Polos, seorang transmigran dari Pulau Nusa Penida, Bali, sekitar 1950. Ditulis dalam aksara Bali di sehelai kertas lusuh. Perjalanannya begitu berat menuju tanah pengharapan baru di Pulau Sumbawa, setelah didera kemiskinan di tanah kelahirannya.
Petualangan seorang manusia Bali di daerah transmigran ini akhirnya dapat kita rasakan setelah I Gusti Made Sutjaja mengumpulkan geguritan Jro Mangku Polos dalam dokumen yang kemudian dibukukannya sendiri. Buku hasil foto kopian yang dibuat 2002 itu diberinya judul Geguritan Transmigrasi ka Lunyuk, Sumbawa.
Saat bertemu dengan Jro Mangku Polos itulah Sutjaja menemukan kegairahannya dengan linguistik, ilmu yang ditekuninya. “Kita bisa merekonstruksi sejarah kehidupan manusia,” ungkap guru besar linguistik Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar ini. Puluhan kertas bertulis aksara Bali oleh Jro Mangku Polos itu memompa darahnya untuk mengabarkan pada khalayak banyak soal jejak peradaban manusia Bali di tanah rantau dan kehidupan mereka.
Geguritan dalam aksara Bali itu, oleh Sutjaja ditambahkan terjemahan dalam Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia. Membuat semua kalangan enak membacanya.
Selain kisah Jro Mangku Polos di Sumbawa, kegemaran Sutjaja melakukan observasi dan penelitian kebahasaan juga membawanya ke wilayah transmigran di Lampung, Sumatera dan Luwu di Sulawesi. Selama dua tahun dari 2000, Sutjaja menghabiskan beberapa bulan penelitian kebahasaan yang disponsori The Toyota Foundation itu.
Di Lampung ia mendapati kerinduan komunitas transmigran Bali menggunakan bahasa Bali halus. “Mereka menggunakan Bahasa Bali lumrah pada siapa saja dan kesempatan apapun. Barangkali ingin bisa bertutur bahasa lebih sopan pada leluhur dan dewa-dewa ketika sembahyang,” ujar Sutjaja yang menyelesaikan S2 dan S3 di Universitas of Sidney, Australia ini.
Bahasa Bali memang dibedakan menjadi beberapa tingkatan. Bahasa Bali kasar yang mengandung umpatan, bahasa Bali madya untuk percakapan sehari-hari, dan Bahasa Bali halus digunakan saat sembahyang, sarana komunikasi pada leluhur dan dewa-dewa.
Warga Bali di Lampung berharap diberi buku-buku pelajaran bahasa Bali halus. Menurut Sutjaja yang lebih penting adalah kehadiran guru atau partner yang bisa diajak belajar sekaligus latihan.
Keriangan Sutjaja berinteraksi dengan orang Bali soal penggunaan bahasa hanya terjadi di luar Bali. Kembali ke Bali, ia merasa gundah ketika ia merasakan tak banyak dialektika dan diskusi soal bahasa daerah di tanahnya sendiri.
Bahasa adalah peradaban itu sendiri. Lalu bagaimana jika masyarakat tak lagi nyaman dengan bahasanya sendiri? Kehampaan ini mulai terlihat di tengah-tengah keluarga Bali, ketika bahasa ibu tak lagi menjadi pilihan, malah perlahan teralienasi. Bahasa Bali bukan lagi sebuah kebanggan bagi penutur aslinya.
Bagi I Gusti Made Sutjaja, kegundahan makin menumpuk karena tak hanya terbentur pada budaya lisan dengan Bahasa Bali berkurang, jejak sejarahnya pun belum terdokumentasikan dengan lengkap. “Belum ada kamus besar Bahasa Bali yang lengkap dan baik,” ujar doktor linguistik dari University of Sidney ini.
Ia mencoba merajut mimpinya membuat kamus besar Bahasa Bali itu dengan membuat beberapa kamus kecil. Dari belasan buku soal kosakata bahasa Bali itu ia memperkirakan baru terdokumentasi sekitar 2000 kata saja. “Coba bandingkan dengan jumlah rata-rata kamus lengkap, 400 ribu kata,” ujarnya.
Ada banyak kamus dan paduan berbahasa Bali, namun ia melihat masih belum memenuhi standar sebuah literatur yang menarik dan berkualitas. Salah satu yang dilupakan adalah mencantumkan aksara latin Bali. Karena itulah, di tiap kamusnya ia selalu menempatkan aksara latin Bali di baris atas, diikuti terjemahannya dalam Bahasa Bali, dan arti kata itu. Aksara latin Bali ini dengan mudah diaplikasikannya di komputer dengan bantuan font Bali simbar yang dibuat Made Suatjana.
Di sejumlah bukunya, ia juga menambahkan terjemahan dalam Bahasa Indonesia, Inggris, dan Jepang. ”Cara ini membuka jendela internasional mempelajari Bali dan budayanya. Juga untuk orang Bali sendiri,” kata suami Ni Luh Ngurah Ariningsih ini.
Kamus-kamus internasionalnya itu sebagian besar dijilid sendiri dengan bahan foto kopian. Setelah membuat buku sendiri sekira empat puluh eksemplar ia membawa sendiri ke toko buku untuk disebarluaskan. “Saya tak bisa menunggu lama agar ada yang menerbitkan buku saya. Biar saya yang melakukannya sendiri,” ia beralasan.
Buku-buku yang diterbitkannya sendiri itu di antaranya Kamus Sinonim Bahasa Bali (2003), Kamus Pelajar Bali-Indonesia-Jepang (2007), Practical Balinese-english (2007), dan Kamus Indonesia-Inggris-Bali (2006).
Kesendiriannya menekuni linguistik khususnya Bahasa Bali ini kadang membuatnya kecewa. Ia merasa lebih banyak berpatner dengan ilmuwan asing dibanding ilmuwan lokal. Selama ini Sutjaya melihat kemapanan Bali hanya pada tradisi. Karena itu untuk mengusir rasa teralienasi dari bahasa-bahasa daerah lain yang lebih maju dan dinamis, ia merekatkan tautan Bahasa Bali dengan bahasa asing yang lebih populer seperti Inggris dan Jepang.
Mahasiswa Sastra Inggris
Sutjaja tak serta merta tertarik menekuni bahasa ibu-nya, Bahasa Bali. Awalnya lebih tertarik mempelajari Bahasa Inggris. Pada 1968 ia mengambil Bahasa Inggris di Universitas Udayana Denpasar, kemudian melanjutkan S1 di IKIP Malang, Jawa Timur.
Suatu ketika ia menemukan sebuah kamus tua Bahasa Kawi-Bali-Belanda yang dibuat Dr HN Van Der Tuuk yang terbit tahun 1897. “Betapa hebat, orang asing bisa membuat kamus Bahasa Kawi dan Bali,” pikirnya.
Selain itu, sejumlah peneliti di Bali juga dilihatnya sangat fasih berbahasa Bali. Bahkan mereka mengembangkan dan meneliti kesejarahannya. Sumber dari literatur peradaban manusia Bali yang masih dijadikan panduan saat ini.
Hasratnya mempelajari ilmu kebahasaan khususnya Bahasa Bali muncul. Di Universitas Sidney, Sutjaja berlabuh untuk mengasah kemampuannya sebagai ahli linguistik.
Di Bali ia kemudian mengajar di Universitas Udayana. Dunia kampus dirasanya tak banyak mendukung penelitian dan penyebarluasan Bahasa Bali. Suasana diskusi lengang, dan terobosan di bidang teknologi informasi dinilainya terlambat. Karena itu ia bertekad mengembangkan Bahasa Bali melalui internet dengan terus memasukkan sejumlah dokumen dan kamus-kamus yang dibuatnya itu.
Pria 63 tahun ini mengaku tertantang melihat semakin banyak litertur bahasa daerah lain berikut aksara latinnya yang muncul di internet. Sayang, sampai kini literatur dalam bahasa dan aksara Bali sangat sedikit. Karena itulah ia mengharapkan ada komunitas kreatif yang mendukung riset dan pendidikan Bahasa Bali, lewat penerbitan atau teknologi. “Bagaimana bisa maju kalau terus-terusan mencetak buku sendiri,” keluhnya.
Pengabdian Sutjaja yang meluaskan pengajaran Bahasa Bali mulai terjawab ketika pada 5 Januari lalu, Kelompok Media Bali Post Group memberinya penghargaan Anugerah Pers K. Nadha Nugraha 2008. Ia menerima penghargaan bersama empat tokoh lain yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Prof. Dr. IGNG Ngoerah, Made Taro, dan Ida Wayan Oka Granoka.
Sutjaja dinilai konsisten melakukan pengembangan keilmuwannya dan terus menyebarluaskannya ke masyarakat. “Saya kecewa karena pemerintah tak banyak memberikan reward pada pihak-pihak lain yang melakukan pengabdiannya dengan sungguh-sungguh,” ungkapnya.
Karena itu ia bertekad untuk terus meningkatkan nilai kumpulan Geguritan Jro Mangku Polos yang telah dibukukannya itu. “Ia meninggalkan jejak yang luar biasa untuk terus digali dan dipelajari,” kata Sutjaja sambil kembali membacakan beberapa bait geguritan di halaman terakhir buku Jro Mangku Polos itu.
Dua puluh tahun setelah menggarap tanah di Lunyuk, Sumbawa, kelompok Jro Mangku Polos baru merasakan hasil jerih payahnya. Ketika tanaman sayur mulai hidup, ternak makin banyak, dan senyum mulai tampak.
Ceritane malih limbakang/sejarahne gumigrasi/ngubuh celeng pada rata/celenge luh muani/siape liu gati/Turing cicing pada liu.
(Kisah kembali dibeberkan/sejarah transmigrasi/semua sudah memelihara babi/babi jantan betina/ayam banyak/anjing pun makin banyak)
semoga bahasa bali bisa berkembang diluar bali
setelah lulus sekolah rakyat negeri tulangampiang tahun 1960, akupun meninggalkan pulau bali, tempat aku dilahirkan. bertransmigrasi ke-jawa dan selanjutnya melanglang buana sampai di-eropa selama 48 tahun.
bulan juli tahun 2008 pertama kali pulang kampung ke-denpasar. betapa terkejutku, melihat perubahan pulau bali yang penuh sesak. betapa rinduku ingin mendengarkan dan bercakap bahasa bali, bahasa pertama yang sempat kukuasai, selain enam bahasa lainnya yang harus kupelajari selama hiduoku.
lacurnya selama dua minggu di-denpasar, sangat jarang aku mendengar orang2 bercakap dalam bahasa bali. aku heran melihat orang tua tidak berbahasa bali dengan anak2 mereka. malukah manusia bali menggunakan bahasa daerah kita ?
tahun 1997 aku sempat berkunjung ke- sulawesi tengah, dalam perjalanan dari palu ke tentena, aku terheran melihat desa2 bercorak bali asli nan asri. mendengarkan percakapan penduduknya dalam bahasa bali.
haruskah orang bali ditransmigrasi terlebih dahulu, agar kemudian mereka sadar dan bangga akan sastra dan budaya mereka ?
Saya bukan orang Bali. Saya keturunan Tionghoa dari Jakarta.
Saya berharap ada lebih banyak lagi orang Bali yang makin peduli dengan bahasa & budaya Bali.
Di tengah “gempuran budaya global”, saya berharap BALI TETAPLAH MENJADI BALI.
Saya berhadap banyak orang (pihak) yang peduli seperi “Sang Guru” I G.M. Sutjaja terhadap permasalahan bahasa ibu di bumi Indonesia Raya ini.
Saya merasakan bahwa di daerah saya (Provinsi Bengkulu) semakin hari bahasa saya (Serawai) semakin terpinggirkan. Padahal, bila disadari, terpinggirnya bahasa ini berimbas pada lunturnya banyak nilai, misalnya nilai sopan santun.
Saya merasa ciut ketika pulang kampung kemenakan saya menyapa dengan sapaan “kaba” yang masa saya sangat tidak pantas digunakan kepada orang tua.
Menurut Orang tua ku, Aku dilahirkan di Banjar Babakan, Desa Canggu Kecamatan Kuta Kab. Badung Bali. Sejak lahir sampai sekarang ini aku belum pernah punya KTP di Propinsi Bali, Karena Sejak kecil orang tuaku sudah pindah ke Sulawesi Tenggah, Tepatnya di Banjar Kasih Sari Desa Tolai, Kecamatan Torue Kab. Parigi Mautong. Syukur pada Tuhan sampai saat ini aku masih bisa berbahasa Bali Pasaran. Sejak Menikah Tahun 1993 Aku tinggal di Pulau Jawa (mulai dari Timur sampai Barat.
Memang betul banyak keluarga yg tdk lg menggunakan bhs ibunya.terutama keluarga2 yg berbeda suku. Idealnya anak2 dr keluarga campuran bisa menguasai 3 bhs. tetapi kurangnya waktu yg dimiliki membuat keluarga2 ini memilih menggunakan bhs indonesia spt yg trjd dl keluarga sy