Agung Parameswara membuat kejutan.
Fotografer lepas untuk The Jakarta Post ini mendapat Juara I Kategori Art and Entertainment dalam Anugerah Pewarta Foto Indonesia (PFI) pekan lalu. Bisa mendapat Juara I pada kategori tertentu di antara sekitar 4.000 peserta tentu sebuah prestasi.
Foto karya Nyemple, panggilan akrabnya, yang menang kali ini adalah foto tentang remaja di Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Karangasem saat ritual perang pandan (mekare-kare). Foto tersebut dimuat The Jakarta Post.
Nyemple baru akan berulang tahun ke-23 akhir Juli nanti. Tentu dia masih muda dibanding fotografer-fotografer senior di Bali. Tapi, di usianya yang masih muda tersebut, Nyemple ternyata sudah juara. Setahu saya juga ini bukan kali pertama baginya.
Karena itulah saya penasaran untuk wawancara Nyemple, fotografer muda dan berbahaya ini. Kami memang sudah sering kerja bareng termasuk pernah mengelola media di Bali, BaliPublika yang (untuk sementara) tidak terbit lagi. Namun, tetap lebih asyik kalau bisa menggali informasi darinya lebih banyak lagi. Berikut hasil obrolan santai dengan tukang foto muda dan berbahaya itu. Hehehe..
Selamat atas kemenangan di PFI 2013. Bagaimana rasanya? Apa artinya penghargaan ini?
Makasih atas ucapannya, Mas. Ini salah satu penghargaan yang bisa dibilang prestisius bagi para pewarta foto di Indonesia sejak tahun 2009. Banyak pewarta foto di seluruh Indonesia mengikuti ajang ini. Nama-nama pewarta foto beken juga ikut di sini setiap tahunnya. Tahun ini, menurut data panitia lebih dari 400 pewarta foto, 5.000 karya jurnalistik yang dihasilkan pada tahun 2012 bersaing merebutkan 3 pemenang dalam 9 katagori.
Saya yang hanya seorang orang daerah, anak kecil yang berumur 22 tahun, dan masih baru banget di dunia jurnalistik. Dapat juara pertama katagori Art and Entertaiment itu kalau Syahrini bilang sesuatu banget. Nggak nyangka sih juara 1. Dan yang pasti sih saya bersyukur atas pencapaian ini.
Tahun lalu saya ikut, ajang ini cuma masuk nominasi di Art and Entertaiment dan General News. Tahun ini dapat juara 1 di kategori Art and Entertaiment dan 1 nominasi di katagori Daily Life.
Saya rasa ini sebagai penyemangat dan motivasi aja untuk bisa berkarya lebih baik lagi di tahun-tahun berikutnya. Setelah mendapatkan ini, semangat, rasa jengah, untuk berkarya lebih bagus lagi akan muncul. Nggak berakhir di penghargaan ini saja, tapi bisa konsisten berkarya. Lebih semangatlah dan tahun depan pasti akan kirim lagi. Hehehe..
Penghargaan lain yang pernah kamu dapat apa saja ya?
Penghargaan lain yang saya dapatkan tahun ini baru tiga. Di lokal Bali sendiri juara 3 lomba foto Exotic of South Bali (Harris Jimbaran Hotel), juara 3 Indonesia Green Award, lalu terakhir Juara 1 APFI ini.
Kenapa sering ikut lomba?
Sebenarnya sih saya ikut lomba-lomba gitu pertamanya iseng. Menang nggak ya? Ya sudah. Pasrah saja. Wah, ternyata menang. Jadi lebih semangat lagi motret. Lantas ikut lagi, menang lagi. Lebih semangat lagi bikin foto yang bagus dan berbeda. Di sana saya merasa foto saya diapresiasi. Saya senang karena saya bisa bikin semangat, bisa jengah, bisa eksis terus di bidang fotografi dengan cara yang baiklah.
Bagaimana caranya biar menang kayak kamu?
Banyak cara sih sebenarnya untuk membuat kita lebih semangat berkarya. Foto kita dipublikasi media merupakan sebuah cara yang sangat ampuh untuk membuat kita tambah semangat, lalu ikut lomba foto, apresiasi dari teman dengan banyaknya like dan komentar di Facebook apabila kita unggah foto. Hehehe. Pameran juga bagus.
Cara biar menang lomba foto? Coba tanya Arbain Rambey. Dia sering ngasi tips bagaimana cara menang dalam lomba foto. Hahahaha.
Saya nggak ada rumus untuk itu, nggak ada hitung-hitungan untuk itu. Tapi ada orang yang benar-benar berstrategi ikut lomba foto. Saya dapatkan rumusan ini dari para master di Bali yang sering menang lomba foto. Siapa? Sebut saja Made Jepret. Pertama, riset foto apa aja yang menang sebelum-sebelumnya. Kedua, lihat potensi foto kita cocok dimasukin lomba foto apa karena sekarang banyak ada lomba foto ya harus berstrategi foto ini cocok dimasukkan ke mana, foto lain ke mana. Ketiga, bikin foto yang beda. Keempat, pasrah setelah kirim foto ke sebuah lomba. Kelima, tunggu pengumuman sembari rajin sembahyang setiap hari. Kalau perlu masesangi kepada leluhurmu: kalau menang mau ngasi (babi) guling satu ekor. Hahahaha.
Kenapa bisa memilih jadi fotografer? Siapa yang mempengaruhi?
Pertama masuk kuliah tahun 2008 saya ikut Pers Mahasiswa Akademika Universitas Udayana. Saya diajak saudara saya Krisna Murti. Katanya di sini orangnya keren-keren dengan menyebut nama Agus Lenyot dan Asta Ditha. Saya barengan kakak saya itu ikut persma. Lalu, aktiflah saya di sana. Di sana saya agak kesusahan menulis bagus seperti teman-teman lain. Saya lihat fotonya kok nggak ada yg bener ya? Kebetulan juga pada saat itu teman saya baru saja membeli kamera. Saya sering minjam buat motret-motret sebentar. Pada saat itu juga di Akademika kan langganan koran Kompas, saya rajin baca Kompas dan lirik-lirik foto Kompas.
Serangkaian peristiwa-peristiwa dan pikiran sederhana itu membuat saya punya ketertarikan lebih pada foto. Di kompas saya ngefans sama Agus Susanto dan Lasti Kurnia. Serius, fotonya bagus-bagus setiap hari. Lantas saya beli kamera pada tahun 2009 dengan sangat amat rajin motret. Motretnya juga sok-sok jurnalistik gitu. Nggak tau yang namanya nilai berita, yang penting motret human interest saja dengan refrensi dari Kompas. Hehehe.
Lantas saya rajin ikut workshop, selalu ikut workshop kalau ada workshop apapun yang saya ketahui. Terus saya ke pameran-pameran foto. Sampai akhirnya ketika ada pameran foto pemilu dari para pewarta foto di Bali, saya lupa tahunnya, saya lihat satu foto bagus banget. Yang moto namanya Made Nagi (EPA). Wih, siapa ini? Karena saya tahunya fotografer lain, seperti Iwan Darmawan dan Miftahuddin. Hehehe..
Wah, ada orang Bali yang keren banget fotonya, terus kerja buat EPA. Apa itu EPA? Saya tanyalah sama seseorang di pameran di sana. Oh, itu kantor berita luar negeri. Wih, keren sekali. Lalu saya bercita-cita seperi Made Nagi. Hahaha..
Oh ya, pada tahun 2010 juga Made Nagi juara 1 APFI 2009 dengan kategori Seni dan Budaya. Ya itu juga sih bikin bercita-cita dapet APFI. Setelah punya kartu pers, akhirnya kesampaian juga. Hehehe..
Nah, dulu itu AJI Denpasar sempat bikin workshop Bali Jani tahun 2010. Saya ikut di sana. Saya mulai kenal dan tahu teman-teman pewarta foto di Bali. Semakin terbuka mata saya mengenai foto jurnalistik. Di sana juga saya tahu lagi Made Nagi itu siapa. Dia sempat ikut workshopnya John Stanmayer dan Gary Knight, lalu ke Angkor dapet ikutan workshop. Naskleng. Dahsyat kali orang ini. Pokoknya saya pengen seperti dia. Hahaha.. Ya begitulah. Cuma ketika itu saya nggak terlalu kenal sih sama dia. Bagian lainnya, saya mencari informasi tentang John Stanmeyer dan saya suka sekali sama foto-fotonya. Framenya berlayer. Dahsyat banget. Beliaulah juga salah satu idola saya.
Lalu saya ikut workshop lagi namanya Blips dengan tutor Rio Helmi dan Olivier Nielson. Lalu ikut lagi workshop dari The Republik bikinan orang Malaysia tapi di Bali. Ya, semua itu berjalan begitu saja. Nggak ada yang namanya saya itu agresif, SKSD. Saya juga niatnya nambah ilmu sambil kuliah dan berorganisasi di kampus.
Karya berita foto pertama dimuat di mana? Berapa honornya?
Media pertama yang publish foto itu The Jakarta Post, tentang abhiseka Raja Klungkung pada Oktober 2010. Lima foto di satu halaman Surfing Bali. Honor fotonya Rp 100 ribu per foto. Itu berkat bantuan mbok Luh De (Suriyani), alumni Akademika yang juga penulis di sana. Senang sekalilah. Itu satu halaman, lima foto, dan The Jakarta Post. Sampai-sampai saya bingkai itu koran di rumah. Hehehe..
Semenjak itu saya sering motret terutama moto budaya dengan tujuan diterbitkan di halaman feature itu. Ya, karena untuk motret news saya nggak ada pengalaman dan informasi. Lagian saya masih kuliah waktu itu. Akhirnya saya jadi kontributor di The Jakarta Post. Dari dulu saya sering bikin foto feature tentang budaya berkolaborasi dengan Mbok Luh De Suriyani untuk halaman Surfing Bali. Menyenangkan sekali, saya kangen momen-momen itu. Hihihi..
Sebelum kontributor di The Jakarta Post, saya juga sempat bikin esai anak bisu tuli di Bengkala (Buleleng) untuk majalah Tempo English, 10 foto 2 halaman. Honornya Rp 700 ribu plus reimburse. Saya sampai bolos kuliah tiga hari. Waktu itu saya semester 4. Lantas setelah usai KKN pertengahan 2011, saya reguler motret untuk Jakarta Post sebagai kontributor. Tanpa kontrak sampai sekarang. Hahaha..
Setelah itu karyamu dimuat di mana saja?
Pernah juga sesekali untuk beberapa wire karena saya dimintain tolong. Lalu dikutip di media-media internasional seperti TIME, Wall Street Journal, The Guardian, dan lain-lain. Ada juga buat majalah juga travel seperti Garuda, JalanJalan, serta National Geographic Traveler.
Bagaimana rasanya dimuat di media-media besar tersebut?
Nggak tahu ya rasa apa. Yang pasti itu sih sebagai portofolio saya. Bahwa foto saya juga ternyata dikanggoin. Hehehe. Jadi, semakin mantaplah saya untuk sesegera mungkin menamatkan kuliah dan akhirnya lulus tahun 2011, lantas full terjun bebas ke fotojurnalistik..
Tema fotomu sebagian besar soal budaya. Kenapa memilih itu?
Dari pertama motret objeknya budaya. Nggak ada alasan kenapa, karena dasarnya saya suka. Kehidupan saya juga dipenuhi dengan ritual-ritual di kampung dan rajin saya dokumentasikan. Berlanjut dengan suka mencari foto-foto budaya lainya. Akhirnya suka. Tambah suka karena semakin banyak ritual unik-unik. Pada suatu kesempatan saya bertemu Pak Widnyana Sudibya. Bapak arsitek ini bercerita tentang kecintaanya terhadap budaya Bali, mendokumentasikan hampir semua kegiatan upacara di Pura Besakih dari tahun 1989. Pak Wid mendokumentasikan Pesta Kesenian Bali (PKB) juga. Saya kagum dengan semangat beliau dan konsistensi beliau meskipun tanpa bayaran dari siapapun. Ngayah kalau beliau bilang.
Saya akhirnya punya niat untuk mendokumentasikan kegiatan ritual budaya di Bali. Semampu saya. Kalau ada info mengenai ritual apapun itu misalnya, saya ke sana. Pasti saya luangkan waktu.
Kenapa tidak tertarik kerja di media lokal?
Saya sempat jadi fotografer di Dewata Post tahun 2010 kalau nggak salah. Di sana hanya bertahan beberapa bulan sebelum medianya tutup. Honor saya nggak dibayar selama bekerja sebulan. Ngenes bangetlah. Padahal lumayan untuk anak kuliahan seperti saya. Hehehe.. Lalu, The Jakarta Post kan bikin Bali Daily tahun lalu, koran 4 halaman untuk Bali saja. Saya terus motret dan kirim ke sana. Penghasilan bulanan saya di sana sekarang. Sesekali juga iseng ngirim ke majalah.
Rencana ke depan tetap jadi freelancer atau ada mimpi lain?
Saya pengen sih berkarier di media tempat saya bekerja tanpa kontrak sekarang, di The Jakarta Post. Portofolio saya banyak di sana. Pengen sih jadi staf di sana tapi based di Bali. Hahaha.. Tapi kalau nggak ada kesempatan ya saya cari-cari lagi media nasional yang lagi buka lowongan.. Ngimpi banget ya? Hahahaha.. Ya kalau nggak ada tetep freelance dulu sambil buka usaha.
Saya juga punya cita-cita kerja untuk wire. Biar kayak Made Nagi. Hehehe.. Kenapa? Ya fotonya bisa banyak naik, nggak kayak di koran kan cuma satu. Di wire bisa banyak. Lalu bisa dikutip sama media-media besar. Itu kebanggan buat fotografer.
Apa pengalaman paling enak selama jadi fotojurnalis? Apa yang paling tidak enak?
Enaknya bisa jalan-jalan. Tahu banyak hal. Wah, enak bangetlah pokoknya. Paling nggak enak fotonya nggak naik, apalagi kalau sudah bersusah payah. Merasa foto itu bagus, yeh ternyata nggak naik. Nyesek banget. Apalagi kan dibayarkan per foto tuh, berharga banget lah itu..
Tapi selama ini saya menikmati. Saya beruntung punya teman-teman liputan yang mbanyol. Jadi, saya sih enjoy saja. Saya selalu berusaha tapi nggak terlalu ofensive juga.
Apa sih asyiknya jadi fotojurnalis?
Selama ini saya belum pernah keluar Bali untuk liputan. Liputan di Bali juga cenderung santai. Kebanyakan feature. Spot news sangat jarang. Jadi, saya belum pantas disebut fotojurnalis. Itu terlalu berat buat saya. Saya fotografer biasa yang punya cita-cita jadi fotojurnalis yang bisa liputan banyak hal. Saya juga ngefans sama mas Beawiharta, Reuters. Dia baik sekali. Mau membagi ilmu sama anak kecil kayak saya. Siapa yang nggak tau dia kan? Kalau dia ke Bali lagi pasti saya samperin. Suma buat dengar pengalamannya. Dia pernah ditembak pas liputan di Dili, lalu motret tsunami di Aceh, Gunung Merapi meletus, dan lain-lain yang bikin saya betah dengerin ceritanya. Saya pengen punya pengalaman juga seperti beliau kalau sudah jadi fotojurnalis.
Menurutmu bagaimana posisi fotojurnalis di Indonesia?
Wah, ini sulit sih pertanyaannya. Soalnya saya kan cuma di Bali. Yang saya tahu banyak fotografer Indonesia yang sangat bagus. Banyak fotografer Indonesia yang dapat beasiswa workshop ke luar negeri. Banyak fotografer Indonesia yang menang penghargaan internasional. Banyak.
Media Indonesia memang dari segi bayaran lebih rendah dari media luar. Kalau sekarang sih masalah kesempatan saja. Apakah kita ketemu link yang pas untuk bekerja. Setiap orang yang status freelance pasti menginginkan fotonya dipublikasi media besar internasional, sebanding dengan perjuangan kita menghasilkan foto atau cerita dengan bayaran.
Tidak setiap fotografer beruntung punya link dan kesempatan. Pasti ada yang masih berjuang. Berjuang jadi stringer, kontributor.
Kalau untuk para kontributor foto yang saya tahu ya, kondisi di lapangannya seperti ini: bekerja sangat militan tapi dibayar per foto dan murah. Mereka bekerja tanpa kontrak tapi kadang dikasih penugasan. Ada juga media yang nggak suka kalau stringernya yang bekerja tanpa kontrak apa pun, ngirim karya ke tempat lain. Kalau ketahuan bisa nggak akan dipakai lagi foto kita. Ini sih yang jadi pertanyaan saya, kenapa bisa? Hehehe..
Bagaimana pendapatmu tentang potensi anak-anak muda di Bali dalam urusan fotografi?
Potensi sangat besar lho, Mas. Banyak anak muda di Bali yang berprestasi, karyanya bagus-bagus, kreatif, dan idenya banyak. Nyeni sih bisa dibilang. Kecintaanya juga banyak bidang, wedding, jurnalistik, art, model, atau dokumenter. Cuma kan sekarang masalah kesempatan saja. Orang dengan karya bagus, konsisten berkarya, suatu saat pasti akan menemukan jalan. Jalan untuk bisa eksis berkarya dan juga menghasilkan. [b]