Saya mengetahui nama Nyimas Laula lewat aplikasi Twitter. Entah topik apa yang menggiring saya menuju profilnya, saya tak ingat. “Wah, ternyata di Bali ada perempuan yang berprofesi sebagai jurnalis foto,” respon saya ketika membaca artikel tentangnya kala itu.
Nyimas Laula adalah jurnalis foto yang memulai karirnya pada 2015. Perempuan yang kini mukim di Bali ini memfokuskan kerja-kerjanya pada isu lingkungan serta hak asasi manusia. Selama perjalanan karirnya, Nyimas sudah pernah bekerja bersama Reuters, The New York Times, National Geographic, dan VICE. Pada tahun yang sama, Nyimas mendokumentasikan kedatangan para pengungsi Rohingnya di Aceh dan meliput salah satu kebakaran hutan terburuk dalam sejarah Indonesia untuk Greenpeace. Selanjutnya, selama enam bulan di tahun 2019, Nyimas mengikuti jejak polusi plastik di pulau Bali, mendokumentasikan inisiatif yang mulai muncul untuk mengatasi masalah ini. Karya-karyanya dapat disimak lebih lanjut melalui www.nyimaslaula.com.
Pada 23 Maret lalu, saya menghubungi Nyimas via WhatsApp dan mengutarakan keinginan untuk mewawancarainya. Namun, ia yang kala itu sedang memotret, berjanji akan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya keesokan harinya. Lalu inilah obrolan sekilas kami sehari kemudian.
Kenapa tertarik menekuni fotografi?
Awalnya hanya hobi mengisi waktu luang selagi kuliah, setelah lulus kuliah dapat kesempatan magang di salah satu news agency di Jakarta, akhirnya nyemplung dan berlanjut sampai sekarang. Bagiku fotografi masih menjadi medium yang menarik untuk bercerita (pertanyaannya terlalu general aku bingung jawabnya, hehe).
Bagaimana menariknya? Kalau di foto, apa sih yang membuat foto itu “bercerita” ?
Menurutku fotografi khususnya fotografi dokumenter dan jurnalistik, yang bersinggungan dengan kode etik, membuatnya menarik. Fotografi sendiri hanya merekam atau freezing momen tertentu dari sebuah scene. Bagaimana fotografernya memilih momen tersebut, besar perannya terhadap dampak dari foto, orang, dan atau komunitas tertentu yang terlibat di dalamnya. Bisa negatif dan juga positif.
Fotografi dalam sejarahnya juga bisa membuat stereotip buruk terhadap suatu tempat atau komunitas masyarakat tertentu karena penyampaian narasi tunggal yang berulang. Misal, bagaimana foto membuat stereotip buruk terhadap tuna wisma, juga narasi eksotisme western gaze pada pulau Bali. Menurutku ini jadi tantangan untuk mempertanyakan bias persepsi dalam pandanganku dan terus mengevaluasi pendekatan fotografiku sendiri.
Aku percaya foto dan teks itu punya kesinambungan yang setara. Banyak yang bilang a picture worth a thousand words, aku kurang setuju. Foto melengkapi yang tidak bisa disampaikan lewat teks, teks membantu pembaca memahami foto dan narasi yang ingin disampaikan.
Kalau posisi perempuan di ranah pekerjaan ini, gimana? Apakah iklim di dunia fotografi cenderung masih didominasi laki-laki atau ruangnya sudah setara?
Waduhhh, masih jauh itu mah????
Bentar, jawabannya panjang banget ini.
Hari itu komunikasi kami terhenti sampai di sana. Saya pikir jawabannya memang panjang, sehingga perlu waktu lebih lama untuk menyampaikan jawabannya. Dua hari kemudian, setelah mengaku lupa mengirimkan jawaban yang ia simpan pada catatannya, Nyimas memberikan beberapa data terkait posisi perempuan pada ranah pekerjaan ini.
Menurut Nieman Reports, jumlah jurnalis foto perempuan hanya berkisar antara 15-20%. Data lain yang dikutip dari TIME menyebutkan, peneliti menemukan bahwa kesempatan jurnalis foto perempuan untuk dipekerjakan oleh perusahaan media besar lebih kecil (7%) dibandingkan dengan laki-laki (22%).
Di antara sedikit orang yang bekerja untuk organisasi semacam itu, perempuan lebih jarang ditugaskan daripada rekan laki-laki mereka. Rasanya sangat sulit meyakinkan bahwa perempuan juga mampu bekerja di industri ini dengan kesempatan berkembang yang lebih sedikit. “I have to fight for every chance that I got, there’s nothing just landed on me,” ungkap Nyimas.
Lebih lanjut lagi, Nyimas menyatakan bahwa selain timpangnya kesempatan, industri ini juga tidak luput dari kekerasan berbasis gender. Untuk memahami isu ini lebih dalam, ia memberikan rekomendasi dua investigasi panjang dari CJR “Photojounalism Moment of Reckoning” dan juga “Magnum’s Moment of Reckoning” yang ditulis oleh Kristen Chick.
Selepas obrolan itu, saya berharap bisa bertemu langsung dan menyambung lagi cerita-cerita lain di balik lensanya.